Inflammatory Bowel Disease Meningkatkan Risiko Parkinson

Oleh :
dr. Audiza Luthffia

Terdapat studi yang menunjukkan bahwa Inflammatory Bowel Disease (IBD), yang meliputi Crohn’s Disease (CD) dan kolitis ulseratif (UC), berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit Parkinson. Mekanisme hubungan keduanya diduga berkaitan dengan proses inflamasi kronis, faktor genetik, dan aksis usus-otak (gut-brain axis).

IBD merupakan penyakit inflamasi gastrointestinal kronik, dimana patofisiologi yang mendasari melibatkan gangguan regulasi sistem imun traktus gastrointestinal. Salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi gangguan neurodegeneratif, seperti penyakit Parkinson, memiliki kesamaan dengan IBD yaitu aktivitas proinflamasi yang kronis.[1,2]

shutterstock_1454643398-min

Penyakit Parkinson adalah penyakit neurodegeneratif kronik dengan tanda kardinal berupa bradikinesia, tremor, rigiditas, dan instabilitas postural. Mayoritas pasien Parkinson mengalami gejala non-motor yang sering tidak disadari karena muncul sebelum onset gejala motorik. Salah satu gejala non-motor pada Parkinson adalah konstipasi atau manifestasi gangguan motilitas gastrointestinal lain yang juga timbul pada kasus IBD. Atas dasar adanya kesamaan-kesamaan tersebut di atas, muncul teori bahwa IBD berpengaruh pada risiko timbulnya Parkinson.[1-3]

Mekanisme Terjadinya Parkinson pada Individu dengan Inflammatory Bowel Disease

Mekanisme yang mendasari terjadinya penyakit Parkinson pada pasien dengan Inflammatory Bowel Disease (IBD) belum dimengerti secara sempurna, namun diduga terdapat hubungan yang kompleks dan multifaktorial. Berikut ini adalah beberapa mekanisme yang dianggap berperan dalam hubungan keduanya.

Kecenderungan Genetik

Studi asosiasi genetik telah melaporkan bahwa gen leucine-rich repeat kinase 2 (LRRK2) merupakan faktor genetik utama yang meningkatkan kecenderungan individu terhadap IBD subtipe Crohn’s disease dan Parkinson familial maupun sporadik. Gen tersebut berperan dalam proses regulasi respon inflamasi serta pembersihan α-synuclein. Selain gen LRRK2, polimorfisme pada gen CARD15/NOD2 juga berhubungan dengan Crohn’s disease, dimana gen tersebut juga mengalami overekspresi pada individu dengan Parkinson. Gen CARD15/NOD2 merupakan komponen utama dalam inisiasi respon inflamasi.[1,3]

Meskipun Parkinson memiliki hubungan yang kuat secara genetik dengan IBD tipe Crohn’s disease, berdasarkan bukti ilmiah yang ada tidak terdapat perbedaan risiko Parkinson antara pasien Crohn’s disease dengan kolitis ulseratif.[4]

Agregasi α-synuclein

Agregasi protein α-synuclein intraselular dalam bentuk Lewy Bodies merupakan tanda patologi utama pada Parkinson. Pola agregasi α-synuclein juga diidentifikasi pada sistem saraf enterik pasien Parkinson. Protein α-synuclein pada sistem saraf enterik berperan sebagai kemoatraktan terhadap neutrofil dan monosit, sehingga memfasilitasi terjadinya inflamasi mukosa serta disfungsi barrier intestinal yang mana kedua hal tersebut merupakan tanda patognomonik dari IBD.

Hubungan tersebut diperkuat dengan penelitian yang mendeteksi α-synuclein melalui pewarnaan pada sampel jaringan kolon pasien yang pernah mengalami konstipasi sebelum onset gejala motorik Parkinson. Namun, metode pewarnaan terhadap α-synuclein memiliki sensitivitas dan spesifisitas di bawah 80%.[1,3]

Agregasi α-synuclein dapat terjadi secara fisiologis pada sistem saraf enterik populasi lanjut usia, khususnya di area apendiks. Hubungan antara Parkinson dengan α-synuclein pada sistem saraf enterik juga didukung oleh hasil studi epidemiologi yang menunjukkan bahwa terdapat penurunan insidensi Parkinson pada individu yang pernah menjalani appendektomi.[3]

Hubungan Antara Neuroinflamasi dengan Sistem Saraf Enterik

Patofisiologi utama dari penyakit Parkinson adalah degenerasi neuron dopaminergik. Salah satu efektor utama dari proses neuroinflamasi yang menyebabkan degenerasi tersebut adalah interleukin-1β dan TNF-α yang juga berperan penting dalam respon inflamasi pada patogenesis IBD. Sebagaimana telah diketahui, anti- TNF-α telah digunakan dalam terapi medikamentosa IBD dan dalam beberapa studi didapatkan bahwa terapi tersebut bersifat protektif terhadap Parkinson.[2]

Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa inflamasi pada traktus gastrointestinal dapat mencetuskan terjadinya degenerasi neuron dopaminergik. Inflamasi gastrointestinal yang terjadi secara kronik dapat menginisiasi deposisi α-synuclein, peningkatan permeabilitas gastrointestinal dan sawar darah otak, sehingga berujung pada neuroinflamasi. Terdapat teori yang mengemukakan bahwa proses patologi Parkinson awalnya dimulai dari traktus gastrointestinal yang selanjutnya menyebar dari sistem saraf enterik menuju ke sistem saraf pusat melalui nervus vagus. Inflamasi perifer yang bersifat kronis disertai disfungsi sawar darah otak memfasilitasi penyebaran α-synuclein dari gastrointestinal ke sistem saraf pusat.[3-5]

