Nyeri Kepala Pasca Pungsi Lumbal

Oleh :
dr. Anyeliria Sutanto, Sp.S

Pungsi lumbal merupakan prosedur yang cukup umum dilakukan, baik untuk tujuan diagnostik, maupun tatalaksana atau terapeutik. Indikasi dilakukannya prosedur pungsi lumbal sebagai alat diagnostik meliputi adanya dugaan infeksi susunan sistem saraf pusat (meningitis, ensefalitis), perdarahan subarakhnoid, penyakit diemieliniasi, polineuropati inflamatori, hidrosefalus tekanan normal, dan sebagainya. Untuk indikasi terapeutik, umumnya bertujuan untuk mengurangi tekanan intrakranial pada kasus infeksi atau hipertensi intrakranial idiopatik, sebagai perantara untuk memasukkan obat-obatan kemoterapi pada kasus keganasan atau analgesia ke rongga subarakhnoid pada kondisi nyeri hebat. [1]

Tindakan pungsi lumbal ini merupakan prosedur yang relatif aman jika dilakukan sesuai dengan langkah prosedur yang tepat dan oleh operator yang kompeten. Meskipun demikian, kita tetap perlu mempertimbangkan komplikasi-komplikasi pascaprosedur yang mungkin terjadi. Komplikasinya dapat berupa komplikasi ringan hingga berat, antara lain infeksi ataupun perdarahan lokal, nyeri punggung lokal, nyeri kepala hingga herniasi serebri. Nyeri kepala pasca pungsi lumbal merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dengan persentase mencapai 32-85% dari keseluruhan kasus.[2,3]

shutterstock_1702444663-min

Diagnosis

Berdasarkan kriteria oleh International Headache Society, diagnosis dari nyeri kepala pasca pungsi lumbal (post lumbar puncture headache) dapat ditegakkan melalui:[4]

  1. Nyeri kepala yang memenuhi kriteria untuk diagnosis nyeri kepala yang disebabkan oleh tekanan LCS yang menurun dan kriteria 3
  2. Riwayat prosedur pungsi lumbar pada pasien
  3. Gejala nyeri kepala muncul dalam waktu 5 hari sejak dilakukannya pungsi lumbar
  4. Tidak terdapat gangguan lain yang dapat menyebabkan nyeri kepala

Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya nyeri kepala pasca pungsi lumbal hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Namun, hal ini diperkirakan berhubungan dengan adanya celah pada lapisan duramater yang tetap terbuka setelah penarikan jarum sehingga terjadi kebocoran cairan serebrospinalis (CSS) dari ruang subarakhnoid. Kebocoran inilah yang akhirnya mengakibatkan penurunan volume dan tekanan CSS di intrakranial.[3,5]

Penurunan volume CSS akan menyebabkan berkurangnya bantalan cairan yang berfungsi untuk menjaga kondisi otak dan pembuluh darah di lapisan meningeal sehingga akan memudahkan terjadinya traksi akibat gaya gravitasi. Hal ini yang menyebabkan nyeri kepala akan timbul pada saat pasien dalam posisi berdiri atau duduk dan akan segera perbaikan saat pasien kembali berbaring. Di samping itu, penurunan volume CSS ini juga akan mengaktifkan reseptor adenosin yang menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah otak serta peregangan struktur peka nyeri di intrakranial.[3,5]

Faktor Resiko

Kejadian komplikasi nyeri kepala pasca pungsi lumbal dilaporkan lebih banyak ditemukan pada pasien yang memiliki faktor resiko, seperti pada pasien perempuan, usia muda, wanita hamil, dan memiliki indeks massa tubuh rendah. [2] Selain itu, terdapat beberapa faktor prosedural yang dapat mempengaruhi tingkat insidensi terjadinya komplikasi ini, antara lain:[3]

  • Ukuran jarum spinal

    Besarnya robekan pada lapisan dura akan sangat berhubungan dengan banyaknya jumlah CSS yang mengalami kebocoran. Penggunaan jarum spinal dengan diameter yang lebih kecil akan menimbulkan robekan dura yang relatif lebih minimal sehingga juga akan menurunkan resiko terjadinya komplikasi nyeri kepala pasca pungsi lumbal. Insidensi nyeri kepala dilaporkan sebesar 70% kasus pada penggunaan jarum spinal ukuran 16 dan 19G, 40% dengan ukuran 20 dan 22G, serta 12% dengan ukuran 24 dan 27G.

  • Arah bevel jarum spinal

    Serat kolagen pada lapisan dura tersusun secara longitudinal, paralel dengan aksis vertikal tulang belakang. Dilaporkan terdapat penurunan insidensi nyeri kepala pasca pungsi lumbal pada penusukan jarum spinal dengan bevel yang mengarah pararel terhadap serat kolagen dura tersebut, dibandingkan dengan arah bevel yang tegak lurus atau perpendikular.

  • Desain jarum spinal

    Kejadian nyeri kepala pasca pungsi lumbal juga dapat diminimalisir dengan pemilihan penggunaan jarum spinal non-cutting (atraumatik). Jarum jenis atraumatik ini memiliki ujung diamond shaped sehingga saat ditusukkan hanya memisahkan serat-serat lapisan dura dan tidak memotongnya secara permanen.

