Pemberian vaksin HPV atau vaksin human papillomavirus pada pasien dengan riwayat infeksi HPV masih jarang dilakukan karena biasanya vaksin ini difokuskan pada pasien yang belum pernah terinfeksi HPV. Namun, studi-studi terkait potensi manfaat vaksin HPV bagi pasien yang sudah pernah terinfeksi HPV mulai banyak dilakukan.[1-3]
Vaksin HPV merupakan salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang paling efisien untuk mencegah infeksi HPV dan kanker yang berkaitan, terutama di area anogenital dan orofaring. Tiga jenis vaksin HPV kini tersedia secara luas, yaitu vaksin bivalen, tetravalen, dan nonavalen, yang semuanya menargetkan HPV 16 dan 18 sebagai tipe risiko tinggi utama.[1-3]
Berdasarkan rekomendasi ACIP (The Advisory Committee on Immunization Practices), vaksin HPV disarankan bagi pria dan wanita berusia 9–26 tahun, dengan efektivitas imunogenik yang tinggi dan perlindungan jangka panjang minimal 10 tahun.[1-3]
Namun, vaksin HPV belum secara rutin diberikan kepada individu yang lebih tua atau mereka yang sudah pernah terinfeksi HPV. Kelompok ini mencakup orang dewasa yang melewatkan program vaksinasi saat pertama kali diluncurkan, belum melengkapi dosis, atau tinggal di wilayah dengan akses terbatas. Selain itu, reinfeksi ataupun reaktivasi infeksi laten dapat terjadi, yang menyebabkan penyakit HPV kambuhan, terutama pada organ-organ yang rentan.[4,5]
Meskipun belum ada vaksin HPV terapeutik, ada bukti bahwa vaksinasi setelah terapi primer seperti LEEP (Loop Electrosurgical Excision Procedure) atau konisasi dapat mengurangi risiko kekambuhan. Mekanismenya mungkin melibatkan stimulasi imunitas seluler, perlindungan silang terhadap genotipe lain, dan pencegahan auto-inokulasi. Selain itu, pengangkatan lesi bisa menciptakan lingkungan mukosa yang lebih responsif terhadap efek vaksin, terutama pada kasus infeksi HPV laten atau subklinis.[4,6]
Efikasi Vaksinasi HPV pada Pasien dengan Riwayat Infeksi HPV
Meta-analisis terhadap 16 studi dengan lebih dari 21.000 pasien menunjukkan bahwa pemberian vaksin HPV setelah terapi primer (seperti LEEP atau konisasi) bisa secara signifikan menurunkan risiko kekambuhan lesi prainvasif.[1]
Risiko kekambuhan cervical intraepithelial neoplasia atau CIN 2+ menurun sebesar 67% (OR 0,33; 95% CI 0,20–0,52; p < 0,0001). Risiko CIN 1+ dan CIN 3 juga menurun secara bermakna. Temuan ini menunjukkan bahwa vaksin HPV dapat digunakan sebagai strategi pencegahan sekunder meskipun pasien pernah terinfeksi HPV.[1]
Penurunan kekambuhan tersebut diduga bukan berasal dari efek terapeutik langsung terhadap virus aktif, melainkan karena beberapa mekanisme. Pertama, vaksinasi HPV setelah pengangkatan lesi diperkirakan bisa menciptakan microenvironment baru yang lebih reseptif terhadap proteksi imun.[1-3]
Kedua, vaksin juga dapat memicu imunitas seluler dan memberikan perlindungan silang terhadap genotipe HPV lain yang belum menginfeksi. Hal-hal ini mendukung bahwa meskipun vaksin tidak menghilangkan infeksi yang sudah ada, vaksin dapat mencegah reinfeksi atau infeksi ulang pada lokasi berbeda.[1-3]
Mekanisme Proteksi Vaksinasi HPV pada Pasien dengan Riwayat Infeksi HPV
Vaksin HPV tidak bersifat terapeutik dan tidak mengeliminasi virus dari sel yang sudah terinfeksi. Namun, beberapa mekanisme biologis diduga berperan dalam menurunkan kekambuhan setelah vaksinasi.[4,5]
Pemulihan Microenvironment Imunologis
