Efektivitas Kemoprofilaksis Malaria Musiman—Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Gisheila Ruth Anggitha

Effectiveness of seasonal malaria chemoprevention at scale in west and central Africa: an observational study

ACCESS-SMC Partnership. Effectiveness of seasonal malaria chemoprevention at scale in west and central Africa: an observational study. Lancet. 2020 Dec 5;396(10265):1829-1840. doi: 10.1016/S0140-6736(20)32227-3

Abstrak

Latar Belakang: Seasonal Malaria Chemoprevention (SMC) atau kemoprofilaksis malaria musiman bertujuan untuk mencegah malaria pada anak-anak selama tingginya transmisi malaria musiman. Perluasan proyek The Achieving Catalytic Expansion of SMC in the Sahel (ACCESS-SMC) perlu menghilangkan hambatan yang dapat mengganggu peningkatan SMC di tujuh negara pada tahun 2015 dan 2016. Peneliti mengevaluasi proyek, termasuk cakupan, efektivitas intervensi, keamanan, kelayakan, resistensi obat, dan efektivitas biaya.

Metode : Untuk studi observasional ini, peneliti mengumpulkan data pengiriman, efektivitas, keamanan, pengaruh dari resistensi obat, biaya pengiriman, dampak pada insidensi dan mortalitas malaria, efektivitas biaya SMC, selama masa pemberian SMC dalam 4 bulan setiap tahun (2015 dan 2016) kepada anak berusia di bawah 5 tahun di Burkina Faso, Chad, Republik Gambia, Guinea, Mali, Niger, dan Nigeria.

Setiap bulannya, SMC diberikan oleh tenaga kesehatan komunitas yang berkunjung dari rumah ke rumah. Pemberian obat dimonitor melalui lembar penghitungan dan survei cakupan sampel klaster rumah tangga.

Kewaspadaan obat atau pharmacovigilance dilakukan berdasarkan adanya pelaporan spontan dan sistem pemantauan yang sudah diperkuat. Penanda molekuler dari resistensi sulfadoxine-pyrimethamine dan amodiaquine pada populasi umum sebelum dan 2 tahun setelah pemberian SMC diukur berdasarkan survey komunitas.

Efektivitas pengobatan SMC bulanan diukur dalam studi kasus-kontrol yang membandingkan resep SMC antara pasien yang terdiagnosis malaria dan kontrol komunitas yang memenuhi syarat untuk menerima SMC. Dampak dari insidensi dan mortalitas diukur berdasarkan kasus rawat jalan yang terkonfirmasi, rawat inap, dan kematian yang terkait dengan malaria, yang dilaporkan dalam sistem informasi manajemen kesehatan nasional di Burkina Faso dan Republik Gambia, dan berdasarkan data dari fasilitas rawat jalan yang terpilih (semua negara).

Biaya penyedia SMC diperkirakan dari biaya finansial, biaya waktu staf tenaga medis, biaya sukarelawan, dan rasio efektivitas biaya dihitung sebagai total biaya SMC pada masing-masing negara dibandingkan dengan prediksi jumlah kasus yang dapat dihindari.

Hasil: Sebanyak 12.467.933 pengobatan SMC bulanan diberikan pada tahun 2015 untuk target populasi 3.650.455 anak, dan sebanyak 25.117.480 diberikan pada tahun 2016 dengan target populasi 7.551.491.

Pada tahun 2015, dari anak yang memenuhi kriteria, rerata cakupan per bulan adalah 76,4% (95% CI 74,0-78,8) dan 54,5% anak (95% CI 50,4-58,7) menerima keempat pengobatan. Angka cakupan yang serupa diperoleh pada tahun 2016 (74,8%[72,2-77,3] dengan pengobatan setiap bulan dan 53,0% [48,5-57,4] diobati selama empat kali).

Dari 779 laporan kasus mengenai keamanan individual selama tahun 2015–2016, 36 reaksi obat derajat berat telah dilaporkan (1 anak dengan ruam, 2 dengan demam, 31 dengan gangguan pencernaan, 1 dengan sindrom ekstrapiramidal, dan 1 dengan edema Quincke). Tidak terdapat laporan kasus reaksi kulit yang berat (Sindrom Steven-Johnson atau Lyell).

Pengobatan SMC dikaitkan dengan efektivitas protektif sebanyak 88,2% (95% CI 78,7-93,4) selama 28 hari pada studi kasus-kontrol (2.185 kasus terkonfirmasi malaria dan 4.370 kontrol). Di Burkina Faso dan Republik Gambia, implementasi SMC berhubungan dengan penurunan jumlah kematian akibat malaria di rumah sakit selama periode transmisi tinggi, yaitu 42,4% (95% CI 5,9 sampai 64,7%) di Burkina Faso dan 56,6% (28,9-73,5%) di Republik Gambia.

