Pedoman Manajemen Hernia Umbilikalis dan Epigastrik

Oleh :
dr. Sonny Seputra, Sp.B, M.Ked.Klin, FINACS

Pedoman untuk manajemen hernia umbilikalis dan epigastrik berdasarkan European Hernia Societies (EHS) dan Americas Hernia Societies (AHS) ditentukan oleh gejala dan tanda penyakit. Hernia umbilikalis asimtomatik dapat ditemukan pada hingga 25% populasi. Sementara, gejala hernia epigastrik adalah benjolan di area ulu hati yang dapat hilang atau membesar.[1-3]

Pada suatu studi di Denmark, prevalensi operasi perbaikan hernia umbilikalis atau epigastrik pada pria lebih tinggi daripada wanita. Angka operasi hernia umbilikalis mencapai puncak pada beberapa rentang usia dan jenis kelamin, yaitu pada anak usia dini (0–5 tahun) untuk laki-laki dan perempuan, usia lanjut (61–70 tahun) pada pria, dan usia paruh baya pada wanita (31–40 tahun). Untuk operasi hernia epigastrik, jumlah operasi hampir sama untuk kedua jenis kelamin, dengan prevalensi spesifik usia memuncak pada 51–70 tahun untuk pria dan 41–50 tahun untuk wanita.[1,2]

shutterstock_1796032258-min

Sekilas tentang Hernia Umbilikalis dan Hernia Epigastrik

Hernia umbilikalis didefinisikan sebagai hernia primer dengan pusatnya di umbilikus, sedangkan hernia epigastrik berpusat dekat dengan garis tengah di atas umbilikus. Hernia primer di garis tengah biasanya memiliki defek yang  berbentuk bulat atau oval dengan klasifikasi ukuran ditentukan berdasarkan diameter defek.

Hernia dikategorikan berukuran kecil (0–1 cm), sedang (>1–4 cm), dan besar (>4 cm). Pada kebanyakan pasien, hernia umbilikalis dan epigastrik dapat didiagnosis hanya dengan pemeriksaan klinis. Namun, pada kondisi tertentu seperti hernia yang sulit dipalpasi atau pada orang obesitas, diagnosis memerlukan modalitas pencitraan, seperti ultrasonografi, CT scan, atau MRI.[3-5]

Sekilas tentang Operasi Perbaikan Hernia Umbilikalis dan Epigastrik

Operasi perbaikan hernia umbilikalis dan epigastrik sering dilakukan dan perkiraan tingkat komplikasinya rendah, yaitu sebesar 3–5%. Namun, metode operasi perbaikan hernia yang optimal dengan hasil jangka pendek dan jangka panjang terbaik masih diperdebatkan.

Selain itu, masih diperdebatkan juga apakah operasi perbaikan hernia perlu menggunakan mesh, di mana mesh harus ditempatkan, dan kapan metode laparoskopi lebih dianjurkan daripada metode operasi terbuka. Pada artikel ini, akan dibahas mengenai pilihan teknik operasi perbaikan hernia umbilikalis dan epigastrik berdasarkan pedoman European Hernia Societies (EHS) dan Americas Hernia Societies (AHS).[6,7]

Ulasan Pedoman Manajemen Hernia Umbilikalis dan Epigastrik

Kelompok ahli bedah dari Eropa dan Amerika Utara, yang termasuk anggota dari EHS dan AHS, membuat beberapa pedoman untuk manajemen pasien dengan hernia umbilikalis dan epigastrik.

Manajemen Nonoperatif

Dari suatu studi oleh Kokotovic et al, dilakukan evaluasi terhadap keamanan manajemen nonoperatif, yaitu watchful waiting pada pasien dengan hernia ventral. Evaluasi ini dilakukan pada 1.358 pasien hernia ventral, termasuk hernia insisional, umbilikalis, dan epigastrik. Manajemen ini tampaknya aman, meskipun dalam perjalanannya, terdapat hingga 19% pasien yang gagal dan perlu menjalani operasi di kemudian hari.

Selain itu, studi observasi prospektif oleh Holihan et al terhadap 25 pasien hernia ventral primer yang menjalani manajemen nonoperatif selama rerata 12 bulan menemukan bahwa 20% partisipan menjalani operasi perbaikan elektif dan 4% menjalani operasi perbaikan darurat. Dengan begitu, strategi watchful waiting hanya dianjurkan untuk hernia umbilikalis dan epigastrik yang asimtomatik.[7-9]

Optimalisasi Praoperasi

Infeksi pada daerah operasi merupakan komplikasi tersering akibat operasi perbaikan hernia umbilikalis dan epigastrik. Merokok dan obesitas merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko komplikasi luka pascaoperasi.

Oleh karena itu, disarankan agar pasien tidak merokok selama 4–6 minggu sebelum pembedahan dan penurunan berat badan pada pasien obesitas hingga indeks massa tubuh (IMT) <35 kg/m2, untuk menurunkan risiko infeksi daerah operasi.[10,11]

Penggunaan Mesh saat Operasi

Operasi perbaikan hernia umbilikalis dan epigastrik dapat dilakukan dengan jahitan dan mesh (mesh). Tingkat kekambuhan setelah perbaikan hernia umbilikalis yang dijahit bervariasi antara 1–54,5%. Sebuah studi kohort yang melibatkan 1.313 pasien yang menjalani operasi perbaikan dengan  jahitan dan mesh pada hernia umbilikalis atau epigastrik dengan defek <2 cm, didapatkan bahwa angka kekambuhan setelah perbaikan dengan mesh adalah 10%, sedangkan angka kekambuhan setelah perbaikan dengan jahitan adalah 21%.

Selain tingkat kekambuhan yang menurun, penggunaan mesh juga tidak meningkatkan infeksi di tempat pembedahan, seroma, hematoma, atau nyeri kronis. Oleh karena itu, penggunaan mesh disarankan untuk perbaikan hernia umbilikalis dan epigastrik. Namun, untuk hernia yang kecil dengan defek yang berukuran <1 cm, masih belum ada data yang cukup untuk membandingkan antara operasi perbaikan hernia dengan jahitan dan mesh.

Operasi perbaikan dengan jahitan masih dapat dipertimbangkan untuk defek hernia kecil <1 cm. Pada kondisi emergensi seperti hernia umbilikalis atau epigastrik inkarserata atau strangulata, disarankan agar mesh sintetis digunakan dalam prosedur operasi yang bersih atau bersih terkontaminasi saja.

Pada prosedur operasi yang terkontaminasi, perbaikan dengan jahitan primer disarankan untuk defek yang berukuran <3 cm dan sebagai alternatif, dapat dipertimbangkan menggunakan mesh biologis.[7,12-14]

Jarak Tumpang Tindih Mesh (Mesh Overlap) dan Lokasi Pemasangan Mesh

Dalam dua studi acak terkontrol terbaru oleh Kaufmann et al dan Ponten et al, penggunaan mesh dengan jarak tumpang tindih antara mesh dengan defek selebar 3 cm dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang rendah. Untuk defek kurang dari 1 cm, jarak tumpang tindih mesh yang lebih kecil mungkin cukup, tetapi hingga saat ini tidak ada data yang mendukungnya.

Secara teoritis, terdapat 5 lapisan anatomi untuk menempatkan mesh, yaitu: onlay, pada bidang prefasia di atas linea alba; inlay, pada tepi antardefek; retromuskular, di antara otot rektus dan di posterior selubung rektus; preperitoneal, di antara selubung rektus posterior dan peritoneum; dan intraperitoneal, juga disebut intraperitoneal onlay mesh (IPOM).

Sebuah studi acak terkontrol baru-baru ini oleh Kaufmann et al, membandingkan antara operasi perbaikan dengan jahitan dengan perbaikan menggunakan mesh pada hernia umbilikalis dengan defek ukuran 1–4 cm, didapatkan bahwa penggunaan mesh yang diletakkan pada preperitoneal menghasilkan tingkat kekambuhan yang lebih rendah (4%) dibanding jahitan (12%), tanpa peningkatan komplikasi.

Berdasarkan hal ini, disarankan untuk menempelkan mesh dengan jarak tumpang tindih 3 cm untuk operasi terbuka perbaikan hernia umbilikalis atau epigastrika dengan defek berukuran 1–4 cm, dan mesh diletakkan pada lokasi preperitoneal.[15-17]

Jahitan yang Disarankan untuk Operasi

Jenis jahitan (tidak dapat diserap, lambat diserap, atau cepat diserap) dan teknik (kontinu atau terputus) mungkin berperan dalam mengurangi risiko kekambuhan. Teknik khusus juga digunakan dan dinamai sesuai ahli bedah seperti Mayo, yaitu dengan jahitan double-breasted.

Jahitan yang lambat atau tidak dapat diserap pada operasi perbaikan jahitan hernia umbilikalis dan epigastrik lebih disarankan. Jahitan yang cepat terserap tidak dianjurkan untuk digunakan. Teknik jahitan bisa dipilih oleh dokter bedah karena tidak ada perbedaan angka kekambuhan di antara teknik menjahit.[7,15]

Pendekatan Operasi secara Laparoskopi

Satu tinjauan sistematis dan meta analisis oleh Hajibandeh et al membandingkan pendekatan laparoskopi dan operasi terbuka untuk perbaikan hernia umbilikalis. Tinjauan dilakukan pada 3 studi acak terkontrol dan 7 studi kohort retrospektif dengan total 16.549 pasien.

Operasi perbaikan dengan bedah terbuka dikaitkan dengan risiko infeksi luka, dehisensi luka, kekambuhan yang lebih tinggi, peningkatan durasi rawat inap, tetapi waktu operasi lebih pendek daripada perbaikan laparoskopi.

Perbaikan hernia dengan laparoskopi dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi daerah operasi. Hernia dengan ukuran defek yang besar dan pada pasien obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi luka pascaoperasi. Berdasarkan hal ini, disarankan agar metode laparoskopi dipertimbangkan untuk hernia umbilikalis atau epigastrik dengan defek berukuran besar (>4 cm), atau jika pasien memiliki peningkatan risiko infeksi luka.

Untuk perbaikan hernia umbilikalis atau epigastrik dengan metode laparoskopi, disarankan agar defek ditutup jika memungkinkan, dan mesh sintetis dipasang pada posisi preperitoneal atau retromuskular dengan jarak tumpang tindih minimal 5 cm. Bila menggunakan mesh biologis intraperitoneal, maka disarankan agar mesh biologis dipasang dengan jahitan atau paku payung (tacks) yang tidak dapat diserap.[7,18-20]

Aplikasi Pedoman Operasi Hernia Umbilikalis dan Epigastrik di Indonesia

Operasi perbaikan hernia umbilikalis atau epigastrik dengan metode laparoskopi memerlukan keterampilan melalui pembelajaran khusus (learning curve) dan biaya operasional yang cukup mahal. Cedera usus merupakan komplikasi serius pada operasi perbaikan hernia secara laparoskopi, yang akan berkurang jika operator semakin berpengalaman.

Untuk mengurangi biaya operasi perbaikan hernia umbilikalis dan epigastrik, disarankan agar operasi perbaikan secara terbuka dilakukan menggunakan mesh  preperitoneal. Hal ini perlu disertai dengan upaya maksimal untuk mengurangi potensi komplikasi berupa infeksi dan kekambuhan, dengan mempertimbangkan optimalisasi praoperasi.

Di Indonesia, laparoskopi telah banyak dikembangkan, walaupun beberapa kendala masih perlu dipertimbangkan, seperti keterampilan (learning curve), kelengkapan instrumen, fasilitas kamar operasi, dan tim operasi yang terlatih. Selain itu, Indonesia merupakan negara berkembang, di mana biaya yang cukup tinggi untuk operasi laparoskopi dapat menjadi kendala.

Dengan demikian, sesuai dengan pedoman dari EHS dan AHS, operasi bedah terbuka dengan penggunaan mesh sintetik yang ditempatkan pada preperitoneal untuk perbaikan hernia umbilikalis atau epigastrik masih menjadi pilihan utama untuk diterapkan di Indonesia. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan metode laparoskopi dapat diterapkan pada pasien dengan indikasi yang sesuai.[7,21,22]

Kesimpulan

Rekomendasi utama dari pedoman operasi hernia umbilikalis atau epigastrik yang adalah penggunaan mesh untuk mengurangi tingkat kekambuhan. Kebanyakan hernia umbilikalis dan epigastrik yang simptomatik dapat diperbaiki dengan pendekatan terbuka dengan mesh yang diletakkan pada posisi preperitoneal. Pendekatan laparoskopi dapat dipertimbangkan jika defek hernia besar, atau jika pasien memiliki peningkatan risiko morbiditas luka.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi