Lepra: Eliminasi, Vaksinasi, dan Kemoprofilaksis

Oleh :
dr. Nugrah Cesar Cardinal Santo, Sp.DVE

Semakin banyak studi mencoba meneliti mengenai kemoprofilaksis dan imunoprofilaksis untuk eliminasi kasus lepra. Lepra atau Morbus Hansen adalah infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae.

M. leprae memiliki target organ berupa saraf perifer dan kulit, tetapi juga mempengaruhi organ lain seperti mata, selaput lendir, tulang, dan testis dengan spektrum klinis yang beragam. Kasus baru tahunan lepra di Indonesia dilaporkan sebagai salah satu yang terbanyak secara global pada tahun 2020.[1,2]

Lepra

Strategi Eliminasi Lepra

Lepra digolongkan sebagai penyakit tropis yang terabaikan atau Neglected Tropical Disease (NTD) yang dicanangkan untuk dimusnahkan. Eliminasi lepra telah dicanangkan World Health Organization (WHO) sejak tahun 1991. Tujuan utama adalah mengurangi morbiditas dan menghentikan transmisi M. leprae antar manusia. WHO Global Leprosy Strategy 2016-2020 menargetkan deteksi dini kasus dan penemuan kasus di antara kelompok berisiko sebagai kunci strategis komponen operasional.[3]

Komponen Pengobatan untuk Eliminasi Lepra

Selama ini, terapi MDT (Multi Drug Treatment) merupakan terapi yang efektif untuk pengobatan sebagian besar kasus lepra. Meski demikian, kekambuhan dan infeksi ulang sering dilaporkan terjadi. Kekambuhan pada lepra umumnya berkaitan dengan kepatuhan berobat yang buruk.[3]

Pada tahun 2018, WHO mempublikasikan Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Leprosy jilid pertama. Sehubungan dengan pengobatan, WHO merekomendasikan penggunaan uniform multidrug-therapy (UMDT) dengan 3 regimen obat yang mencakup rifampicin, dapsone, dan clofazimine untuk semua pasien lepra, dengan durasi pengobatan 6 bulan untuk pausibasiler (PB) dan 12 bulan untuk multibasiler (MB).

Lepra dapat disebut pausibasiler jika bercak lepra < 5, penebalan saraf hanya pada 1 saraf, dan hasil skin smear negatif. Sementara itu, lepra multibasiler memiliki lebih dari 5 lesi lepra, penebalan saraf terjadi pada lebih dari 1 saraf, dan hasil skin smear positif.[3,4]

Upaya Preventif Lepra dengan Penggunaan Vaksin

Dalam upaya untuk mencapai eradikasi sempurna penyakit lepra dibutuhkan keseimbangan antara upaya preventif, diagnosis, dan kuratif. Salah satu upaya preventif yang tengah digencarkan adalah penemuan vaksin dengan efikasi yang tinggi. Vaksin yang efektif berpotensi mengatasi keterbatasan terapi menggunakan obat.

Sampai saat ini belum ada konsensus global mengenai pedoman penggunaan vaksin profilaksis terhadap lepra. Hanya beberapa wilayah endemis saja, seperti Brazil dan India, yang menerapkan injeksi vaksin pada individu dengan kontak erat terhadap pasien lepra. Vaksin diberikan secara intradermal. Secara khusus, target imun utama vaksinasi intradermal adalah populasi dermal sel dendritik yang mengekspresikan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas II dan CD4 pada kadar tinggi, seperti sel Langerhans dan makrofag.[5]

Bacillus Calmette Guerin (BCG)

Beberapa penelitian telah menunjukkan potensi vaksin BCG dalam menyediakan perlindungan terhadap lepra, terutama jika diberikan kepada individu yang telah kontak dengan pasien lepra. Sampai saat ini, BCG masih merupakan vaksin terbaik yang tersedia untuk pencegahan lepra, lebih unggul dari vaksin yang mengandung Mycobacteria lainnya.[6,7]

Alasan penggunaan BCG sebagai vaksin untuk melawan lepra adalah karena banyaknya jumlah antigen yang homolog dari genom M. bovis (kompleks primer vaksin BCG) dengan genom M. leprae. Hal ini diharapkan akan menginduksi respons imun protektif cross-reactive terhadap M. leprae setelah vaksinasi.[6]