  • Pemasangan kembali stylet saat menarik jarum spinal

    Pada langkah prosedur standar, sebelum dilakukan penarikan jarum spinal, maka stylet akan diposisikan kembali terlebih dahulu. Hal ini berguna untuk menurunkan tingkat kejadian nyeri kepala pasca pungsi lumbal karena jika stylet tidak dipasang kembali, diduga sebagian serat lapisan dura akan ikut tertarik bersamaan dengan penarikan jarum spinal.

  • Frekuensi penusukan jarum spinal

    Jumlah frekuensi penusukan jarum spinal ke lapisan dura juga akan mempengaruhi besarnya kerusakan lapisan dura tersebut. Jadi jumlah penusukan yang lebih sedikit akan menurunkan insidensi nyeri kepala pasca pungsi lumbal.

 Tata Laksana

Tata Laksana Preventif

Terdapat beberapa tatalaksana preventif yang dapat dilakukan dalam mencegah terjadinya nyeri kepala pasca pungsi lumbal yang terbagi menjadi tatalaksana konservatif dan invasif. Terapi konservatif berupa tirah baring dan hidrasi (terapi cairan). Namun sebuah studi dari Cochrane tahun 2016 menemukan bahwa tirah baring justru meningkatkan risiko terjadinya komplikasi ini. Studi ini juga menyimpulkan tidak terdapat bukti yang mendukung tirah baring dan terapi cairan dalam mencegah terjadinya nyeri kepala. Terdapat beberapa obat yang sedang diteliti dapat mencegah kejadian, seperti injeksi morfin epidural dan cosyntropin IV namun penggunaan agen-agen tersebut masih terbatas oleh karena efek samping dan studi yang masih terbatas. Sedangkan untuk modalitas terapi preventif invasif yang dapat dilakukan antara lain seperti epidural blood patch, penggunaan kateter intratekal dan injeksi salin ke dalam ruang epidural. [6]

Tata Laksana Abortif

Tata laksana abortif untuk nyeri kepala pasca pungsi lumbal juga terbagi ke dalam tatalaksana konservatif dan invasif. Sebanyak 85% dari kasus ini dapat ditangani melalui terapi konservatif. Hal ini membuat penatalaksanaan dalam 24-48 jam pertama sangat penting. Walaupun tidak terdapat bukti yang kuat mengenai kegunaannya, pasien tetap dianjurkan untuk tirah baring dan diberikan terapi cairan baik oral maupun intravena. Hidrasi terutama dianjurkan untuk menghindari dehidrasi yang dapat memperburuk gejala.

Kafein menjadi salah satu agen yang direkomendasikan sebagi salah satu agen terapeutik untuk nyeri kepala pasca pungsi lumbal. Kafein bekerja dengan meningkatkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral melalui blokade dari reseptor adenosin yang mengakibatkan stimulasi dari pompa sodium-kalium sehingga meningkatkan produksi cairan serebrospinal. Berdasarkan studi yang ada, kafein lebih superior dibandingkan plasebo dalam menurunkan skor nyeri pasien, namun tidak mengurangi persentase dibutuhkannya epidural blood patch. Pemberian kafein dapat melalui jalur oral dan intravena, namun dosis terapeutik kafein dihubungkan dengan kejadian fibrilasi atrium dan toksisitas pada sistem saraf pusat. Hal ini mengakibatkan penggunaannya pada pasien dengan risiko tinggi memerlukan pengawasan yang ketat. Di samping itu, terdapat beberapa obat-obatan yang juga dapat diberikan seperti Sumatriptan, Gabapentin dan Pregabalin. Penggunaan Gabapentin dan Pregabalin (dosis oral 3 kali sehari) terbukti menurunkan skor nyeri pada pasien dengan nyeri kepala pasca pungsi lumbal.

Untuk penggunaan terapi invasif akan direkomendasikan bagi pasien yang tidak memberikan respon yang adekuat terhadap terapi konservatif setelah 48 jam pascaterapi. Prosedur epidural blood patch merupakan pilihan utama yang disarankan untuk nyeri kepala pasca pungsi lumbal dengan tingkat keparahan sedang hingga berat. Prosedur ini dilakukan melalui injeksi 5–30 ml darah untuk menutup daerah pungsi yang menjadi sumber kebocoran cairan serebrospinal. Studi yang ada menemukan bahwa epidural blood patch menstimulasi pembentukan gumpalan darah dalam 18 hingga 24 jam dengan tingkat keberhasilan antara 61–98%. Kontraindikasi untuk prosedur ini antara lain terdapatnya demam, infeksi lokal di daerah injeksi dan gangguan fungsi pembekuan darah. Pada pasien dengan kontraindikasi untuk dilakukannya prosedur ini dapat diberikan injeksi alternatif dengan menggunakan koloid seperti Dextran-40 atau hydroxyethyl starch. Injeksi koloid berfungsi meningkatkan tekanan epidural sehingga mengurangi kebocoran dari cairan serebrospinal. Selain itu, koloid juga bertahan lebih lama di ruang epidural dikarenakan berat molecular dan viskositas yang lebih tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan proses pemulihan dura.

Referensi