Selama periode transmisi tinggi pada tahun 2015-2016, perkiraan penurunan kasus terkonfirmasi malaria pada klinik rawat jalan di tujuh negara berkisar antara 25,5% (95% CI 6,1-40,9%) di Nigeria hingga 55,2% (42,0 – 65,3%) di Republik Gambia. Penanda molekuler dari resistensi obat terjadi pada frekuensi rendah.

Pada individu berusia 10–30 tahun tanpa SMC, mutasi kombinasi yang berhubungan dengan resistensi amodiaquine, yaitu Plasmodium falciparum chloroquine resistance transporter atau pfcrt-CVIET haplotype dan mutasi terhadap P falciparum multidrug resistance 1 atau pfmdr1 (86Tyr dan 184Tyr) memiliki angka prevalensi 0,7% (95% CI 0,4-1,2) di tahun 2016 dan 0,4% (0,1-0,8) di tahun 2018 (rasio prevalensi 0,5 [95% CI 0,2-1,2]).

Mutasi quintuple dihubungkan dengan resistensi terhadap sulfadoxine-pyrimethamine (mutasi tripel pada Plasmodium falciparum dihydrofolate reductase atau fdhfr dan Plasmodium falciparum dihydropteroate synthetase atau pfdhps [437Gly dan 540 Glu]) yang memiliki angka prevalensi 0,2% (0,1-0,5) di tahun 2016 dan 1% (0,6-1,6) di tahun 2018 (rasio prevalensi 4,8 [1,7-13,7]).

Rerata biaya ekonomi terhitung dari penyelenggaraan SMC setiap empat bulan adalah 3,63 USD atau 53.000 rupiah per anak.

Interpretasi: SMC dalam skala besar efektif dalam mencegah morbiditas dan mortalitas akibat malaria. Reaksi efek samping yang serius sangat jarang dilaporkan. Cakupan bervariasi, dengan beberapa area secara konsisten mencapai level tinggi melalui kampanye melalui rumah-ke-rumah. Penanda resistensi terhadap sulfadoxine-pyrimethamin dan amodiaquine tidak umum dilaporkan, tetapi tetap perlu dilakukan pemilihan obat berdasarkan resistensi tersebut dan situasi ini perlu dipantau dengan cermat. Penemuan ini harus mendukung upaya meningkatkan cakupan SMC tinggi di Afrika Barat dan Tengah.

malaria jurnal

Ulasan Alomedika

Morbiditas dan mortalitas malaria biasanya meningkat setelah musim hujan. Menurut WHO, salah satu upaya pencegahan malaria yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian seasonal malaria chemoprevention (SMC), yaitu dengan regimen antimalaria sulfadoxine-pyrimethamine ditambah amodiquine (SP+AQ). Regimen ini diberikan sekali sebulan untuk mencegah malaria.

Penelitian ini memiliki tujuan yang cukup jelas, yaitu melakukan implementasi SMC dalam skala besar untuk melihat efektivitas pengobatan, keamanan, kelayakan, resistensi obat, dan efektivitas biaya.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data observasional yang mengambil data dari pengiriman, efektivitas dan keamanan pengobatan setiap bulan, pengaruh resistensi obat, biaya pengiriman, dampak insidensi dan mortalitas malaria, dan efektivitas biaya SMC dalam pemberian obat selama 4 bulan setiap tahun (2015 dan 2016). Penelitian ini dikhususkan pada anak usia di bawah 5 tahun. Penelitian ini dilakukan di beberapa negara di Afrika Barat dan Tengah.

Kriteria inklusi penelitian ini adalah anak berusia 3–59 bulan yang pertama kali diberikan pengobatan (layak menerima empat kali pengobatan). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah anak yang sedang sakit, telah diketahui mengalami alergi terhadap obat-obatan SMC, serta anak yang mengonsumsi amodiaquine, sulfadoxine-pyrimethamine, atau antibiotik yang mengandung sulfa selama 4 minggu terakhir.

Untuk menilai efektivitas pengobatan SMC sebagai profilaksis malaria, penelitian ini menggunakan studi kasus-kontrol. Data didapatkan dari sumber valid, yaitu database sistem informasi manajemen kesehatan nasional dan data individu dari klinik yang sudah dipilih. Dilakukan penguatan terhadap kewaspadaan farmako (farmakovigilans) nasional pada semua negara.

Setiap protokol penelitian sudah diketahui dan disetujui oleh komite etik. Grup kasus merupakan anak berusia 3–59 bulan yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keluhan demam dan secara mikroskopik dikonfirmasi terdapat Plasmodium falciparum aseksual. Grup kontrol adalah anak yang berasal dari lingkungan rumah yang sama yang layak mendapatkan SMC (2 kontrol untuk setiap kasus).