Pada negara atau daerah dengan insiden tuberkulosis dan lepra yang tinggi seperti Indonesia, vaksin BCG dosis tunggal diberikan kepada semua bayi baru lahir yang sehat untuk mencegah infeksi tuberkulosis dan lepra. Jika vaksin BCG tidak diberikan pada saat lahir, maka harus diberikan pada kesempatan secepat mungkin dan tidak boleh ditunda, dengan tujuan memberikan perlindungan pada bayi sebelum terjadi paparan.[6,8]

Vaksinasi Terbaru untuk Lepra

Meskipun vaksin BCG telah lama digunakan sebagai vaksin yang melindungi dari tuberkulosis dan lepra, beberapa studi menunjukkan hasil yang kontradiktif. Efikasi vaksin BCG melawan lepra telah dilaporkan hanya sebesar 26 hingga 41% saja. Oleh karena itu, sejak tahun 1970 dilakukan revaksinasi BCG di Brazil bagi orang yang kontak erat dengan penderita lepra sebagai tambahan vaksin rutin BCG yang telah didapat ketika lahir.[7]

Perkembangan vaksin baru untuk lepra merupakan prioritas utama penelitian. Terdapat kebutuhan akan hadirnya vaksin yang dapat memberikan perlindungan yang lebih luas dibandingkan BCG dan dapat efektif pada semua kelompok umur, termasuk pasien HIV.[8]

LepVax:

Lepvax® merupakan salah satu vaksin lepra yang sedang dikembangkan. Lepvax® merupakan vaksin rekombinan lepra dengan fungsi imunitas berkaitan dengan produksi antibodi IgG spesifik LEP-F1 yang bersirkulasi dan menghasilkan respon sel Th1 spesifik LEP-F1. Berbeda dengan BCG, imunisasi setelah paparan dengan LepVax® menunjukkan keamanan dan tidak melibatkan kerusakan pada serabut saraf sensorik distal pada binatang percobaan. LepVax® telah melewati percobaan klinis fase 1a dengan sukses.[8]

Kemoprofilaksis Pasca Paparan Lepra

Kemoprofilaksis menggunakan antibiotik fokus pada pemberian perlindungan pada orang yang memiliki risiko tinggi kontak erat dengan pasien lepra, seperti anggota keluarga, tetangga, rekan kerja, dan tenaga kesehatan. Kemoprofilaksis yang direkomendasikan oleh WHO Guideline Development Group (GDG) adalah menggunakan rifampicin 600 mg dosis tunggal. Sebelum memulai pengobatan, singkirkan adanya infeksi lepra dan tuberkulosis, serta pastikan tidak terdapat kontraindikasi penggunaan rifampicin.

Profilaksis pasca paparan dengan rifampicin dosis tunggal telah dilaporkan aman dan efektif. Sejak tahun 2018, WHO telah memasukkan profilaksis pasca paparan dengan rifampicin dosis tunggal sebagai panduan untuk pengendalian lepra di berbagai negara, termasuk Indonesia.[4]

Kombinasi Kemoprofilaksis dan Imunoterapi

Rifampicin dosis tunggal yang diberikan sebagai profilaksis pada orang yang kontak erat dengan pasien lepra baru menunjukkan efikasi 57% dalam mencegah perkembangan lepra secara klinis setelah 2 tahun. Jika pada masa bayi telah mendapatkan vaksin BCG dengan adanya skar bekas vaksin BCG, efek proteksi meningkat menjadi 80%.[8]

Kesimpulan

Lepra merupakan neglected tropical disease (NTD) yang masih memiliki angka kekambuhan yang tinggi meskipun telah dilakukan terapi menggunakan regimen obat adekuat. Untuk mengatasi hal ini, vaksinasi dan kemoprofilaksis pasca pajanan merupakan langkah yang diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan eliminasi lepra.

Dahulu, vaksin BCG digunakan untuk pencegahan tuberkulosis dan lepra karena adanya kemiripan genom M. bovis dengan M. leprae. Meski demikian, efikasi dari pencegahan dengan vaksin BCG terhadap lepra masih belum memuaskan. Saat ini, telah dikembangkan vaksin rekombinan Lepvax® untuk imunisasi terhadap lepra.

Pada orang yang kontak erat terhadap pasien lepra, pemberian kemoprofilaksis telah dilaporkan meningkatkan efikasi pencegahan dari vaksin BCG. Kemoprofilaksis pasca pajanan diberikan dengan rifampicin 600 mg dosis tunggal. Di masa depan, diharapkan dengan adanya vaksin untuk lepra maka eliminasi dari penyakit ini akan tercapai.

Referensi