Peran Mobilisasi Dini dalam Penatalaksanaan Brain Concussion pada Anak

Oleh :
Graciella N T Wahjoepramono

Mobilisasi yang lebih dini dalam penatalaksanaan brain concussion pada anak-anak dan remaja dilaporkan dapat mengurangi gejala concussion secara lebih baik daripada istirahat yang berkepanjangan. Sebelumnya, anak dan remaja dengan brain concussion direkomendasikan untuk beristirahat setidaknya 5–7 hari. Namun, penelitian terkini menunjukkan kemungkinan manfaat mobilisasi yang lebih dini.[1]

Brain concussion atau konkusio serebri didefinisikan sebagai cedera otak traumatik paling ringan yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak yang bersifat sementara. Setiap tahun, sekitar 42 juta orang di dunia diperkirakan mengalami cedera otak ringan dengan penyebab terbanyak berupa jatuh (falls) dan kecelakaan sepeda motor. Pada populasi muda, terdapat sekitar 1,1–1,9 juta orang yang mengalami brain concussion akibat olahraga dan rekreasi.[2,3]

Peran Mobilisasi Dini dalam Penatalaksanaan Brain Concussion pada Anak-min

Tanda dan gejala awal dari brain concussion akut adalah sakit kepala, gangguan kognitif, hilangnya kesadaran, gangguan perilaku, dan gangguan tidur. Pasien dengan kecurigaan brain concussion sebaiknya dievaluasi secara menyeluruh oleh tenaga medis. Penanganan awal brain concussion bersifat penting, karena cedera ini dapat menyebabkan persistent postconcussive symptoms (PPCS), second impact syndrome, ensefalopati traumatik kronis, bahkan neurodegenerasi dan kematian.[2,4,5]

Saat ini, penanganan yang disarankan oleh beberapa konsensus dan guideline untuk anak dan remaja yang mengalami brain concussion adalah istirahat fisik dan istirahat kognitif. Istirahat fisik disarankan selama gejala concussion masih ada. Namun, bukti yang mendukung anjuran ini sebenarnya masih terbatas. Di lain sisi, istirahat kognitif bisa dilakukan dengan membatasi jam menonton televisi dan meminta cuti sekolah.[6,7]

Rekomendasi Mobilisasi Setelah Brain Concussion

Pedoman klinis menyarankan istirahat total selama 24–48 jam, yang lalu dilanjutkan dengan protokol return to play yang meningkatkan aktivitas secara perlahan hingga minimal 5–7 hari untuk kembali ke aktivitas atletis secara normal.[5,6]

Istirahat dengan aktivitas progresif ini disarankan untuk menghindari second impact syndrome, yaitu sindrom fatal yang terjadi bila pasien mengalami brain concussion kedua sebelum gejala brain concussion yang pertama hilang. Prosedur return to play juga diterapkan untuk mencegah cedera lain.[5,8]

Namun, jumlah dan tipe istirahat yang optimal untuk penyembuhan masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa penelitian baru bahkan menemukan manfaat dalam mobilisasi yang lebih awal atau kerugian bila pasien beristirahat terlalu lama.[5,8]

Penelitian terkait Mobilisasi Dini dan Brain Concussion

Suatu penelitian prospektif kohort oleh Grool, et al. mengobservasi hubungan antara aktivitas fisik yang dilakukan secara dini dengan gejala brain concussion yang persisten (persistent post concussion syndrome atau PPCS). Penelitian multicenter ini mencakup anak-anak dan remaja berusia 5–17 tahun yang mengalami brain concussion akut dan dievaluasi di rumah sakit.[3,5]

Peserta dibagi ke dalam dua grup, yaitu grup yang menjalani aktivitas fisik lebih dini (<7 hari) dan grup yang tidak menjalani mobilisasi dini. Aktivitas fisik dibedakan menjadi aerobik ringan, olahraga sport-specific, aktivitas nonkontak, latihan kontak penuh, atau kompetisi. Data yang dinilai setelah 28 hari adalah gejala PPCS ≥3 atau gejala yang memburuk.[3,5]

Dari total 2.413 peserta yang menyelesaikan studi, persentase peserta yang mengalami PPCS di grup mobilisasi dini adalah 24%, sedangkan persentase PPCS di grup tanpa mobilisasi dini adalah 43,5%. Studi ini berkesimpulan bahwa aktivitas fisik dalam waktu lebih dini (<7 hari) setelah cedera bisa mengurangi risiko PPCS dengan lebih baik daripada istirahat berkepanjangan.[3,5]

Hasil ini juga didukung oleh beberapa literatur lainnya, contohnya Thomas D, et al. yang menemukan bahwa bedrest ketat selama ≥5 hari dapat meningkatkan jumlah gejala. Silverberg ND dan Iverson GL juga menyatakan bahwa sebaiknya pasien kembali beraktivitas secara bertahap, sesuai dengan toleransi terhadap aktivitas tersebut.[8,9]

Namun, studi-studi yang ada saat ini masih memiliki kekurangan. Beberapa studi hanya merupakan studi observasional, sehingga peneliti tidak dapat menentukan hubungan sebab dan akibat. Selain itu, dalam penelitian Grool, et al. terdapat beberapa faktor perancu yang dapat memengaruhi hasil. Pasien yang belum merasa baik tentunya tidak akan berpartisipasi dalam aktivitas lebih awal dan pasien-pasien ini juga lebih mungkin tetap mengalami gejala di hari ke-30.[3,5]

Hasil penelitian Grool, et al. juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang tidak terkontrol, seperti gejala depresi atau ansietas yang dapat menyebabkan PPCS. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menganalisis jumlah aktivitas yang optimal karena teori juga mempertimbangkan bahwa aktivitas berlebih tidak baik bagi pasien. Uji klinis acak terkontrol berskala besar masih diperlukan untuk mengetahui jumlah dan waktu yang optimal untuk penyembuhan brain concussion.[3,5]

Kesimpulan

Mobilisasi dini untuk penanganan brain concussion pada anak-anak dan remaja perlu dipertimbangkan berdasarkan hasil studi yang ada. Saat ini, konsensus menyarankan istirahat total selama 24–48 jam pertama setelah brain concussion dan mobilisasi yang bertahap menggunakan protokol return to play.

Beberapa penelitian kecil lainnya juga menemukan bahwa mobilisasi dapat mengurangi gejala dan keluhan, tetapi tentunya perlu disesuaikan dengan toleransi pasien dan tidak boleh membahayakan. Penelitian lebih lanjut mengenai jenis aktivitas, waktu mobilisasi dimulai, dan penanganan yang terbaik untuk brain concussion akut masih diperlukan.

Sebagai informasi tambahan, saat ini beberapa studi juga telah mempelajari apakah anak dengan cedera kepala yang mengalami muntah tanpa gejala lain memerlukan CT scan.

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi