Pencegahan Malaria pada Kehamilan

Oleh :
dr. Immanuel Natanael Tarigan

Pencegahan malaria pada kehamilan penting dilakukan di daerah yang endemis untuk mencegah komplikasi terhadap janin, misalnya prematuritas, berat badan lahir rendah, abortus spontan, dan stillbirth. Akan tetapi, dokter perlu berhati-hati ketika memberikan profilaksis medikamentosa pada ibu hamil, karena beberapa obat antimalaria mungkin memiliki efek berbahaya terhadap janin.[1]

Di Indonesia, ada total 304.607 kasus malaria dilaporkan sepanjang tahun 2021. Angka kasus kesakitan malaria yang dinyatakan dengan indikator Annual Parasite Incidence (API) adalah 1,1 kasus per 1.000 penduduk. Daerah yang terutama banyak mengalami malaria adalah Nusa Tenggara Timur dan Papua.[2]

pregnancy eat pil

WHO merekomendasikan untuk memberikan profilaksis malaria pada kehamilan di daerah transmisi sedang hingga tinggi. Daerah transmisi sedang hingga tinggi ditandai dengan daerah yang memiliki prevalensi malaria setidaknya 11% sepanjang tahun pada anak usia 2–9 tahun. Pada daerah ini, kejadian malaria terutama dialami oleh anak dan remaja.[3,4]

Profilaksis Malaria dengan Sulfadoxine Pyrimethamine

Metode preventif yang disarankan oleh WHO disebut Intermittent Preventive Treatment of Malaria in Pregnancy (IPTp). Kemoprofilaksis dengan IPTp dilakukan menggunakan sulfadoxine pyrimethamine karena terbukti efektif dan aman untuk ibu hamil, bahkan di daerah dengan mutasi Plasmodium. Sulfadoxine pyrimethamine diberikan sesegera mungkin pada trimester kedua. Pemberian tidak disarankan pada trimester pertama karena memiliki potensi teratogenik.[5]

Di daerah dengan transmisi sedang hingga tinggi, IPTp dianjurkan untuk semua ibu hamil saat antenatal care (ANC) trimester kedua sampai masa melahirkan. Sulfadoxine pyrimethamine diberikan minimal tiga kali dengan jarak masing-masing minimal 1 bulan. Dosis terakhir IPTp dapat diberikan hingga mendekati persalinan.[3]

Pemberian tiga kali tersebut merupakan frekuensi minimal. Tidak ada batasan frekuensi maksimal untuk pemberian IPTp. Rekomendasi WHO ini dibuat berdasarkan bukti studi bahwa pemberian tiga kali atau lebih menghasilkan berat badan bayi yang lebih tinggi dan menurunkan risiko berat badan lahir rendah bila dibandingkan dengan pemberian dua kali saja.[3,6]

Pemberian sulfadoxine pyrimethamine sebaiknya dilakukan langsung dalam observasi tenaga kesehatan atau directly observed therapy (DOT). Formulasi obat yang diberikan adalah tablet kombinasi yang berisi 500 mg sulfadoxine dan 25 mg pyrimethamine untuk tiap kali pemberian. Obat dapat diberikan saat perut berisi maupun kosong.[3,4]

Peringatan Sebelum Pemberian Sulfadoxine Pyrimethamine

Perhatian khusus harus diberikan pada ibu hamil yang datang dengan gejala malaria. Ibu hamil dengan gejala malaria harus menjalani pemeriksaan sebelum IPTp. Bila ibu dinyatakan positif malaria dengan pemeriksaan mikroskopis maupun rapid test, IPTp tidak boleh diberikan dan ibu harus diberikan terapi malaria sesuai pedoman yang berlaku. Bila hasil pemeriksaan negatif, IPTp dapat diberikan.[3]

Pemberian sulfadoxine pyrimethamine bersama cotrimoxazole juga harus berhati-hati karena dapat meningkatkan efek samping obat. Selain itu, sulfadoxine pyrimethamine sebaiknya tidak diberikan bersamaan dengan asam folat dosis 5 mg atau lebih karena menurunkan efikasi sulfadoxine pyrimethamine. Namun, pemberian asam folat 0,4 mg per hari, sebagaimana rekomendasi WHO pada semua ibu hamil, tidak menurunkan efikasi sulfadoxine pyrimethamine.[3,4]

Kelebihan dan Kekurangan Kemoprofilaksis dengan Sulfadoxine Pyrimethamine

Selain mengurangi risiko berat badan lahir rendah, suatu meta analisis yang melibatkan 32 penelitian di 25 negara menemukan bahwa IPTp juga mengurangi kematian bayi. IPTp juga dapat menurunkan parasitemia plasenta, infeksi plasenta, anemia maternal, dan anemia fetus. Kemoprofilaksis ini juga ditemukan cost-effective sebagai tindakan pencegahan pada daerah dengan transmisi malaria sedang-tinggi.[8,9]

