Mekanisme Resistensi Terhadap Antibiotik Empiris pada Infeksi Shigella Spp

Oleh :
dr. Nicolas Layanto SpMK

Resistensi antibiotik pada kasus diare, termasuk disentri akibat Shigella spp, semakin marak. Hal ini terjadi karena penyalahgunaan dan penggunaan berlebihan antibiotik sering ditemukan, terutama pada kasus diare anak.

Infeksi Shigella spp merupakan salah satu indikasi pemberian antibiotik pada kasus diare. Shigella spp, termasuk dalam famili Enterobacteriaceae, merupakan patogen yang sering ditemukan pada kasus diare di negara berkembang, karena dikaitkan dengan kepadatan populasi dan sanitasi yang buruk. Di Jakarta, sebuah studi menemukan 11,4% dari apusan rektal terhadap 150 kasus diare menunjukkan hasil positif Shigella spp.[1,2]

Mekanisme Resistensi Terhadap Antibiotik Empiris Pada Infeksi Shigella spp-min

Peran Antibiotik Pada Manajemen Shigellosis

Pada shigellosis, diare disertai darah dan lendir akan muncul 1‒3 hari setelah paparan, sebagai akibat invasi bakteri ke mukosa kolon. Gejala klinis lain yang tidak spesifik adalah demam dan nyeri perut.[3]

Meskipun infeksi Shigella spp dapat bersifat swasirna, pemberian antibiotik yang tepat dapat menurunkan risiko transmisi. Selain itu, antibiotik dipercaya dapat mencegah komplikasi berat hingga fatal, terutama pasien anak-anak dan lansia.[1,3,4]

Antibiotik empiris yang dianjurkan untuk shigellosis di antaranya ciprofloxacin, ceftriaxone, dan azithromycin. Penggunaan cotrimoxazole tidak lagi direkomendasikan karena peningkatan kasus resistensi, termasuk di Indonesia.[1-3,5]

Pengaruh Resistensi dalam Kasus Shigellosis

Resistensi terhadap antibiotik empiris dapat menyebabkan durasi diare yang lebih panjang dan frekuensi diare yang lebih tinggi daripada infeksi Shigella spp yang tidak resisten antibiotik. Kondisi ini menyebabkan pasien menjadi lebih rentan mengalami komplikasi, seperti dehidrasi berat. Selain itu, pasien juga lebih berisiko dirawat di rumah sakit, yang menyebabkan kehilangan hari kerja dan peningkatan beban biaya medis.[1,6,7]

Studi Resistensi Antibiotik terhadap Shigellosis

Studi di Perancis, yang mengumpulkan data dari tahun 2005‒2021, menunjukkan peningkatan resistensi antibiotik pada terapi Shigella sonnei. Bakteri S. sonnei merupakan penyebab utama disentri basiler di negara-negara berpendapatan tinggi. Studi ini mendeteksi peningkatan resistensi ciprofloxacin, sefalosporin generasi ketiga , dan azitromisin.[8]

Sementara, meta analisis di Iran menunjukkan prevalensi resistensi terhadap ciprofloxacin, azithromycin, dan ceftriaxone sebagai terapi lini pertama dan kedua untuk shigellosis masing-masing adalah 3%, 30%, dan 28%. Sebaliknya, resistensi terhadap cefotaxime, cefixime, dan ceftazidime sebesar 39%, 35%, dan 20%. Analisis ini mengumpulkan data dari 28 penelitian yang diterbitkan tahun 2008‒2021. Kesimpulan studi ini adalah ciprofloxacin masih menjadi pilihan untuk terapi shigellosis.[9]

Mekanisme Resistensi terhadap Antibiotik

Penggunaan antibiotik tanpa indikasi yang tepat, dosis yang inadekuat, dan kurangnya pengawasan terkait penggunaan antibiotik merupakan faktor risiko munculnya resistensi antibiotik. Dengan mengetahui mekanisme resistensi terhadap antibiotik, dapat diupayakan pemberian antibiotik yang lebih rasional.[10,11]

Mekanisme Resistensi terhadap Ceftriaxone

Resistensi ceftriaxone diperantarai oleh produksi enzim extended spectrum beta-lactamase (ESBL). ESBL akan menginaktivasi dan menghidrolisis ceftriaxone, sehingga tidak efektif dalam mengeradikasi Shigella spp.

Bakteri dari famili Enterobacteriaceae penghasil ESBL dapat timbul akibat berbagai mekanisme, salah satu yang bermakna adalah dengan keberadaan gen CTX-M di plasmid. Gen ini mudah berpindah lintas spesies bakteri, termasuk ke Shigella spp. Di Korea Selatan, pernah dilaporkan wabah diare akibat Shigella sonnei yang membawa gen CTX-M.[12]

Di Indonesia, sebuah studi telah melaporkan adanya Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Studi oleh bagian mikrobiologi RSUP Sanglah Bali ini melakukan penelitian terhadap Klebsiella pneumoniae.[10]

Mekanisme Resistensi terhadap Ciprofloxacin

Resistensi ciprofloxacin terjadi akibat perubahan pada gen pengkode DNA gyrase dan topoisomerase IV, di mana gen tersebut merupakan target kerja ciprofloxacin. Umumnya, gen pengkode resistensi ciprofloxacin ini berada di kromosom dan bukan di plasmid, sehingga lebih sulit untuk ditransfer ke bakteri lain. Namun, telah ada bukti adanya peningkatan gen pengkode resistensi quinolone yang diperantarai plasmid di Enterobacteriaceae.[13,14]