Setelah lesi diangkat melalui pembedahan (misal LEEP), lingkungan mukosa menjadi relatif "naïf" terhadap antigen HPV, sehingga memungkinkan sistem imun merespons lebih optimal terhadap vaksinasi. Ini didukung oleh temuan bahwa konisasi menurunkan kadar sitokin inflamasi lokal dan menciptakan lingkungan imun yang lebih responsif terhadap vaksin.[4,5]
Proteksi Silang terhadap Genotipe Lain
Vaksin HPV nonavalen dan quadrivalen terbukti memberikan perlindungan tidak hanya terhadap tipe HPV 16 dan 18, tetapi juga sebagian terhadap tipe lain seperti 31, 33, 45, 52, dan 58. Hal ini membantu mencegah infeksi ulang dengan genotipe yang berbeda dari infeksi awal.[4,5]
Stimulasi Imunitas Seluler
Selain antibodi netralisasi, vaksin HPV juga merangsang imunitas sel-T yang berperan untuk menghambat reaktivasi infeksi laten atau auto-inokulasi antar organ (contohnya dari serviks ke anus). Studi pada pasien HIV menunjukkan bahwa vaksin tetap dapat menginduksi respons seluler meskipun imunokompromais.[4,5]
Auto-Inokulasi dan Virom Komensal
HPV kini juga dianggap sebagai bagian dari virom komensal tubuh manusia. Dengan demikian, vaksinasi dapat mencegah auto-inokulasi antar lokasi yang sebelumnya belum terpapar, seperti dari serviks ke orofaring atau kulit.[4,5]
Manfaat Vaksinasi HPV pada Pasien Setelah Kanker Serviks
Pasien yang telah menyelesaikan terapi kanker serviks umumnya tetap menghadapi risiko kekambuhan, baik karena infeksi ulang, reaktivasi virus laten, atau auto-inokulasi antar jaringan. Dalam konteks ini, vaksinasi HPV pasca terapi kanker mulai mendapat perhatian sebagai strategi pencegahan sekunder yang menjanjikan, meskipun vaksinasi belum secara resmi diindikasikan untuk terapi atau digunakan pada individu yang sudah mengalami transformasi neoplastik.[4,5]
Beberapa studi dalam meta-analisis oleh Di Donato et al. (2022) menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar populasi penelitian adalah pasien dengan CIN 1–3, sejumlah kecil studi melibatkan pasien dengan riwayat kanker serviks stadium awal yang telah menjalani pengangkatan lesi secara tuntas. Dalam kelompok ini, vaksinasi HPV pasca terapi primer dikaitkan dengan penurunan kekambuhan lesi prainvasif—suatu temuan yang dapat berdampak besar bagi populasi penyintas kanker.[1]
Mekanisme manfaat pada populasi ini kemungkinan tidak berbeda secara prinsip dari pasien dengan CIN, yaitu:
- Pengurangan viral load lokal pasca terapi bedah
- Penciptaan lingkungan mukosa yang "imunologis baru"
- Perlindungan terhadap genotipe HPV lain yang sebelumnya tidak menjadi penyebab primer[1,6
Penelitian oleh Bogani et al. (2020) menunjukkan bahwa pemberian vaksin HPV setelah eksisi CIN 2/3 pada pasien usia 18–89 tahun berhubungan dengan penurunan kekambuhan, termasuk pada pasien dengan riwayat kanker serviks mikroinvasif. Hal ini konsisten dengan temuan Pieralli et al. (2018) yang menunjukkan bahwa pemberian vaksin HPV pasca konisasi mampu menurunkan risiko CIN berulang hingga 3 tahun setelah terapi, bahkan pada wanita dewasa muda yang tidak memenuhi kriteria usia vaksinasi primer.[5,6]
Namun, hingga saat ini belum ada uji klinis besar yang secara khusus mengevaluasi vaksinasi HPV pasca terapi kanker serviks invasif stadium lanjut. Rekomendasi resmi pun belum memasukkan kelompok ini sebagai kandidat vaksinasi rutin. Namun, dengan makin banyaknya bukti observasional dan studi kohort yang menunjukkan manfaat, ada peluang bahwa vaksin HPV dapat menjadi bagian dari pendekatan multimodal dalam pengelolaan jangka panjang pasien kanker serviks yang telah sembuh.[5,6]
