Menghadapi Pasien dengan Ide Bunuh Diri saat Telekonsultasi

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Layanan telekonsultasi semakin luas digunakan, termasuk oleh pasien depresi yang mungkin sedang memiliki ide bunuh diri. Penanganan yang baik dalam menghadapi pasien tersebut amat penting untuk mencegah fatalitas akibat perilaku bunuh diri.

Bunuh diri merupakan kegawatdaruratan psikiatri yang memerlukan intervensi segera. Telekonsultasi memegang potensi besar dalam menyediakan alat yang cepat dan aman, mendukung dan mendahului penilaian klinis tatap muka, serta untuk memberikan intervensi awal pada pasien yang berisiko bunuh diri. Meski demikian, hingga kini masih belum ada pedoman klinis yang ditujukan untuk memandu telekonsultasi pada pasien yang berisiko bunuh diri.[1,2]

Menghadapi Pasien dengan Ide Bunuh Diri saat Telekonsultasi-min

Potensi Telekonsultasi pada Kasus Bunuh Diri

Meskipun telah diketahui memiliki angka kejadian yang tinggi, diagnosis dan penatalaksanaan kasus bunuh diri sering terhalang masalah akses terhadap pelayanan kesehatan. Sebagai akibatnya, pasien depresi dan kasus bunuh diri sering kesulitan mendapat terapi yang layak, lebih berisiko mengalami rawat inap yang tidak perlu, menjalani evaluasi psikiatri yang kurang baik, maupun tidak mendapat tindak lanjut medis.

Telekonsultasi diharapkan dapat mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Telekonsultasi dapat berperan dalam bentuk interaksi dokter-pasien ataupun interaksi antar petugas kesehatan, yang diharapkan akan meningkatkan kualitas layanan psikiatri bagi pasien.[3,4]

Potensi Telekonsultasi dalam Program Pencegahan Bunuh Diri

Risiko bunuh diri dikatakan meningkat pada minggu pertama perawatan dan seminggu pertama setelah pulang rawat dari bangsal psikiatri atau unit gawat darurat (UGD). Pemantauan ketat selama 7 hari setelah pulang rawat ini berperan sangat penting untuk mencegah berulangnya perilaku atau tindakan bunuh diri. Telekonsultasi diharapkan mampu membuat pemantauan lebih terjangkau dan mudah dilakukan bagi pasien.[2,5]

Selain itu, salah satu metode melakukan pencegahan bunuh diri adalah dengan mengenali gejala awal perubahan status mental dan risiko bunuh diri, kemudian sesegera mungkin melakukan konsultasi kejiwaan. Secara teoritis, semakin cepat dilakukan penanganan gangguan kejiwaan maka semakin rendah pula risiko bunuh diri. Dengan adanya telemedicine, pasien diharapkan memiliki akses terhadap layanan kesehatan kapanpun ia memerlukan. Dokter juga bisa menghubungi pasien secara proaktif dengan lebih mudah melalui aplikasi ponsel.[2,6]

Penelitian Efikasi Telekonsultasi Terhadap Penurunan Risiko Bunuh Diri

Hingga saat ini belum ada penelitian yang membandingkan langsung antara telekonsultasi atau intervensi digital dengan tatap muka terhadap populasi yang berisiko tinggi bunuh diri. Namun, terdapat beberapa data yang mengindikasikan peran positif telekonsultasi terhadap pemeriksaan dan intervensi awal kasus gawat darurat psikiatri, khususnya pada ide atau perilaku bunuh diri.[1,2,6]

Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan pada tahun 2021 menunjukkan bahwa telemedicine dan intervensi digital mampu menurunkan ide atau perilaku bunuh diri dengan effect size kecil hingga sedang. Meta analisis tersebut dilakukan terhadap 6 penelitian dengan jumlah total 576 partisipan. Salah satu penelitian yang dianalisis mengungkapkan terdapat risiko ketidakpatuhan penggunaan telekonsultasi berbasis video jika dilakukan jangka panjang, dimana hanya 78,1% peserta yang menyelesaikan seluruh sesi.[2]

