Fluvoxamine vs Plasebo untuk Tata Laksana COVID-19 – Telaah Jurnal

Oleh :
Sunita

Fluvoxamine vs Placebo and Clinical Deterioration in Outpatients With Symptomatic COVID-19

Lenze EJ, Mattar C, Zorumski CF, et al. Fluvoxamine vs Placebo and Clinical Deterioration in Outpatients With Symptomatic COVID-19: A Randomized Clinical Trial. JAMA. 2020;324(22):2292–2300. PMID: 33180097

Abstrak

Objektif: Coronavirus disease 2019 (COVID-19) dapat menyebabkan kondisi serius akibat respons imun yang berlebihan. Fluvoxamine berpotensi mencegah perburukan klinis dengan cara memicu reseptor σ-1 yang mengatur produksi sitokin. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan apakah fluvoxamine yang diberikan pada pasien dengan COVID-19 derajat ringan dapat mencegah perburukan klinis dan menurunkan derajat keparahan penyakit.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis yang membandingkan fluvoxamine dengan plasebo. Penelitian dilakukan dari jarak jauh (tanpa kontak), bersifat acak, dan dengan penyamaran ganda. Partisipan adalah individu dewasa yang tidak sedang dirawat di rumah sakit, yang tinggal di komunitas, dan yang didiagnosis terinfeksi SARS-CoV-2. Partisipan memiliki onset gejala <7 hari dan saturasi oksigen minimal 92%.

Sebanyak 150 partisipan turut serta dalam penelitian dan berasal dari area metropolitan St. Louis (Missouri dan Illinois, Amerika Serikat) yang direkrut antara 10 April 2020 hingga 5 Agustus 2020. Tanggal pemantauan terakhir dalam penelitian ini adalah 19 September 2020.

Partisipan dibagi secara acak untuk mendapatkan terapi fluvoxamine 100 mg (n=80) atau plasebo (n=72) tiga kali sehari selama 15 hari. Luaran klinis utama yang dinilai adalah perburukan gejala dalam waktu 15 hari sejak randomisasi, dengan kriteria: (1) timbul sesak napas atau kebutuhan perawatan akibat sesak napas atau pneumonia; (2) saturasi oksigen <92% pada udara ruang atau adanya kebutuhan pemberian suplemen oksigen untuk mencapai saturasi oksigen minimal 92%.

Hasil: Sebanyak 115 dari 152 pasien (76%) menyelesaikan penelitian. Rerata usia adalah 46 tahun dan 72% di antaranya adalah wanita. Perburukan klinis terjadi pada 6 dari 72 pasien di kelompok plasebo, sedangkan 80 pasien di kelompok intervensi tidak mengalami perburukan klinis. Perbedaan absolut adalah 8,7% (95% CI 1,8–16,4% berdasarkan hasil analisis kesintasan dengan log-rank P = 0,009).

Pada kelompok fluvoxamine, ada 1 kejadian efek samping yang serius dan ada 11 efek samping lainnya. Sementara itu, pada kelompok plasebo, terdapat 6 efek samping yang serius dan 12 efek samping lainnya.

Kesimpulan: Pada studi preliminary tentang pasien rawat jalan COVID-19 simptomatik ini, didapatkan bahwa pemberian fluvoxamine selama 15 hari berkaitan dengan risiko perburukan klinis yang lebih rendah daripada plasebo. Namun, hasil studi ini dibatasi oleh jumlah sampel yang kecil dan durasi pemantauan setelah intervensi yang singkat. Penentuan efikasi klinis masih memerlukan hasil uji klinis acak dengan jumlah sampel yang lebih besar dan luaran klinis yang lebih definitif.

shutterstock_212604007-min

Ulasan Alomedika

Studi ini menguji efikasi fluvoxamine untuk mencegah perburukan klinis pada pasien COVID-19 dewasa dengan derajat ringan. Fluvoxamine merupakan agonis reseptor σ-1 (S1R) yang poten dan cepat diserap oleh sel. Senyawa ini termasuk dalam golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI). Sebagai agonis S1R, fluvoxamine dapat meregulasi produksi sitokin berkat interaksi antara S1R dengan sensor stres di retikulum endoplasma (inositol-requiring enzyme 1α/IRE1).

Studi pada model tikus sepsis menunjukkan bahwa afinitas fluvoxamine yang tinggi terhadap S1R dapat mengurangi respons peradangan akibat sepsis melalui jalur S1R-IRE1. Obat ini juga menurunkan kejadian syok pada tikus yang mengalami sepsis. Oleh karena itu, studi ini bertujuan untuk membuktikan efikasinya pada manusia.[1]

Ulasan Metode Penelitian

Dengan menggunakan desain uji klinis acak terkontrol dan penyamaran ganda, studi ini berfokus pada populasi COVID-19 yang melakukan isolasi mandiri tetapi tetap berisiko mengalami perburukan klinis. Para peneliti melakukan randomisasi secara layak dan melakukan stratifikasi berdasarkan usia dan jenis kelamin, sehingga menurunkan potensi kesalahan sistematik sejak tahap perekrutan partisipan.

Risiko bias dalam penelitian ini juga diantisipasi melalui penerapan penyamaran ganda (double-blind) bagi peneliti, pengumpul data luaran, dan staf penelitian yang melakukan kontak dengan partisipan terhadap data alokasi partisipan.