Beberapa efek samping yang mungkin terjadi adalah linu, kelemahan, mual, muntah, dan pusing. Efek samping terutama terjadi pada dosis pertama. Efek samping semakin berkurang pada pemberian dosis berikutnya. Efek samping ini dapat ditoleransi dengan baik oleh ibu hamil dan tidak membahayakan.[7]

Opsi Profilaksis Malaria Lain untuk Ibu Hamil

Suatu tinjauan merangkum berbagai studi mengenai modalitas profilaksis malaria pada kehamilan. Mefloquine 15 mg/kgBB menunjukkan efikasi yang baik untuk mengurangi kejadian malaria dan parasitemia plasenta, tetapi tidak menunjukkan efikasi yang lebih baik dalam hal berat badan bayi lahir. Obat ini sebelumnya digolongkan dalam kategori C oleh FDA tetapi telah diganti menjadi kategori B berdasarkan data terbaru.[1,10]

Pemberian chloroquine-azithromycin selama 3 hari tidak menghasilkan luaran klinis yang lebih baik. Kombinasi kedua obat ini juga tidak ditoleransi dengan baik. Toleransi yang kurang baik juga terjadi pada penggunaan sulfadoxine pyrimethamine bersamaan dengan azithromycin.[10]

Tinjauan literatur tersebut juga menyebutkan bahwa penggunaan amodiaquine saja tidak menunjukkan hasil yang lebih baik daripada sulfadoxine pyrimethamine dan bahkan menunjukkan tolerabilitas yang lebih buruk.[10]

Pilihan profilaksis lain adalah dihydroartemisinin-piperaquine. Di daerah-daerah dengan resistensi sulfadoxine pyrimethamine tinggi, pemberian dihydroartemisinin-piperaquine menunjukkan hasil yang baik. Dihydroartemisinin-piperaquine menurunkan kejadian malaria simtomatis 73% dan parasitemia 65%. Saat ini penelitian untuk mengetahui efeknya pada bayi dan analisis cost effectiveness masih dilakukan.[10]

Royal College of Obstetricians and Gynaecologist merilis panduan yang berbeda mengenai profilaksis malaria pada ibu hamil yang ingin bepergian ke daerah endemis. Pilihan obat kemoprofilaksis tergantung pada status resistensi P. falciparum dan P. vivax terhadap chloroquine dan usia kehamilan. Profilaksis malaria dapat dilakukan dengan dua metode, yakni metode biasa dan supresif.[11]

Profilaksis biasa bertujuan untuk melawan fase skizon hati Plasmodium. Profilaksis ini dilakukan hingga 7 hari setelah kepulangan pasien. Profilaksis supresif dilakukan untuk membunuh fase parasit di sel darah merah, sehingga profilaksis ini harus dilanjutkan selama 4 minggu setelah kepulangan. Regimen profilaksis yang disarankan adalah mefloquine, atovaquon-proguanil, dan proguanil-chloroquine.[11]

Profilaksis Nonfarmakologis untuk Pencegahan Malaria pada Ibu Hamil

Selain pencegahan malaria dengan metode IPTp seperti yang disarankan oleh WHO, beberapa tindakan nonfarmakologis dapat dilakukan. Bagi ibu hamil yang tidak berasal dari negara endemis dan ingin melakukan perjalanan menuju negara endemis malaria, repellent nyamuk dapat dipakai untuk mencegah gigitan.[11]

Ibu hamil disarankan untuk menggunakan repellent dengan 50% DEET pada daerah yang terbuka seperti kaki dan lengan. Repellent 50% DEET digunakan dua kali sehari pada trimester kedua dan ketiga. Belum ada data keamanan penggunaan repellent 50% DEET pada trimester pertama, tetapi penelitian pada tikus tidak menunjukkan toksisitas. Bila berkeringat, repellent dapat digunakan lebih sering.[11]

Selain penggunaan repellent, pencegahan gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu berinsektisida, semprot obat antinyamuk, dan perlindungan ruangan seperti penggunaan antinyamuk elektrik juga dapat dilakukan.[11]

Kesimpulan

Profilaksis malaria perlu dilakukan pada ibu hamil yang tinggal di daerah endemis dan ibu hamil yang hendak bepergian ke daerah endemis. Salah satu panduan yang dapat digunakan adalah panduan WHO yang menyarankan Intermittent Preventive Treatment of Malaria in Pregnancy (IPTp).

Kemoprofilaksis IPTp terdiri dari minimal tiga dosis sulfadoxine pyrimethamine yang diberikan dengan jarak masing-masing minimal 1 bulan. Dosis dapat diberikan saat ibu berkunjung untuk antenatal care (ANC). Masing-masing dosis berisi 500 mg sulfadoxine dan 25 mg pyrimethamine. Selain tindakan kemoprofilaksis, upaya pencegahan malaria juga dapat menggunakan repellent, kelambu, dan antinyamuk elektrik.

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi