Indikasi dan Dosis Vitamin K1
Indikasi vitamin K1 untuk mengatasi gangguan perdarahan akibat defisiensi vitamin K, baik yang diakibatkan oleh pemberian antikoagulan, maupun akibat penyakit lain, seperti penyakit hepar kronis. Dosis harus disesuaikan dengan kondisi pasien, terutama pada gangguan perdarahan yang diakibatkan oleh pemberian antikoagulan. Dokter harus mempertimbangkan apakah antikoagulan akan tetap digunakan secara rutin, misalnya pada pasien dengan katup jantung mekanik.
Pasien Pediatrik
Vitamin K1 diberikan sebagai profilaksis perdarahan akibat defisiensi vitamin K dengan
- IM: dosis tunggal 0,5-1 mg dalam 1 jam setelah kelahiran
- Oral: 2 mg sebanyak 3 kali (pada waktu lahir, umur 3-5 hari, dan umur 4-6 dosis sebagai berikut:minggu)[10,11]
Perbandingan Pemberian Intramuskular dan Oral untuk Pasien Pediatrik
Berdasarkan meta analisis Sankar, et al., rute pemberian intramuskular lebih efektif untuk mencegah perdarahan akibat defisiensi vitamin K dibandingkan rute oral. Kondisi yang diduga menyebabkan hal ini adalah rendahnya penyerapan dan durasi efek obat yang lebih singkat pada pemberian per oral. Dosis vitamin K1 per oral yang diberikan berulang lebih bermanfaat dibandingkan hanya dosis tunggal. Pada survei di Inggris, bayi yang mendapat dosis tunggal vitamin K per oral secara signifikan lebih berisiko mengalami perdarahan akibat defisiensi vitamin K dibandingkan yang mendapat dosis tunggal vitamin K secara intramuskular. Sementara itu, dalam penilaian selama seminggu pertama kehidupan, tidak terdapat perbedaan signifikan kejadian perdarahan akibat defisiensi vitamin K antara bayi yang mendapat beberapa dosis vitamin K per oral dibandingkan dengan yang mendapat dosis tunggal vitamin K secara IM. Akan tetapi, dosis vitamin K oral yang digunakan pada studi tersebut sangat beragam tergantung kebijakan layanan kesehatan yang memberikan.[12]
Jika dibandingkan dengan profilaksis menggunakan vitamin K secara IM, pemberian beberapa dosis vitamin K per oral lebih berisiko terjadinya penurunan penyerapan jika terdapat penyakit hepatobilier yang belum terdiagnosis. Selain itu, dibutuhkan kerja sama dengan orang tua untuk memberikan obat tersebut. Dosis minimal untuk pemberian vitamin K secara oral adalah 3 dosis, sementara pemberian secara IM hanya membutuhkan 1 dosis. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian vitamin K per oral adalah muntah, regurgitasi, atau aspirasi. Sementara pada pemberian vitamin K secara IM berisiko menyebabkan nyeri, infeksi, cedera saraf, atau perdarahan pada lokasi injeksi. Selain itu, pemberian vitamin K1 secara IM dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dengan hemofilia yang belum terdiagnosis. Namun demikian, vitamin K dalam bentuk oral tidak banyak tersedia di negara dengan pendapatan menengah ke bawah.[12]
Oleh karena itu, masih dibutuhkan penelitian kembali untuk menggunakan vitamin K per oral sebagai rekomendasi profilaksis perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada bayi baru lahir. WHO dan Kementerian Kesehatan RI merekomendasikan injeksi intramuskular vitamin K1 sebanyak 1 mg pada semua bayi baru lahir sebagai metode profilaksis perdarahan akibat vitamin K. Injeksi vitamin K1 dilakukan di paha kiri bayi bagian anterolateral paling lambat diberikan 2 jam setelah lahir sebelum pemberian vaksinasi hepatitis B dengan selang waktu 1-2 jam. Pada bayi yang lahir tidak ditolong bidan, pemberian vitamin K1 dilakukan pada k pertama dengan dosis dan cara yang sama. Setelah pemberian injeksi vitamin K1, perlu dilakukan observasi.[10,12-15]
Dosis Vitamin K1 untuk Profilaksis Perdarahan pada Bayi Prematur
Beberapa studi menganjurkan pemberian dosis vitamin K1 yang lebih rendah pada bayi prematur karena fungsi hatinya yang masih imatur. Studi randomized controlled trial (RCT) yang dilakukan oleh Clarke, et al. menunjukkan hasil bahwa pemberian 0,2 mg vitamin K1 secara IM mencukupi kebutuhan vitamin K pada bayi prematur dengan usia gestasi <32 minggu setidaknya sampai usia 4 minggu pasca kelahiran dan tidak menyebabkan overload kerja hati. Namun, masih diperlukan studi lebih lanjut terkait hal tersebut, dalam hal ini WHO dan KEMENKES RI masih merekomendasikan injeksi IM vitamin K1 sebanyak 1 mg pada semua bayi baru lahir.[10,13, 16-17]
Terapi Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K
Vitamin K1 diberikan 1 mg diberikan secara IM selama 3 hari berturut-turut. Dosis yang lebih tinggi mungkin diperlukan jika ibu mendapat terapi antikoagulan oral.[6,20-21]
Pasien Dewasa
Pada pasien dewasa, vitamin K1 dapat diberikan untuk mengatasi hipoprotrombinemia, baik yang disebabkan oleh antikoagulan maupun tidak. Terdapat juga penggunaan yang masih kontroversial, yaitu untuk pemberian vitamin K pada ibu hamil untuk profilaksis perdarahan neonatus, suplementasi vitamin K untuk mengurangi risiko fraktur, dan untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Hipoprotrombinemia yang diakibatkan Penggunaan Antikoagulan
Berikan vitamin K oral, IV, IM, atau subkutan dengan dosis inisial 2,5-10 mg. Walau demikian, dosis ini harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Dokter harus mempertimbangkan apakah antikoagulan akan tetap digunakan secara rutin, misalnya pada pasien dengan katup jantung mekanik.
Dosis berikutnya dan frekuensi pemberian harus ditentukan berdasarkan respon prothrombin time dan/atau kondisi klinis. Pemberian per oral dapat diulangi dalam 12-48 jam sementara pemberian rute parenteral dapat diulang dalam 6-8 jam.[7]
Vitamin K dapat digunakan pada pengguna warfarin yang mengalami perdarahan serius dan/atau mengancam jiwa. Akan tetapi, kerja vitamin K1 sebagai agen reversal warfarin membutuhkan waktu beberapa jam sampai mendapatkan efek yang penuh karena kerjanya tergantung pada pembentukan faktor koagulasi baru di hati. Oleh karena itu, untuk perdarahan serius/mengancam jiwa, pemberian faktor pembekuan dalam bentuk prothrombin complex concentrates (PCC) atau fresh frozen plasma (FFP) menjadi terapi utama karena PCC dapat mengkoreksi INR supraterapetik hanya dalam 30 menit.[22,23]
American College of Chest Physicians merekomendasikan penggunaan vitamin K pada pengguna warfarin dengan INR supraterapeutik tanpa perdarahan adalah sebagai berikut
- INR 4,5-10 tanpa perdarahan: hentikan sementara penggunaan warfarin, penggunaan rutin vitamin K1 tidak dianjurkan
- INR > 10 tanpa perdarahan: hentikan sementara penggunaan warfarin disertai pemberian vitamin K1 dosis rendah per oral[22,23]
Sementara tata laksana perdarahan pada pengguna warfarin adalah sebagai berikut
- Hentikan sementara penggunaan warfarin
-
Pemberian four-factor PCC secara signifikan lebih cepat menurunkan nilai INR dalam 15 menit dibandingkan FFP. Namun demikian, PCC mahal sehingga jarang tersedia.
- Vitamin K1 sebanyak 5-10 mg melalui infus intravena lambat (20-60 menit)[22,23]
Pemberian vitamin K1 dapat diulang dalam interval 12 jam jika dibutuhkan berdasarkan kriteria di atas. JIka dibutuhkan pemberian vitamin K1 selama lebih dari 2 hari, harus dicurigai terjadi keracunan superwarfarin ataupun kemungkinan gangguan absorbsi sediaan oral vitamin K1.[22]
Penggunaan suplemen rutin vitamin K1 oral sebagai metode kontrol nilai INR agar tetap berada pada rentang terapeutik pada penggunaan warfarin masih kontroversial karena minimnya studi yang berkualitas serta hasil yang bertentangan antar studi.[24]
Hipoprotrombinemia akibat Penyebab Lain
Selain antikoagulan, hipoprotrombinemia juga dapat disebabkan oleh penggunaan sefalosporin, seperti cefixime dan cefotaxime. Hiperemesis gravidarum juga dapat menyebabkan komplikasi defisiensi vitamin K yang juga menyebabkan hipoprotrombinemia.
Vitamin K1 untuk hipoprotrombinemia yang tidak diakibatkan oleh antikoagulan dapat diberikan secara oral, IV, atau IM dengan dosis inisial 2,5-25 mg tergantung keparahan defisiensi vitamin K dan respon. Dosis berikutnya dan frekuensi pemberian harus ditentukan berdasarkan respons prothrombin time dan/atau kondisi klinis. [6]
Saat ini banyak dilakukan pemberian terapi vitamin K1 pada penderita penyakit hati. Peran defisiensi vitamin K dalam menyebabkan koagulopati pada penderita penyakit hati masih kontroversial. Banyak faktor yang dapat menyebabkan defisiensi vitamin K termasuk kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, terapi antibiotik oral jangka panjang, malnutrisi, dan malabsorbsi. Namun, terdapat bukti bahwa pada disfungsi hati berat seperti pada sirosis dan end stage liver disease terjadi penurunan fungsi sintesis hati sehingga manfaat terapi vitamin K masih diperdebatkan. Pada studi yang dilakukan oleh Saja MF, et al menunjukkan bahwa setelah 3 hari pemberian terapi vitamin K pada penderita penyakit hati (termasuk sirosis), sebagian besar parameter koagulasi dan antikoagulan natural tidak mengalami perubahan. Perbedaan hanya tampak pada prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (APTT) di mana kedua parameter tersebut mengalami sedikit penurunan yang bermakna secara statistik pada penderita sirosis. Namun penurunan tersebut tidak bermakna secara klinis dalam mengurangi risiko perdarahan. Selain hanya terjadi sedikit penurunan pada PT dan APTT, hal ini tidak diikuti dengan peningkatan pada protein yang tergantung pada vitamin K (protein S, FVII, dan protein C).[25]
Oleh karena pemberian vitamin K pada penderita sirosis hanya meningkatkan PT dan APTT yang tidak bermakna secara klinis, penggunaan vitamin K pada penderita disfungsi hati lanjut tidak bisa dibenarkan.[25]
Suplementasi Vitamin K1 untuk Mengurangi Risiko Fraktur
Beberapa studi potong lintang dan RCT menunjukkan kadar vitamin K plasma berkorelasi positif dengan massa tulang dan berkorelasi negatif dengan risiko fraktur. Hal ini mendasari hipotesis bahwa suplemen vitamin K1 bermanfaat untuk mengurangi risiko osteoporosis pada wanita pascamenopause. Namun, sebagian besar studi yang menilai hubungan antara pemberian suplemen vitamin K dengan kesehatan tulang memiliki beberapa keterbatasan mayor seperti jumlah sampel yang kecil, populasi yang heterogen, serta jenis dan dosis suplemen vitamin K yang beragam sehingga suplemen rutin vitamin K pada wanita pascamenopause belum dianjurkan secara global.[26]
Suplemen Vitamin K1 untuk Meningkatkan Sensitivitas Insulin
Terdapat juga beberapa studi yang melaporkan manfaat vitamin K terhadap sensitivitas insulin, sindrom metabolik, homeostasis glukosa, dan menurunkan risiko diabetes. Mekanisme yang diduga mendasarinya adalah melalui osteokalsin yang merupakan protein tulang yang tergantung vitamin K berfungsi sebagai mediator endokrin yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin dengan meningkatkan proliferasi sel β pankreas dan meningkatkan sekresi insulin. Mekanisme lainnya yaitu osteokalsin juga meningkatkan penggunaan energi dan sekresi adiponektin dari adiposit. [27]
Namun demikian, uji klinis suplementasi vitamin K menunjukkan hasil yang bertentangan tentang efeknya terhadap sensitivitas insulin. Meta analisis yang dilakukan oleh Suksomboon, et al tahun 2017 menunjukkan hasil bahwa suplemen vitamin K tidak memiliki efek terhadap homeostasis model assessment of insulin resistance (HOMA-IR), gula darah puasa, dan insulin plasma puasa. Akan tetapi, meta analisis ini menyertakan studi-studi yang heterogen mulai dari dosis dan jenis vitamin K antar studi, karakteristik partisipan, dan kointervensi (intervensi tambahan yang diberikan pada subyek penelitian) antar studi juga berbeda-beda. Oleh karena itu, masih dibutuhkan RCT dengan jumlah sampel besar dengan karakteristik partisipan dan intervensi yang homogen untuk menilai manfaat suplemen vitamin K pada sensitivitas insulin dan relevansinya dalam praktik klinis.[27]
Penggunaan Vitamin K1 pada Ibu Hamil untuk Profilaksis Perdarahan Bayi
Ibu hamil yang mengonsumsi obat antiepilepsi, seperti carbamazepine, phenytoin, fenobarbital, pirimidon, dan topiramate, berisiko untuk melahirkan bayi yang mengalami defisiensi vitamin K. Hal ini disebabkan obat antiepilepsi secara kompetitif menginhibisi prekursor faktor koagulasi dan mengganggu enzim mikrosomal fetus yang mendegradasi vitamin K sehingga meningkatkan risiko perdarahan pada bayi baru lahir. Sebagian klinisi merekomendasikan profilaksis dengan vitamin K1 10-20 mg/hari pada bulan terakhir kehamilan untuk mencegah terjadinya perdarahan pada bayi yang dilahirkan akibat defisiensi faktor koagulasi yang tergantung vitamin K. Rekomendasi ini hanya didasarkan pada data terbatas dari beberapa laporan kasus yang menunjukkan adanya peningkatan risiko perdarahan bayi baru lahir dari ibu yang mengonsumsi obat antiepilepsi. [18,19]
Namun demikian, sebuah studi epidemiologi tidak mendukung pemberian vitamin K antenatal rutin. Studi ini menunjukkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara insidensi perdarahan akibat defisiensi vitamin K antara bayi dari ibu yang mengonsumsi obat anti epilepsi dengan yang tidak. Selain itu, pada bayi yang mengalami perdarahan pada kelompok epilepsi, umumnya memiliki faktor lain yang dapat menyebabkan perdarahan, yaitu prematuritas, persalinan traumatik, sepsis, sindrom fetal alkohol, ataupun asfiksia intrauterin.
Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) juga menyatakan tidak terdapat bukti yang menunjukkan efektivitas pemberian vitamin K oral antenatal dalam mencegah perdarahan akibat defisiensi vitamin K. Namun, suplementasi vitamin K per oral (10-20 mg/hari selama bulan terakhir kehamilan) dapat diberikan pada ibu hamil dengan faktor risiko persalinan prematur, mengonsumsi lebih dari satu macam obat antiepilepsi, mengonsumsi obat antikejang yang menginduksi enzim, dan pada wanita yang menyalahgunakan alkohol selama kehamilan. Di samping itu, metode profilaksis utama PDVK dengan injeksi IM 1 mg vitamin K1 pada bayi baru lahir tetap harus dilakukan.[18,19]