Terakhir, dari sudut pandang psikologis dan kualitas hidup, vaksinasi pasca pengobatan kanker juga dapat memberikan rasa aman tambahan bagi pasien untuk menghadapi risiko kekambuhan. Hal ini menjadi pertimbangan penting, khususnya dalam praktik klinis yang menekankan pendekatan holistik terhadap penyintas kanker.[5,6]
Profil Keamanan Vaksinasi HPV
Secara umum, vaksin HPV memiliki profil keamanan sangat baik pada individu yang belum pernah terpapar HPV maupun pada mereka yang sudah memiliki riwayat infeksi atau bahkan mereka yang telah menjalani terapi penyakit terkait HPV. Berdasarkan meta-analisis Di Donato et al. (2022), tidak ada peningkatan kejadian efek samping serius pada kelompok yang menerima vaksin HPV setelah menjalani terapi untuk lesi HPV dibandingkan kelompok kontrol yang tidak divaksinasi.[1]
Efek samping yang paling umum dilaporkan meliputi nyeri lokal di tempat suntikan, kemerahan, demam ringan, dan kelelahan, yang bersifat sementara dan tidak perlu intervensi medis lanjutan. Reaksi sistemik berat seperti syok anafilaksis sangat jarang dan umumnya terjadi pada individu dengan riwayat alergi terhadap komponen vaksin (misalnya ragi atau aluminium adjuvan). Oleh karena itu, skrining alergi disarankan sebelum vaksinasi, sesuai standar praktik vaksinasi pada umumnya.[1]
Beberapa kekhawatiran klinis mungkin muncul pada pasien dengan kondisi khusus, misalnya pasien imunokompromais, termasuk pasien dengan HIV atau kemoterapi, yang mungkin memiliki respons imun yang lebih rendah. Namun, studi menunjukkan bahwa vaksin HPV tetap dapat merangsang produksi antibodi dan imunitas seluler pada kelompok ini, walaupun perlindungan jangka panjangnya masih perlu dikaji.[1]
Kekhawatiran klinis pada pasien kondisi khusus lainnya adalah pasien pasca kanker, yang sering kali khawatir akan risiko aktivasi inflamasi atau efek imunologis yang tidak diinginkan. Namun, hingga kini belum ada bukti klinis yang mendukung peningkatan risiko kekambuhan atau komplikasi akibat vaksinasi pada kelompok ini.[1]
Selain itu, keamanan vaksin HPV pada wanita usia >26 tahun juga telah dinilai dalam beberapa studi kohort dan observasional. Meskipun kelompok usia ini tidak termasuk dalam target vaksinasi awal, bukti menunjukkan bahwa vaksinasi tetap aman, dan efek sampingnya tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok usia muda.[2]
Pasien yang Tidak Direkomendasikan Vaksinasi HPV
Meskipun vaksin HPV memiliki profil keamanan yang baik, tetap ada kontraindikasi dan kondisi klinis tertentu yang perlu diperhatikan sebelum pemberian, khususnya pada pasien dengan riwayat infeksi HPV atau yang telah menjalani pengobatan.[1,2,5,6]
Kontraindikasi utama vaksin HPV adalah reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin, seperti ragi (yeast protein) yang digunakan dalam pembuatan vaksin quadrivalen dan nonavalen. Pasien yang pernah mengalami reaksi hipersensitivitas berat setelah dosis vaksin sebelumnya juga tidak dianjurkan untuk melanjutkan vaksinasi.[1,2,5,6]
Sementara itu, kontraindikasi relatif mencakup:
- Kehamilan: Vaksinasi HPV tidak dianjurkan untuk wanita hamil. Meskipun tidak ada efek teratogenik dalam studi populasi, data keamanan pada kehamilan masih terbatas. Namun, bila vaksin diberikan tanpa disadari selama kehamilan, tidak diperlukan intervensi khusus, dan vaksinasi selanjutnya dapat dilanjutkan setelah persalinan.