Studi lain juga menunjukkan bahwa telemedicine memiliki angka penerimaan yang tinggi di kalangan masyarakat sebagai salah satu program pencegahan bunuh diri. Survey terhadap 80 responden ini menunjukkan bahwa 98% responden menyatakan layanan telemedicine dibutuhkan; sekitar 93% responden menyatakan setuju untuk menggunakan layanan telemedicine sebagai program pencegahan bunuh diri dan sekitar 75% menganggap layanan telemedicine efektif dalam upaya pencegahan bunuh diri.[6]

Tips Telekonsultasi pada Kasus dengan Ide atau Perilaku Bunuh Diri

Selama berhadapan dengan pasien yang berisiko bunuh diri, beberapa klinisi menganggap bahwa menanyakan adanya ide bunuh diri dapat mendorong perilaku bunuh diri.  Namun, faktanya mencoba memahami dan menanyakan ide bunuh diri telah dilaporkan dapat mencegah perilaku bunuh diri.[7]

Sikap Selama Telekonsultasi

Adapun sikap klinisi yang dapat diterapkan selama telekonsultasi dalam menghadapi pasien dengan risiko bunuh diri, antara lain:

  • Memperhatikan kondisi medis umum dan tingkat kesadaran pasien. Pada pasien dengan kondisi medis umum yang butuh tata laksana segera, maka dorong pasien untuk mencari pertolongan sambil tetap mendampingi pasien lewat telekonsultasi jika memungkinkan.
  • Jamin kerahasiaan pasien dan ciptakan suasana yang nyaman dengan sikap terbuka dan penuh empati.
  • Tunjukkan sikap yang wajar dan tidak menghakimi.

Beberapa cara dapat dilakukan untuk menggali kondisi emosional pasien, misalnya dengan menanyakan bagaimana pasien merespon terhadap frustasi atau kesedihan yang ia hadapi. Dokter juga bisa menggunakan pola pertanyaan yang menormalisasi dan eksternalisasi, misalnya menyatakan, “Saya hendak menanyakan Anda pertanyaan yang wajib ditanyakan kepada semua orang. Pernahkah Anda berpikir tentang menyakiti diri atau merencanakan tindakan mencelakai diri?”[8]

Identifikasi Potensi Hambatan Selama Telekonsultasi

Beberapa penghalang yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan telekonsultasi pada kasus pasien dengan risiko bunuh diri, antara lain:

  • Seberapa mampu populasi tertentu (misalnya lansia, kelompok minoritas, bertempat tinggal di lokasi padat penduduk) dengan risiko peningkatan bunuh diri, mampu menjangkau intervensi yang ditargetkan.
  • Apakah terdapat peranan kondisi tertentu terhadap peningkatan risiko bunuh diri yang perlu ditangani segera, misalnya infeksi atau gangguan neurobiologi
  • Bagaimana mempertahankan pengawasan terkait perubahan yang terjadi terhadap risiko bunuh diri yang dimiliki.
  • Apakah penilaian risiko bunuh diri secara virtual dapat dilakukan secara efektif.
  • Bagaimana kualitas perangkat pendukung, termasuk jaringan internet, dalam melakukan pemeriksaan, intervensi, dan seberapa efektif secara klinis media yang digunakan.[9]

Tahap Inisiasi Telekonsultasi

Pada tahap inisiasi atau kontak terhadap pasien dengan risiko bunuh diri, dokter perlu meminta lokasi pasien (misalnya alamat dan nomor telepon yang dapat dihubungi).

Pastikan klinisi dan klien memiliki informasi kontak darurat, seperti rumah sakit terdekat, kerabat yang dapat dihubungi segera, ataupun layanan hotline pencegahan bunuh diri.

Jika dibutuhkan dan memungkinkan, pertahankan kontak aktif dengan pasien sambil merencanakan datangnya pertolongan darurat.[1,9,10]

Tahap Pemeriksaan Risiko Bunuh Diri Selama Telekonsultasi

Saat melakukan pemeriksaan melalui telekonsultasi, cobalah untuk memahami bahwa pasien berada dalam kondisi penuh stres. Kemukakan perhatian dan tanyakan secara langsung mengenai ide dan perilaku bunuh diri.