Studi di Indonesia belum ada yang menemukan resistensi Shigella spp terhadap ciprofloxacin. Akan tetapi, wabah diare akibat Shigella sonnei resisten ciprofloxacin di Korea Selatan juga melaporkan pasien yang memiliki riwayat perjalanan dari Asia Tenggara. Selain itu, Kamboja pada tahun 2014‒2015 mencatat 5 isolat Shigella spp yang resisten terhadap ciprofloxacin. Oleh karenanya, kemungkinan resistensi Shigella spp terhadap ciprofloxacin di Indonesia tetap perlu diwaspadai.[2,12,15,16]

Mekanisme Resistensi terhadap Azithromycin

Azithromycin masuk di dalam rekomendasi antibiotik empiris untuk kasus diare akibat Shigella spp. Namun, azithromycin merupakan pilihan terakhir dalam terapi disentri, sehingga kasus resistensinya diduga masih rendah.[1,17]

Escherichia coli, spesies bakteri lain dari famili Enterobacteriaceae, dapat mentransfer plasmid yang mengandung gen pengkode resistensi azithromycin ke Shigella spp. Meski demikian, laporan angka resistensi azithromycin pada Shigella spp di Vietnam (negara endemis diare akibat Shigella spp) masih rendah. Hal ini diperkirakan karena penggunaan azithromycin untuk infeksi Shigella spp yang rendah. sehingga tidak timbul mekanisme selective pressure.[17]

Peningkatan kasus Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan peningkatan resistensi terhadap kuinolon akan memberikan risiko penggunaan azithromycin yang meningkat. Di mana, kondisi ini dapat menyebabkan resistensi azithromycin berkembang.[17]

Mekanisme Resistensi Shigella spp Lainnya

Selain dari mekanisme resistensi terhadap beberapa antibiotik empiris yang telah disebutkan di atas, Shigella spp juga dapat menimbulkan resistensi melalui berbagai mekanisme lain, misalnya perubahan permeabilitas membran sel, keberadaan aminoglycoside adenyltransferase, dan keberadaan plasmid-mediated polymyxin-resistance gene.[7]

Perubahan Permeabilitas Membran Sel:

Antibiotik untuk infeksi Shigella spp banyak yang baru dapat bekerja jika mampu menembus membran sel bakteri, hingga sampai pada situs targetnya. Sebagai contoh, asam nalidiksat dan ofloxacin bekerja dengan menghambat replikasi DNA; sementara streptomycin dan spectinomycin bekerja dengan menginhibisi sintesis protein melalui hambatan terhadap subunit ribosomal. Obat-obatan tersebut tidak akan bisa memberi efek jika tidak mampu menembus membran sel.

Dalam kasus resistensi Shigella spp, telah ditemukan modifikasi dari outer membrane porin (Omp). Studi di India melaporkan mutan S. dysenteriae yang resisten terhadap imipenem memiliki kadar Omp yang jauh lebih rendah.[7]

Keberadaan Aminoglycoside Adenyltransferase:

Mekanisme terjadinya resistensi terhadap aminoglikosida yang paling umum ditemukan secara klinis adalah resistensi yang melibatkan modifying enzymes. Telah banyak penelitian yang melaporkan aminoglikosida adeniltransferase pada Enterobacteriaceae, terutama pada isolat Salmonella dan Shigella, serta mampu menyebabkan resistensi terhadap streptomycin dan spectinomycin.[7]

Keberadaan Plasmid-Mediated Polymyxin-Resistance Gene:

Plasmid-mediated polymyxin-resistance gene, yaitu gen mobile colistin resistance 1 (mcr-1), dapat menyebabkan resistensi dengan modifikasi lipid A yang ada di membran sel bakteri gram negatif. Hal ini menyebabkan lipopolisakarida menjadi lebih kation dan memiliki afinitas lebih rendah terhadap colistin dan polymyxin. Telah diketahui bahwa keberadaan mcr-1 pada isolat Shigella spp menyebabkan peningkatan 4‒8 kali terhadap minimum inhibitory concentration (MIC) polymyxin B.[7]

Pendekatan Tata Laksana Diare Untuk Mencegah Resistensi

Kebanyakan pasien dengan diare tidak membutuhkan antibiotik. Penggunaan antibiotik dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu, misalnya jika ada gejala yang berat, diare yang kronis, diare disertai darah, atau pada pasien imunokompromais.

Pada pasien yang dianggap memerlukan antibiotik, bisa digunakan antibiotik empiris di awal sambil menunggu hasil kultur dan sensitivitas agar antibiotik yang digunakan sesuai dengan agen kausatif. Instalasi kesehatan juga perlu menyediakan pedoman yang didasarkan pada pola resistensi antibiotik lokal dan menekankan pentingnya penggunaan antibiotik yang rasional (jangan digunakan jika tidak perlu).[18]

Kesimpulan

Diare yang disebabkan oleh infeksi Shigella spp dapat bersifat swasirna, tetapi dapat pula menyebabkan komplikasi berat, utamanya pada populasi berisiko seperti anak-anak atau individu imunokompromais. Penggunaan antibiotik telah dilaporkan bermanfaat dalam menurunkan penularan Shigella spp dan mencegah komplikasi. Sayangnya, penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak pada tempatnya telah meningkatkan resistensi terhadap Shigella spp.

Sebagai contoh, keberadaan extended spectrum beta-lactamase (ESBL) telah dilaporkan menyebabkan resistensi terhadap ceftriaxone; serta perubahan pada gen pengkode DNA gyrase dan topoisomerase IV dapat menyebabkan resistensi terhadap ciprofloxacin. Penggunaan antibiotik yang rasional dan sesuai cara pemakaian dapat mencegah berkembangnya resistensi terhadap berbagai golongan antibiotik.

Referensi