Pengambilan Sampel Urine untuk Diagnosis Infeksi Saluran Kemih pada Anak

Oleh :
dr. Joko Kurniawan, M.Sc., Sp.A

Pengambilan sampel urine untuk diagnosis infeksi saluran kemih (ISK) pada anak sering kali sulit dilakukan karena anak-anak berusia muda belum dapat mengikuti instruksi urinasi. Padahal, pengambilan sampel urine untuk menegakkan diagnosis infeksi saluran kemih sangat diperlukan karena manifestasi klinis ISK pada anak sering kali tidak spesifik.

Infeksi saluran kemih (ISK) dapat memunculkan gejala berupa nyeri saat berkemih (disuria), nyeri perut, dan demam. Beberapa orang tua juga melaporkan gejala yang mirip dengan infeksi viral atau bakterial lain, seperti anak menjadi tidak aktif, rewel, malas menyusu, dan muntah. Karena gejala ISK pada anak tidak spesifik, diperlukan pemeriksaan sampel urine untuk diagnosis.

Hand,In,Blue,Disposable,Medical,Rubber,Glove,Pediatric,Holds,An

Kultur urine adalah pemeriksaan baku emas untuk diagnosis infeksi saluran kemih. Akurasi hasil kultur urine akan sangat tergantung pada metode pengambilan sampel urine, karena metode pengambilan yang tidak tepat dapat menyebabkan kontaminasi urine. Saat ini masih terdapat perdebatan mengenai metode pengambilan sampel urine yang terbaik pada anak-anak, terutama anak prakontinensia.[1-3]

Jenis Metode Pengambilan Sampel Urine pada Anak

Sampel urine yang disarankan untuk pemeriksaan adalah urine pancar tengah (midstream) karena flora normal di saluran kemih biasanya sudah dibersihkan saat urine awal keluar. Selain itu, kemungkinan kontaminasi juga bisa diminimalkan dengan membersihkan area genital dengan sabun dan air sebelum berkemih. Namun, metode ini hanya bisa dilakukan untuk anak yang sudah dapat berkemih sendiri.[1]

Pada anak yang belum bisa berkemih sendiri (prakontinensia), pengambilan sampel urine dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama bersifat noninvasif, yakni dengan menunggu anak berkemih secara spontan kemudian menampung urine midstream dengan bags/pads. Namun, cara ini memiliki risiko kontaminasi yang cukup tinggi (50–60%) karena bags/pads sangat mudah mengenai area genital anak. Metode clean catch bisa mengurangi risiko kontaminasi menjadi 25%, tetapi sulit dilakukan pada anak prakontinensia.[1]

Cara kedua adalah teknik invasif. Teknik invasif dapat dilakukan dengan kateterisasi uretra atau aspirasi suprapubik untuk mendapatkan sampel urine yang steril. Teknik invasif ini hanya memiliki risiko kontaminasi sebesar 10% (pada kateterisasi uretra) dan sebesar 1% (pada aspirasi suprapubik), sehingga menjadi baku emas untuk koleksi sampel urine kultur. Namun, karena metode ini lebih sulit dan dapat menyebabkan trauma/nyeri pada anak, biasanya skrining awal (dengan tes dipstick) pada sampel dari teknik noninvasif dilakukan terlebih dahulu.[2,4]

Teknik Noninvasif Terbaru untuk Pengambilan Sampel Urine pada Anak

Metode invasif biasanya merupakan pilihan terakhir untuk menghindari risiko trauma atau komplikasi pada anak, khususnya pada neonatus. Hingga saat ini berbagai studi telah dilakukan untuk menemukan teknik noninvasif yang terbaik.

Salah satu teknik yang relatif baru (disebut manuver stimulasi kandung kemih) pernah diuji di Madrid pada 90 bayi. Langkah pertama teknik ini adalah memberikan asupan cairan pada bayi (ASI atau formula). Setelah 25 menit, area genital bayi dibersihkan dengan air hangat dan sabun, kemudian dikeringkan.

Langkah kedua dilakukan dengan mengangkat bayi di ketiaknya hingga kedua kakinya menggantung, kemudian dilanjutkan dengan langkah ketiga di mana tenaga kesehatan melakukan stimulasi kandung kemih dengan memberikan tepukan pelan di area suprapubik (kecepatan 100 tepukan/menit selama 30 detik). Kemudian, dilakukan pijat ringan (memutar) pada daerah paravertebral lumbar (low back) bayi selama 30 detik.

Prosedur ini diulang sampai urine keluar (biasanya sekitar 5 menit) dan ditampung dengan wadah steril seperti metode clean catch. Teknik ini terbukti sukses pada 86,3% bayi, aman, dan relatif mudah dilakukan.[5]

Studi Lain terkait Manuver Stimulasi Kandung Kemih

Teknik yang sama juga pernah diujikan di Montreal pada 126 bayi berusia <3 bulan.  Pada studi tersebut, hasil juga tampak baik, di mana tingkat kontaminasinya hanya sebesar 16%. Persentase tersebut tidak jauh berbeda dengan metode invasif. Teknik ini juga efektif dilakukan di ruang gawat darurat karena tergolong mudah dan cepat.[6]

Meta analisis yang dilakukan oleh Kaufman et al terhadap 568 bayi di bawah usia 3 tahun juga membuktikan efektivitas dari manuver ini. Teknik noninvasif ini menunjukkan hasil yang positif dari segi keberhasilan pengambilan sampel urine, risiko kontaminasi, efek samping, dan kemudahan prosedur.[7]

Studi lain oleh Tran et al terhadap 142 anak juga membuktikan efektivitas manuver stimulasi kandung kemih ini, tetapi hanya pada neonatus. Angka keberhasilan tampak menurun dari 88,9% (pada neonatus) menjadi 28,6% (pada anak usia >1 tahun). Semakin besar/berat anak, semakin sulit teknik ini dilakukan.[8]

Pedoman Pengambilan Sampel Urine pada Anak

Saat ini masih terdapat perbedaan guideline antar satu negara dengan negara yang lain terkait metode pengambilan sampel urine pada anak. Amerika Serikat lebih memilih teknik invasif karena level kontaminasi yang rendah, sedangkan Inggris lebih memilih teknik noninvasif. Oleh karena itu, belum ada pedoman yang tetap sebab setiap metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.[1]

Suatu studi dari Australia menyatakan bahwa bila dilihat dari segi efisiensi biaya, kateterisasi uretra adalah metode invasif yang paling efisien dan stimulasi kandung kemih adalah metode noninvasif yang paling efisien. Metode noninvasif berupa penampungan urine dengan bags/pads paling tidak dianjurkan karena selain risiko kontaminasinya tinggi, efisiensi biayanya juga ternyata buruk.[9]

Kesimpulan

Pengambilan sampel urine untuk diagnosis ISK pada anak dapat dilakukan secara invasif (dengan kateterisasi uretra atau aspirasi suprapubik) atau secara noninvasif (dengan penampungan di bags/pads atau manuver stimulasi kandung kemih). Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri sehingga saat ini belum ada pedoman yang tetap.

Metode invasif memiliki risiko kontaminasi yang lebih rendah, tetapi metode noninvasif tentu lebih aman dilakukan. Berdasarkan hasil-hasil studi yang ada, metode noninvasif berupa manuver stimulasi kandung kemih dapat dilakukan dengan angka keberhasilan yang baik dan level kontaminasi yang lebih rendah daripada metode bags/pads, terutama pada neonatus.

Referensi