Penatalaksanaan Nonfarmakologis untuk Gangguan Kecemasan

Oleh :
dr. Damba Bestari, Sp.KJ

Menurut studi, kombinasi penatalaksanaan nonfarmakologis dan farmakologis adalah metode terbaik untuk menangani gangguan kecemasan. Gangguan kecemasan masih merupakan salah satu gangguan mental terumum di dunia, dengan 3,8% populasi dunia diperkirakan menderita kondisi ini. Walaupun prognosis gangguan kecemasan umumnya baik, kondisi yang tidak tertangani dapat menimbulkan disabilitas.[1]

Klasifikasi gangguan kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders kelima (DSM-V) terdiri dari gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik, fobia sosial, agorafobia, dan gangguan obsesif kompulsif. Tiap diagnosis ini memiliki gejala khas tersendiri. Akan tetapi, secara umum, semuanya mencakup kekhawatiran berlebihan yang mengganggu, ketegangan motorik, serta hipersensitivitas terhadap stresor eksternal.[2]

Penatalaksanaan Nonfarmakologis untuk Gangguan Kecemasan-min

Strategi Tata Laksana Nonfarmakologis untuk Gangguan Kecemasan

Sebagian besar gangguan kecemasan dengan derajat sedang dan berat membutuhkan kombinasi terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Namun, pada derajat ringan, terapi nonfarmakologis dapat menjadi pilihan utama. Pedoman National Institute for Health and Care Excellence (NICE) bahkan merekomendasikan intervensi nonfarmakologis sebagai terapi lini pertama sebelum pengobatan farmakologis.

Dari berbagai terapi nonfarmakologis, psikoterapi (termasuk terapi perilaku kognitif dan psikoterapi psikodinamika) masih menjadi pilihan utama. Namun, terapi ini memerlukan pelatihan dan pengalaman tinggi, sehingga pihak yang berkompetensi melakukannya hanyalah psikiater dan psikolog klinis.[3]

Pilihan terapi nonfarmakologis yang lebih praktis dan sederhana telah dipelajari untuk mengatasi isu tersebut. Beberapa metode yang tidak membutuhkan pelatihan khusus dan dapat diajarkan langsung kepada pasien adalah relaksasi, meditasi, dan olahraga.

Relaksasi untuk Menangani Gangguan Kecemasan

Terapi relaksasi telah banyak dipelajari dan dilaporkan sebagai pilihan yang valid untuk mengurangi gejala gangguan kecemasan. Beberapa teknik relaksasi juga dimodifikasi dari terapi perilaku kognitif (CBT). Sejumlah meta analisis melaporkan bahwa relaksasi memiliki ukuran efek yang lebih tinggi secara numerik daripada terapi perilaku kognitif.

Mayoritas uji klinis yang dianalisis dalam berbagai meta analisis tersebut sebenarnya masih bersifat heterogen. Namun, karena terapi relaksasi mudah dilakukan sendiri oleh pasien dan dilaporkan efektif oleh cukup banyak studi, relaksasi dapat dianjurkan.[3]

Contoh jenis relaksasi adalah progressive muscular relaxation (PMR), relaksasi terapan (applied relaxation), latihan autogenik, meditasi, dan box breathing. Untuk melakukan box breathing, pasien diminta menarik napas perlahan selama 2–4 detik lalu menahan napas selama 2–4 detik. Setelah itu, pasien diminta membuang napas perlahan selama 2–4 detik lalu menahan napas selama 2–4 detik.[3,4]

Olahraga untuk Menangani Gangguan Kecemasan

Sejumlah meta analisis dan tinjauan sistematik menemukan bukti efek positif olahraga terhadap gangguan kecemasan, terutama untuk gangguan stres pasca trauma (PTSD). Suatu analisis secara khusus menganjurkan olahraga sebagai tambahan pengobatan pada pasien dengan depresi dan kecemasan yang resisten terhadap obat.[5]

Pedoman olahraga untuk gangguan kecemasan yang dibuat oleh Office of Disease Prevention and Health Promotion merekomendasikan minimal 2½ jam aktivitas fisik intensitas sedang (misalnya jalan cepat) tiap minggu, 1¼ jam aktivitas intensitas tinggi (seperti jogging atau berenang), atau kombinasi keduanya.

Hingga saat ini tidak ada bukti tentang dampak buruk olahraga terhadap gangguan kecemasan. Oleh karena itu, olahraga aman direkomendasikan kepada pasien. Namun, pasien perlu diedukasi bahwa medikamentosa atau psikoterapi mungkin diperlukan.[5]

Meditasi Berbasis Mindfulness untuk Menangani Gangguan Kecemasan

Saat ini belum ada konsensus khusus tentang definisi meditasi. Namun, secara umum, meditasi disepakati sebagai bentuk pelatihan mental yang membutuhkan ketenangan pikiran dengan tujuan untuk mencapai keadaan detached observation.

Pendekatan meditasi yang telah dipelajari pada orang dengan gangguan kecemasan adalah intervensi berbasis mindfulness, latihan berbasis mindfulness, reduksi stres berbasis mindfulness, dan terapi kognitif berbasis mindfulness. Meskipun memiliki pendekatan berbeda, semua teknik tersebut mengandalkan ketenangan pikiran sebagai modalitas inti. Pasien dapat melakukan teknik ini dengan panduan video di internet.[6]

Tinjauan sistematik dan meta analisis tentang intervensi berbasis mindfulness untuk gangguan mental menemukan bahwa metode ini lebih unggul daripada metode tanpa pengobatan dan setara dengan pengobatan antidepresan jenis SSRI (selective serotonin release inhibitor) yang biasa digunakan untuk gangguan cemas.

Meta analisis lain yang menyertakan pasien dengan gangguan kecemasan dan gangguan mood juga menunjukkan bahwa intervensi mindfulness bersifat cukup efektif dalam mengurangi gejala. Latihan berbasis mindfulness dilaporkan sama efektifnya dengan terapi perilaku kognitif dan terapi farmakologis. Namun, bukti-bukti ini juga masih berasal dari studi yang sangat heterogen. Beberapa studi menyatakan bahwa mindfulness tidak memberikan efek yang signifikan.[6]

Therapeutic Touch untuk Menangani Gangguan Kecemasan

Landasan teori terapi ini adalah Science of Unitary Human Beings yang berasal dari seseorang bernama Rogers. Rogers memandang manusia sebagai bidang energi dinamis yang memiliki interaksi dengan lingkungannya. Therapeutic touch dikenal juga sebagai pijat relaksasi. Pijat ini bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan energi.

Menurut teori therapeutic touch, ketidakseimbangan dan penyumbatan di bidang energi pasien bisa menimbulkan berbagai gangguan termasuk gangguan mental. Terapi ini melibatkan dua fase, yaitu fase penilaian dan keseimbangan. Terapi biasanya dilakukan selama 20–25 menit atau ketika keseimbangan energi telah tercapai.[7]

Akan tetapi, uji klinis yang mendukung efektivitas metode ini sebenarnya amat terbatas. Cochrane pernah berupaya melakukan meta analisis tentang efek therapeutic touch terhadap gangguan kecemasan tetapi tidak berhasil mengidentifikasi uji klinis acak yang bisa dianalisis. Oleh karena itu, penggunaan therapeutic touch untuk mengatasi gangguan kecemasan belum didukung oleh bukti ilmiah.[7]

Kesimpulan

Penatalaksanaan nonfarmakologis telah direkomendasikan oleh beberapa pedoman sebagai terapi lini pertama untuk gangguan kecemasan ringan hingga sedang. Selain itu, adanya stigma tentang kesehatan jiwa dan keterbatasan akses pasien ke psikiater dapat mempersulit pemberian psikotropika, sehingga peran terapi nonfarmakologis yang dapat diajarkan dokter kepada pasien menjadi semakin penting.

Menurut hasil studi, terapi relaksasi, meditasi berbasis mindfulness, dan olahraga telah terbukti cukup efektif dalam mengurangi gejala gangguan kecemasan. Beragam studi tersebut sebenarnya masih bersifat heterogen dan studi yang lebih berkualitas masih dibutuhkan. Namun, karena ketiga metode tersebut mudah diterapkan, ketiganya masih dianjurkan kepada pasien. Di lain sisi, metode therapeutic touch belum memiliki bukti ilmiah yang mendukung efektivitasnya.

Dokter tetap harus mempertimbangkan untuk segera merujuk pasien ke psikiater bila terapi nonfarmakologis di atas tidak memberikan perbaikan. Hal ini dikarenakan kombinasi pengobatan farmakologis dan nonfarmakologis masih merupakan metode terapi terbaik bagi gangguan kecemasan, khususnya pada derajat sedang hingga berat.

Referensi