Deteksi Depresi pada Remaja

Oleh :
dr. Irwan Supriyanto PhD SpKJ

Angka kejadian depresi pada remaja semakin meningkat. Remaja merupakan masa transisi antara kanak-kanak dan dewasa. Berbagai perubahan fisik, emosional, dan sosial yang dialami remaja, termasuk paparan terhadap kemiskinan, kekerasan, dan trauma, membuat remaja rentan mengalami masalah psikologis. Umumnya, rentang usia yang dianggap sebagai remaja adalah 10-21 tahun.[1,2]

Laporan WHO pada tahun 2018 menyatakan bahwa gangguan mental berkontribusi 16% dari beban penyakit dan cedera pada remaja usia 10-19 tahun. Secara global, depresi merupakan salah satu penyebab disabilitas utama pada remaja dan bunuh diri merupakan penyebab kematian ke-3 terbanyak pada kelompok usia 15-19 tahun.[1,2]

Deteksi Depresi pada Remaja-min

Depresi merupakan salah satu gangguan mental yang paling sering ditemui pada remaja dan merupakan gangguan dengan mortalitas dan morbiditas yang serius. Deteksi dini berhubungan dengan prognosis yang lebih baik. Namun deteksi dini sulit dilakukan, karena sering kali gejala depresi pada remaja berbeda dengan depresi pada umumnya.[2]

Depresi pada Remaja

Depresi adalah gangguan mental yang ditandai dengan afek depresif, penurunan minat untuk beraktivitas, dan penurunan energi yang berlangsung selama minimal 2 minggu, dengan disertai gejala-gejala penurunan konsentrasi, pesimisme, gangguan tidur, gangguan makan, ide menyakiti diri sendiri atau bunuh diri, ide bersalah atau tidak berguna, dan perubahan hormonal. Pada remaja, manifestasi ini sering kali berbeda dan sulit dikenali.[3]

Pada remaja, depresi dapat bermanifestasi sebagai masalah prestasi di sekolah, hubungan pertemanan, dan kegiatan sosial. Remaja sangat jarang mengungkapkan depresi secara verbal, namun manifestasi dapat dideteksi dari perilakunya. Individu usia 9-12 tahun yang mengalami depresi dapat menunjukkan perilaku bosan, percaya diri yang rendah, mengungkapkan ingin lari dari rumah, rasa bersalah, atau putus asa.[4,5]

Remaja usia 12-17 tahun lebih sering menunjukkan gejala gangguan tidur dan nafsu makan. Mereka juga rentan melakukan perilaku berisiko dan membahayakan, dapat mengalami waham, dan memiliki ide bunuh diri. Mereka jarang mengeluhkan keluhan neurovegetatif (seperti tidak punya energi atau perlambatan psikomotor).[4,5]

Faktor Risiko Depresi pada Remaja

Pada masa remaja, individu mengalami perkembangan kemampuan sosial dan emosional yang penting untuk kesehatan mental, misalnya pola tidur yang baik, pola aktivitas fisik, cara coping, penyelesaian masalah, dan manajemen emosi. Lingkungan yang tidak suportif untuk hal ini  adalah salah satu faktor risiko timbulnya gangguan mental.[1]

Faktor risiko psikologis antara lain riwayat depresi sebelumnya, riwayat depresi atau gangguan mental lain dalam keluarga, penyalahgunaan zat, trauma, masalah psikososial, dan keluhan somatik berulang. Selain itu, riwayat bullying dan kekerasan (baik fisik, seksual, maupun emosional) juga meningkatkan risiko depresi pada remaja.[2,6]

Faktor risiko gangguan mental lainnya pada remaja adalah jenis kelamin perempuan, kualitas hubungan yang buruk dengan keluarga dan peer, paparan terhadap kekerasan, masalah sosioekonomi, stigma, diskriminasi, dan akses dukungan sosial yang kurang.[1,4]