- Demam tinggi akut atau infeksi sistemik berat: Pemberian vaksin sebaiknya ditunda sampai kondisi membaik, meskipun infeksi ringan seperti batuk pilek tidak menjadi hambatan.[1,2,5,6]
Pertimbangan Klinis Vaksinasi HPV
Ada beberapa pertimbangan klinis yang perlu diperhatikan, contohnya terkait kondisi imunokompromais, usia >26 tahun, dan waktu pemberian vaksin.[1,2,5,6]
Imunokompromais
Pada pasien dengan gangguan imunitas, seperti HIV/AIDS, pasien pasca transplantasi, atau pasien onkologi aktif, vaksin HPV tetap bisa diberikan. Namun, respons imun terhadap vaksin mungkin lebih rendah, sehingga efektivitasnya mungkin tidak setara dengan individu imunokompeten. Meskipun begitu, karena tingginya risiko infeksi HPV persisten dan progresif pada kelompok ini, vaksinasi tetap direkomendasikan sebagai bagian dari strategi pencegahan.[1,2,5,6]
Usia Lebih Dari 26 Tahun
ACIP dan WHO kini memperbolehkan vaksinasi HPV pada usia dewasa hingga 45 tahun dengan pendekatan berbasis individual (shared clinical decision-making). Pada pasien dengan riwayat infeksi HPV atau yang baru saja menjalani terapi lesi, dokter dapat mempertimbangkan vaksinasi berdasarkan profil risikonya, paparan ulang, dan keinginan pasien terhadap proteksi jangka panjang.[1,2,5,6]
Waktu Pemberian Vaksin
Studi menunjukkan bahwa pemberian vaksin HPV segera setelah terapi ablasi atau eksisi (dalam 1–3 bulan) memberikan proteksi optimal terhadap kekambuhan lesi. Namun, belum ada konsensus internasional tentang waktu ideal vaksinasi. Konsistensi waktu pemberian dalam studi menunjukkan tren manfaat yang stabil bila diberikan dalam 6 bulan pertama setelah terapi.[1,2,5,6]
Kesimpulan
Vaksinasi HPV selama ini dikenal sebagai strategi pencegahan primer yang efektif, tetapi bukti terkini juga menunjukkan potensinya dalam konteks pencegahan sekunder, terutama pada pasien dengan riwayat infeksi HPV atau pasien yang telah menjalani terapi lesi prainvasif dan kanker serviks.
Bukti menunjukkan bahwa vaksinasi HPV setelah terapi primer dapat secara signifikan mengurangi risiko kekambuhan CIN, termasuk pada pasien usia dewasa dan mereka yang tidak memenuhi kriteria vaksinasi primer.
Meskipun belum tersedia sebagai vaksin terapeutik, bukti yang ada mendukung bahwa vaksin HPV layak dipertimbangkan sebagai adjuvan pasca terapi lesi HPV. Vaksinasi berbasis pendekatan individual perlu dilakukan, dengan memperhatikan riwayat klinis, usia, status imun, dan preferensi pasien. Di masa depan, uji klinis skala besar masih diperlukan untuk memperkuat bukti dan mendorong adopsi luas vaksinasi HPV untuk pencegahan sekunder penyakit terkait HPV.