Salah satu hal yang menarik dari penelitian ini adalah opsi open-label yang merupakan perubahan dari protokol awal penelitian. Opsi tersebut dilakukan setelah pasien melewati fase 15 hari pemberian fluvoxamine atau plasebo dengan cara pemberian fluvoxamine 2x100 mg selama 3 hari pertama dan 2x50 mg untuk 3 hari berikutnya.

Bagi partisipan yang masuk ke dalam kelompok plasebo, fase ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh partisipan untuk mengonsumsi obat yang diuji. Sementara itu, bagi partisipan yang masuk ke kelompok intervensi, fase open-label ini membantu penyapihan dosis bagi partisipan. Fase ini juga dirancang agar tidak diikuti dengan langkah pengumpulan data, sehingga tidak menjadi perancu atas luaran primer yang diteliti.

Ulasan Hasil Penelitian

Luaran utama yang diukur adalah perburukan klinis dalam kurun waktu 15 hari sejak randomisasi. Kriteria perburukan klinis yang digunakan adalah sesak napas, rawat inap akibat sesak napas atau pneumonia, dan saturasi oksigen <92% pada udara ruang atau adanya kebutuhan penggunaan oksigen untuk menjaga saturasi oksigen ≥92%.

Berdasarkan analisis hasil penelitian, ditemukan bahwa perbedaan absolut perburukan klinis antara kelompok intervensi dan plasebo adalah 8,7% (95% CI 1,8–16,4%) dan seluruh perburukan klinis terjadi hanya pada kelompok plasebo (6 dari 72 pasien). Sebanyak 4 dari 6 pasien yang mengalami perburukan memerlukan perawatan di rumah sakit dengan durasi 4–21 hari, tetapi tidak ada partisipan yang meninggal.

Hasil ini perlu ditafsirkan secara berhati-hati karena beberapa alasan. Pertama, analisis didasarkan pada jumlah sampel yang kecil bila dibandingkan dengan keseluruhan total kandidat yang eligible. Hanya 152 dari 503 kandidat (30%) yang memenuhi syarat untuk menjadi partisipan dan menyelesaikan studi.

Kedua, belum ada model yang ideal untuk memprediksi perburukan klinis pada pasien COVID-19 dengan manifestasi klinis awal derajat ringan. Pasien yang datang dalam kondisi ringan dapat memburuk dalam 3–12 hari sejak onset dan hampir 3% di antaranya dapat berujung pada kematian.

Ketiga, sebanyak 28 pasien (18%) tidak menyelesaikan fase pemberian intervensi tanpa keterangan yang jelas. Studi tidak menguraikan secara jelas proporsi dari pasien yang tidak meneruskan penelitian di tiap kelompok (intervensi dan plasebo).[1-3]

Kelebihan Penelitian

Dari segi desain, kelebihan penelitian ini terletak pada upaya para peneliti untuk menekan risiko bias. Hal ini dicapai dengan kombinasi yang baik antara desain uji klinis acak, dilengkapi stratifikasi dan penyamaran ganda, sehingga menghasilkan dua kelompok (intervensi vs plasebo) yang imbang.

Selain itu, pemantauan perkembangan pasien melalui survei harian (2 kali/hari) yang dikirimkan secara elektronik didampingi dengan panggilan telepon sebagai metode cadangan bagi partisipan yang tidak memiliki akses internet. Persiapan yang memadai dalam hal alat medis untuk pengumpulan data objektif dalam menilai derajat keparahan pasien (misalnya monitor saturasi oksigen, pengukur tekanan darah otomatis, dan termometer) juga menjadi keunggulan lain dalam penelitian ini.

Limitasi Penelitian

Walaupun penelitian ini memiliki desain yang baik, luaran utama yang diharapkan tidak dapat terukur mengingat jumlah sampel sangat minimal dan proporsi perburukan gejala klinis lebih kecil daripada asumsi awal (8,7% vs 20%). Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat, sehingga profil rerata partisipan merupakan pasien COVID-19 dengan risiko perburukan yang rendah.

Selain itu, tingkat transmisi COVID-19 di area penelitian dan pada periode pelaksanaan penelitian mungkin tidak setinggi di area lain yang melaporkan tingkat perburukan gejala COVID-19 13–20%. Hal ini dapat diatasi dengan pengembangan penelitian lanjutan yang mirip tetapi dalam situasi pelayanan klinis nyata agar hasil penelitian dapat diterapkan pada praktik sehari-hari.

Sementara itu, pemberian termometer, monitor saturasi oksigen, dan pengukur tekanan darah otomatis kepada partisipan untuk mengukur parameter klinis dikhawatirkan tidak menunjukkan data yang valid. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan kemampuan setiap orang dalam melakukan pengukuran suhu, saturasi oksigen, dan tekanan darah dengan benar secara mandiri.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Hasil studi ini menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan plasebo, fluvoxamine dapat mengurangi risiko perburukan klinis pada pasien COVID-19 simptomatik yang bergejala ringan. Namun, hasil ini belum dapat diterapkan dalam praktik karena masih dibatasi oleh ukuran sampel yang amat kecil dan durasi follow-up yang singkat. Uji klinis acak terkontrol yang berskala lebih besar masih dibutuhkan untuk membuktikan efikasi fluvoxamine.

Baru-baru ini, suatu studi yang berukuran lebih besar telah dilakukan untuk mempelajari efek terapi dini COVID-19 dengan fluvoxamine bila dibandingkan dengan pemberian plasebo.

Referensi