Gangguan Cemas Sebagai Faktor Risiko Dementia

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Berbagai studi observasi menunjukkan hubungan antara gangguan cemas dan dementia. Data epidemiologi global melaporkan bahwa populasi pasien dementia di tahun 2015 mencapai 47 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai 131 juta jiwa di tahun 2050.[1] Namun, hingga saat ini belum ditemukan tata laksana definitif yang dapat mengatasi gangguan ini. Oleh karenanya, pencegahan adalah aspek penting dalam tata laksana dementia.

Salah satu langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui dan mengatasi faktor risiko dementia. Berbagai studi mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dan penyakit metabolik kronis dapat meningkatkan risiko dementia. Salah satunya adalah gangguan cemas yang dilaporkan dapat menjadi prediktor hendaya kognitif pada geriatri.[2-4] Gangguan cemas juga dilaporkan dapat menjadi gejala, komorbid, dan faktor risiko dementia.[3,5]

Gangguan Cemas Sebagai Faktor Risiko Dementia-min

Bukti Ilmiah Terkait Gangguan Cemas dan Risiko Dementia

Kecemasan merupakan salah satu gejala yang dapat ditemukan pada penderita dementia. Sebuah hipotesis menyatakan bahwa kecemasan terjadi akibat ketidakmampuan penderita dementia dalam mengekspresikan emosinya. Gejala cemas pada penderita dementia juga sering menjadi penyebab dari agresivitas ataupun wandering.[6,7]

Selain sebagai salah satu gejala dementia, gangguan cemas juga dapat menjadi prediktor terjadinya hendaya kognitif pada orang yang berusia di atas 60 tahun. Gangguan cemas juga dapat menjadi salah satu komorbiditas pada pasien dementia.[3,5,6,8]

Studi prospektif dengan lama pemantauan 28 tahun yang dilakukan Petkus et al, melibatkan 1736 orang kembar dengan usia di atas 50 tahun. Studi ini ditujukan untuk menentukan apakah gangguan cemas merupakan faktor risiko terjadinya dementia, menentukan hubungan antara gejala cemas dengan performa kognitif, serta faktor genetik yang mendasari.

Hasil studi menunjukkan bahwa gejala cemas meningkatkan risiko terjadinya dementia hingga hampir 1,5 kali. Gejala cemas juga berkaitan dengan penurunan performa kognitif, khususnya pada kecepatan memproses informasi dan memori nonverbal.[3]

Hasil tersebut didukung oleh suatu meta analisis yang lebih baru. Meta analisis oleh Gimson et al ini melibatkan 4 studi dengan total jumlah sampel hampir 30.000 subjek studi. Hasil meta analisis menunjukkan bahwa gangguan cemas yang bermakna secara klinis berhubungan signifikan dengan peningkatan risiko dementia dalam ≥10 tahun yang akan datang.[5]

Walaupun kedua studi di atas menunjukkan adanya hubungan antara gangguan cemas dan peningkatan risiko dementia, masih banyak hal perlu diteliti terkait hal ini. Salah satunya adalah apakah pengobatan gangguan cemas di masa muda akan mengurangi risiko dementia saat usia lanjut.

Hipotesis Terkait Peran Gangguan Cemas dalam Terjadinya Dementia

Hingga saat ini, mekanisme yang menghubungkan gangguan cemas dengan dementia belum diketahui secara pasti. Namun, banyak ahli menduga bahwa stres yang dialami penderita gangguan cemas akan mendasari timbulnya dementia.

Hiperkortisolemia

Stres kronis dapat menyebabkan hiperaktivasi kortisol di aksis hipotalamus-pituitari-adrenal.[3,5,8] Hiperkortisolemia akan menginduksi stimulasi berlebihan reseptor glukokortikoid di lobus temporal media yang menyebabkan terjadinya atrofi hipokampus. Pada hewan coba, kadar tinggi kortisol juga meningkatkan pembentukan amyloid dan akumulasi protein tau, yang juga ditemukan pada penyakit Alzheimer.[8] Selain hipokampus, daerah lain yang peka terhadap hiperkortisolemia adalah korteks prefrontal. Kedua area tersebut merupakan area penting yang berperan dalam fungsi kognitif seseorang, sehingga kerusakan di kedua daerah tersebut berkaitan erat dengan timbulnya gejala dementia.[3,5,8]

Percepatan Penuaan Selular dan Neuroprogresi

Respon stres abnormal yang nampak pada gangguan cemas juga ditemukan berkaitan dengan percepatan penuaan selular dan neuroprogresi. Termasuk di dalam hal ini adalah peningkatan neurodegenerasi, apoptosis neuronal, dan penurunan neuroplastisitas.[5]

Reaksi Fisiologis

Perlu diingat bahwa stres yang disebabkan oleh gangguan cemas juga akan meningkatkan reaksi fisiologis seperti peningkatan laju nadi, tekanan darah, vasokonstriksi, dan aktivitas platelet. Keseluruhan perubahan fisiologis ini berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular yang dapat mencetuskan dementia vaskular.

Inflamasi

Hipotesis lain adalah peningkatan inflamasi dengan peningkatan kadar sitokin (seperti IL-6 dan TNF) yang sering ditemukan pada gangguan terkait stress, seperti gangguan cemas. Peningkatan kadar sitokin ini akan meningkatkan risiko penurunan fungsi kognitif.[8]

Abnormalitas Hormon Tiroid

Hormon tiroid mempengaruhi neurotransmiter secara langsung. Tirotoksikosis dilaporkan meningkatkan prevalensi gangguan cemas hingga 33-61%. Tirotoksikosis juga bersifat neurotoksik, sehingga akan meningkatkan neuroprogresi yang berdampak pada timbulnya defisit kognitif.[9]

Faktor Genetik

Faktor genetik juga berperan pada terjadinya gangguan cemas dan dementia. Kedua gangguan ini memiliki beberapa faktor risiko genetik yang sama, seperti polimorfisme gen BDNF (brain derived neurotrophic factor) terutama Val66Met dan varian apolipoprotein Eԑ4.[3]

Protein BDNF di tubuh berperan dalam neurogenesis dan plastisitas sinaps. Polimorfisme akan menyebabkan penurunan sekresi BDNF dan berimplikasi sebagai alel risiko timbulnya gangguan cemas dan fungsi kognitif yang lebih buruk.[3,8] Varian apolipoprotein Eԑ4 sendiri diduga kuat berperan dalam timbulnya dementia Alzheimer dan juga memiliki peran dalam munculnya gangguan cemas.[3]

Kesimpulan

Berbagai studi menunjukkan bahwa gangguan cemas dapat meningkatkan risiko terjadinya dementia di masa lanjut kehidupan. Mekanisme pasti yang mendasari hal ini masih belum diketahui. Namun, diduga berhubungan dengan hiperkortisolemia akibat stres, percepatan penuaan selular dan neuroprogesi, inflamasi, abnormalitas hormon tiroid, dan faktor genetik.

Meskipun berbagai studi menunjukkan bahwa gangguan cemas adalah faktor risiko dementia, studi lebih lanjut masih diperlukan. Berbagai aspek terkait hal ini masih perlu digali lebih dalam, misalnya apakah pengobatan gangguan cemas akan menurunkan risiko dementia di masa datang.

Referensi