Tidak disebutkan secara jelas luaran primer dan sekunder pada penelitian ini. Luaran yang diteliti adalah penurunan insidensi malaria klinis bulanan pada 28 hari dan 29–42 hari setelah pemberian dosis pertama SMC. Luaran keamanan pengobatan diteliti melalui laporan kasus efek samping dari fasilitas kesehatan. Luaran lain yang diteliti adalah penanda molekuler resistensi obat, dampak pada morbiditas dan mortalitas malaria, serta efektivitas biaya.

Ulasan Hasil Penelitian

Cakupan rerata per bulan anak yang mendapatkan pengobatan SMC adalah 76,4% dan 54,5% anak mendapatkan pengobatan secara penuh (selama 4 bulan berturut-turut). Pada tahun 2016, cakupan rerata sebanyak 74,8% dan 53,5% yang mendapatkan pengobatan penuh. Cakupan ini bervariasi pada masing-masing negara.

Pada studi kasus-kontrol, terdapat 2185 kasus dengan konfirmasi malaria dan 4.370 kontrol yang diteliti selama tahun 2015. Perkiraan efektivitas protektif pengobatan SMC dalam mengurangi insidensi malaria klinis dalam waktu 28 hari setelah pemberian adalah 88,2%. Efektivitas dari 29-42 hari setelah pengobatan adalah 61,4%.

Laporan hasil keamanan pada pengobatan SMC didapat berdasarkan laporan efek samping dan terdapat 779 kasus dengan 36 kasus berat. Kasus berat yang dimaksud adalah 1 orang dengan ruam, 2 orang dengan demam, 31 dengan gangguan pencernaan, 1 dengan sindrom ekstrapiramidal, dan 1 dengan edema Quincke. Semua anak sembuh dari efek samping yang berat. Tidak didapatkan adanya reaksi kulit yang serius seperti, sindrom Stevens-Johnson atau Lyell.

Pada penelitian ini didapatkan adanya resistensi terhadap amodiaquine dengan prevalensi 1,3% tahun 2016 dan 0,5% pada tahun 2018. Prevalensi mutasi quintuple berhubungan dengan resistensi terhadap sulfadoxine-pyrimethamine sebesar 0,4% pada tahun 2016 dan 0,7% pada tahun 2018.

Pada penelitian ini didapatkan bahwa pengobatan SMC efektif dalam menurunkan insidensi malaria falciparum, aman digunakan, memiliki tingkat resistensi yang rendah, dan cost-effective.

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam skala besar dan dari berbagai negara di Afrika sehingga dapat meningkatkan validitas penelitian. Pada penelitian ini, dilakukan pemberian obat dari rumah-ke-rumah oleh relawan. Metode distribusi seperti ini berhasil menjangkau masyarakat menengah ke bawah.

Penelitian ini memiliki manfaat klinis yang bermakna dan dapat segera diimplementasikan. Penelitian ini meneliti efektivitas, keamanan, resistensi, dampak insidensi dan mortalitas malaria, dan efektivitas biaya. Semua luaran (endpoint) menunjukkan hasil yang positif sehingga program pengobatan SMC dapat diterapkan dan jangkauannya dapat diperluas.

Kekurangan Penelitian

Perkiraan efek pada tingkat malaria dapat dipengaruhi oleh faktor perancu, seperti efek yang bersamaan dengan tindakan pengendalian lainnya, perubahan akses ke fasilitas layanan kesehatan, tingkat pengujian parasitologis yang dicurigai kasus malaria, dan adanya perbaikan penatalaksanaan kasus yang berat.

Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah laporan kasus efek samping. Penelitian ini tidak menjalani pemeriksaan darah yang mungkin akan mendeteksi adanya cedera hati atau agranulositosis akibat pengobatan malaria.[1]

Aplikasi Penelitian di Indonesia

Berdasarkan penelitian ini, ditemukan bahwa seasonal malaria chemoprevention (SMC) atau kemoprofilaksis malaria musiman efektif dalam menurunkan tingkat insidensi malaria. SMC aman digunakan, memiliki tingkat resistensi yang rendah, dan tidak memerlukan biaya yang tinggi. Seperti yang sudah diketahui, prevalensi malaria juga masih tinggi di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua.[2,3]

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, prevalensi malaria di Indonesia adalah sebesar 0,4% dan jenis Plasmodium falciparum ditemukan pada 57% kasus.[2]

Oleh karena itu, SMC dapat dipertimbangkan untuk diterapkan dalam program profilaksis malaria di daerah endemis di Indonesia untuk mencegah transmisi malaria musiman. Regimen SMC dapat diberikan setiap bulan selama 4 bulan berturut-turut. Tenaga kesehatan dapat bekerja sama dengan relawan untuk mendistribusikan obat dari rumah-ke-rumah untuk mencapai cakupan dan tingkat kepatuhan minum obat yang baik.

Referensi