Deteksi dan Prinsip Manajemen Depresi pada Remaja

Remaja jarang datang ke dokter dengan keluhan depresi, melainkan dengan keluhan sekunder depresi seperti penurunan prestasi dan gangguan konsentrasi, atau keluhan somatik berulang. Klinisi di layanan primer harus mengenali tiga tanda kardinal depresi  yaitu anergia, anhedonia, dan afek depresif, serta tanda-tanda sekundernya sebagaimana tercantum dalam kriteria diagnosis ICD 10 atau DSM 5. Anamnesis sebaiknya juga dilakukan pada pasien, keluarga, dan bila memungkinkan dengan peer atau pihak sekolah.

Tingkat keparahan depresi bisa ditentukan berdasarkan jumlah gejala yang dialami, intensitas gejala, atau tingkat disfungsi yang ditimbulkan oleh gangguan.[7]

Pada populasi yang berisiko, sebaiknya dilakukan skrining. Skrining bisa dilakukan dengan instrumen, seperti Patient Health Questionnaire-2 (PHQ-2) dan Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9) yang mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang baik untuk digunakan pada remaja. Namun, penegakan diagnosis tetap harus dilakukan dengan wawancara berdasarkan kriteria diagnosis. Instrumen lain yang bisa digunakan adalah Children’s Depression Inventory (CDI). Ketiga instrumen ini telah tersedia dalam versi bahasa Indonesia dan telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas.[8-10]

Berikut adalah langkah-langkah deteksi dan manajemen depresi pada remaja menurut Zuckerbrot et al.:

Identifikasi dan Pengawasan

Identifikasi dan pengawasan depresi pada remaja dapat dilakukan dengan cara:

  • Remaja usia ≥ 12 tahun : sebaiknya dilakukan skrining untuk depresi setahun sekali dengan menggunakan instrumen skrining yang reliabel dan tervalidasi
  • Remaja yang memiliki faktor risiko depresi harus diperiksa dan dipantau secara sistematis untuk kemungkinan timbulnya depresi dengan menggunakan instrumen skrining yang reliabel dan tervalidasi[2]

Asesmen dan Diagnosis

Setelah dilakukan identifikasi, asesmen dan diagnosis dilakukan dengan cara:

  • Klinisi harus melakukan evaluasi diagnosis pada remaja yang menunjukkan hasil positif saat skrining, menunjukkan masalah emosional sebagai keluhan utama, dan mereka yang diduga keras mengalami depresi meskipun hasil skrining negatif. Gejala-gejala depresi harus dinilai berdasarkan kriteria diagnosis yang valid
  • Asesmen untuk depresi dilakukan melalui wawancara langsung dengan pasien dan keluarga atau caregiver. Pada remaja, sebaiknya juga dilakukan penilaian gangguan fungsional pada berbagai domain fungsi dan penilaian adanya gangguan mental lain. Wawancara pada remaja sebaiknya dilakukan terpisah (one-on-one)
  • Lakukan juga penilaian risiko bunuh diri[2]

Manajemen Awal Depresi Pada Remaja

Penanganan awal depresi pada remaja yang bisa dilakukan adalah:

  • Edukasi dan konseling terhadap pasien dan keluarganya mengenai depresi dan pilihan terapi yang bisa dilakukan. Klinisi juga perlu membahas mengenai tingkat kerahasiaan yang harus dijaga, baik untuk pasien ataupun keluarganya
  • Rencana terapi sebaiknya dibuat dengan melibatkan pasien dan keluarganya. Rencana terapi harus menyertakan target spesifik untuk area fungsi kunci, termasuk fungsi di rumah, peer, dan sekolah
  • Rencana terapi menyertakan safety plan, termasuk menghilangkan akses ke benda-benda berbahaya, pengawasan oleh pihak ketiga, dan mekanisme komunikasi darurat bila kondisi pasien memburuk (misalnya merencanakan bunuh diri atau membahayakan orang lain)[2]

Peran Layanan Primer dalam Mendeteksi Depresi pada Remaja

Menurut NICE (The National Institute for Health and Care Excellence), layanan primer memiliki peran penting dalam mendeteksi, melakukan penilaian risiko, merujuk, dan melakukan penanganan depresi pada remaja.[6]

Deteksi, Penilaian Risiko, dan Rujukan

Klinisi di layanan primer, sekolah, atau setting komunitas lainnya harus dilatih untuk bisa mendeteksi gejala-gejala depresi dan melakukan asesmen pada anak dan remaja yang mempunyai risiko depresi. Keterampilan yang harus dimiliki adalah active listening dan teknik komunikasi untuk menangani kesedihan dan distres pada remaja.

Klinisi di layanan primer harus familiar dengan metode skrining depresi dan harus mendapatkan supervisi rutin dari spesialis, serta mengetahui kapan harus merujuk pasien. Kriteria rujukan mencakup:

  • Depresi dengan dua atau lebih faktor risiko
  • Depresi dengan anggota keluarga mempunyai riwayat depresi berulang
  • Depresi ringan yang tidak membaik setelah 2-3 bulan intervensi
  • Depresi sedang atau berat
  • Rekurensi dari depresi sedang atau berat yang sebelumnya telah membaik
  • Tidak mau merawat diri selama setidaknya 1 bulan, sehingga membahayakan kesehatan fisiknya
  • Rencana atau ide bunuh diri yang aktif[6]

Penanganan Depresi Ringan di Layanan Primer

Pasien anak dan remaja dengan depresi ringan yang menolak intervensi atau berdasarkan penilaian klinis akan membaik tanpa intervensi, sebaiknya tetap mendapatkan asesmen ulang dalam 2 minggu.

Antidepresan sebaiknya dihindari pada kasus depresi ringan pada anak dan remaja. Informasikan kepada pasien dan caregiver mengenai opsi psikoterapi yang tersedia. Bila pasien tidak menunjukkan respon setelah 2-3 bulan terapi, pasien sebaiknya dirujuk.[6]

Penanganan Depresi Sedang-Berat di Layanan Primer

Anak dan remaja dengan depresi sedang sampai berat sebaiknya dirujuk. Edukasikan pada pasien dan keluarganya mengenai depresi dan pilihan terapi yang tersedia.[6]

Tata Laksana Depresi pada Remaja

Tata laksana depresi pada remaja tergantung pada tingkat keparahan dan risiko bunuh diri. Penelitian menunjukkan bahwa intervensi psikososial dengan edukasi dan konseling efektif sebagai penanganan depresi pada remaja, khususnya dalam setting layanan primer.[11,12]

Obat-obat psikotropika sebaiknya digunakan dengan hati-hati dan hanya diberikan pada remaja yang mengalami depresi sedang sampai berat, bila terbukti intervensi psikososial tidak efektif. Farmakoterapi depresi pada remaja sebaiknya dilakukan di bawah supervisi psikiater. Antidepresan lini pertama untuk depresi pada remaja adalah fluoxetine.[1,5,12]

Kesimpulan

Manifestasi klinis depresi pada remaja berbeda dari dewasa. Karena itu, klinisi (khususnya di layanan primer) harus dilatih untuk mengenali depresi dan faktor risiko pada remaja. Deteksi dini sebaiknya dilakukan 1 tahun sekali dengan menggunakan instrumen skrining yang valid dan reliabel, misalnya Patient Health Questionnaire-2 (PHQ-2), Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9), dan Children’s Depression Inventory (CDI).

Tata laksana depresi pada remaja yang paling dianjurkan adalah nonfarmakoterapi, seperti psikoterapi dan konseling. Jika pasien menunjukkan perburukan atau tidak berespon, maka penggunaan antidepresan dapat dipertimbangkan. Obat lini pertama untuk depresi pada remaja adalah fluoxetine.

Referensi