Teori Gut-Brain Axis

Gut-brain axis merupakan sistem komunikasi dua arah antara sistem saraf pusat dan enterik, menghubungkan pusat emosi dan kognitif dengan fungsi gastrointestinal. Berdasarkan mekanisme tersebut, banyak teori yang mengemukakan bahwa penyakit Parkinson terjadi sebagai konsekuensi dari disbiosis serta disfungsi barrier intestinal yang disebabkan oleh patogen yang belum diketahui. Disbiosis menyebabkan agregasi α-synuclein di submukosa sel neuron dan mempengaruhi proses inflamasi yang berujung pada aktivasi sistem imun dan inflamasi sentral serta perifer.

Disbiosis ditemukan pada kasus IBD dimana terjadi ketidakseimbangan proporsi antara bakteri yang bersifat antiinflamasi dan proinflamasi. Pola yang serupa juga ditemukan pada individu Parkinson yang memiliki mikrobiota gastrointestinal dengan dominasi fungsi proinflamasi.[3,5]

Bukti Ilmiah yang Mendukung Hubungan Inflammatory Bowel Disease dengan Parkinson

Sebuah studi kohort di Denmark (2019) yang melibatkan 76.477 pasien Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan 7.548.259 individu tanpa IBD dari tahun 1977-2014 menganalisis hubungan antara IBD dan risiko Parkinson pada individu berusia di atas 15 tahun. Pada studi tersebut ditemukan bahwa individu dengan IBD 22% lebih berisiko terhadap Parkinson dibanding individu tanpa IBD. Peningkatan risiko tersebut ditemukan secara signifikan pada IBD subtipe kolitis ulseratif, namun tidak signifikan secara statistik pada subtipe Crohn’s disease. Hasil penelitian tersebut mendukung teori bahwa inflamasi traktus gastrointestinal berhubungan dengan terjadinya Parkinson.[1]

Studi kohort nasional di Swedia (2019) juga mendukung hubungan tersebut, dimana didapatkan bahwa risiko Parkinson meningkat 30% pada pasien IBD. Insidensi Parkinson meningkat seiring bertambahnya usia saat diagnosis IBD ditegakkan, dengan kelompok usia di atas 60 tahun memiliki insidensi tertinggi. Jenis pengobatan juga mempengaruhi risiko Parkinson pada IBD, dimana pasien yang tidak pernah mendapat pengobatan tiopurin atau anti-TNF memiliki kemungkinan mengalami Parkinson sebesar 60%.[2]

Meta analisis dan tinjauan sistematik oleh Zhu et al (2022) menunjukkan bahwa IBD meningkatkan risiko terjadinya Parkinson sebanyak 1,24 kali lipat, terutama pada pasien dengan usia di atas 65 tahun. Meta analisis terhadap hubungan temporal menunjukkan bahwa insidensi IBD meningkat secara signifikan baik sebelum maupun sesudah diagnosis Parkinson ditegakkan. Risiko Parkinson juga meningkat secara signifikan pada kedua tipe IBD. Pasien IBD yang tidak mendapat pengobatan anti-TNF α atau azathioprine memiliki risiko Parkinson yang lebih tinggi.[4]

Implikasi Klinis Terhadap Parkinson

Pengetahuan tentang hubungan Parkinson dengan traktus gastrointestinal dan sistem imun diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam langkah terapeutik sehingga dapat memperbaiki prognosis, mengontrol progresi penyakit, dan meningkatkan kualitas hidup pasien Parkinson.[3] Saat ini belum ada agen terapeutik yang secara langsung bekerja pada gut-brain axis. Meskipun beberapa studi telah menunjukkan bahwa pasien IBD yang mendapat anti-TNF α memiliki risiko Parkinson yang lebih rendah, jumlah studi masih terbatas sehingga diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi terapeutik anti-TNF α terhadap Parkinson.[4,5]

Selain dari segi farmakoterapi, bukti bahwa respon inflamasi pada sistem saraf pusat dan enterik saling berhubungan dapat dijadikan landasan untuk melakukan penelitian hubungan antara Parkinson dengan penyakit yang berkaitan dengan sistem imun lainnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa patogenesis Parkinson dapat dimulai dari sistem atau organ tubuh lain, atau merupakan penyakit sistemik dengan manifestasi akhir berupa kelainan neurodegeneratif.[3]

Kesimpulan

Bukti ilmiah dari berbagai kohort skala besar telah menunjukkan asosiasi antara Inflammatory Bowel Disease (IBD) dengan penyakit Parkinson. Meskipun belum dapat dipastikan hubungan kausatif antara keduanya, bukti ilmiah saat ini menunjukkan adanya peningkatan risiko bermakna pada pasien IBD untuk mengalami Parkinson di masa depan. Interaksi antara sistem saraf enterik dan sistem saraf pusat dalam gut-brain axis, suseptibilitas genetik, agregasi α-synuclein dan serangkaian respon imun dan proses inflamasi merupakan beberapa mekanisme yang diduga menjelaskan hubungan antara IBD dengan Parkinson. Oleh karenanya, edukasi pasien dan pemantauan gejala Parkinson pada pasien IBD penting dilakukan untuk diagnosis dan penanganan dini.

 

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Josephine Darmawan

Referensi