Jika ada, tanyakan juga dampak emosional terkait pandemik COVID-19 terhadap risiko bunuh diri. Misalnya apakah terjadi peningkatan gejala depresi akibat isolasi sosial, konflik, kekhawatiran infeksi, ataupun penurunan dukungan sosial.

Kenali faktor protektif yang menguatkan pasien ataupun alasan bertahan hidup (misalnya anak dan keluarga). Kenali juga hal apa yang ditakuti oleh pasien (misalnya takut nyeri jika mati atau takut dosa).

Selanjutnya, saat pemeriksaan melalui telekonsultasi dokter juga perlu mengidentifikasi akses terhadap rencana bunuh diri. Misalnya akses terhadap obat-obatan atau zat berbahaya dan benda tajam.[1,9,10]

Tahap Manajemen dalam Telekonsultasi Pasien yang Berisiko Bunuh Diri

Bila pasien teridentifikasi memiliki ide bunuh diri selama telekonsultasi, dukung dan kenali bagaimana meningkatkan keamanan pasien secara cepat, seperti segera merujuk pasien ke unit gawat darurat (UGD) terdekat.

Perencanaan Keamanan pada Pasien Risiko Bunuh Diri:

Dokter juga bisa bekerja sama dengan pasien untuk menjalin Perencanaan Keamanan yang dapat membantu pasien mengatasi risiko bunuh dirinya. Perencanaan Keamanan ini sama seperti yang dilakukan lewat tatap muka, berupa rencana yang dapat dilakukan untuk menjamin keamanan pasien dan membutuhkan waktu sekurangnya 30 menit. Memiliki Perencanaan Keamanan dianggap penting sebagai salah satu cara menjamin keamanan pasien jika kunjungan UGD atau fasilitas kesehatan lainnya tidak dilakukan. Perencanaan Keamanan dapat dibuat melalui beberapa langkah, antara lain:

  • Mengenali tanda bahaya (termasuk ide, tindakan, perasaan, situasi pencetus, gambaran pencetus) terjadinya krisis bunuh diri dan kapan Perencanaan Keamanan perlu digunakan.
  • Mengenali kemampuan koping internal yang mampu mendistraksi pikiran bunuh diri dan menurunkan krisis, termasuk menurunkan akses ke sumber bahaya.
  • Mengidentifikasi kontak sosial yang mampu membantu mendistraksi saat terjadi krisis bunuh diri.
  • Mengenali dukungan sosial yang dapat membantu saat terjadinya krisis bunuh diri. Dukungan ini bisa saja bersumber dari orang yang tinggal bersama pasien ataupun seseorang yang membuat pasien merasa nyaman. Klinisi perlu meminta persetujuan dari pasien dan kontak orang yang ditunjuk.
  • Memberikan dan mengenali kontak darurat profesional yang tersedia dekat dengan lokasi pasien.
  • Membuat rencana bersama pasien untuk mengurangi akses ke sumber bahaya ataupun rencana yang telah pasien persiapkan.

Saat membuat rencana-rencana tersebut, usahakan buat sespesifik mungkin. Kontak melalui perantara virtual bisa jadi dirasakan kurang nyaman untuk pasien, maka diskusikan dengan pasien jenis kontak seperti apa yang dapat memenuhi kebutuhan emosional pasien. Lakukan peninjauan dan pembetulan terhadap rencana yang sebelumnya pernah dibuat.

Upaya Pencegahan Saat Risiko Bunuh Diri Sedang Tinggi:

Ketika pasien memiliki risiko bunuh diri yang tinggi, minta pasien untuk meningkatkan kontak dengan klinisi hingga risiko menurun, meskipun kontak hanya berupa cek singkat tentang kondisi pasien.

Berikan pasien nomor telepon yang dapat segera dihubungi, misalnya nomor layanan daring, hotline krisis, ataupun nomor telepon layanan darurat.

Kenali orang atau layanan yang memampukan pengawasan terhadap ide atau perilaku bunuh diri pasien, baik secara langsung atau dari jarak jauh. Kemudian, minta persetujuan pasien agar klinisi dapat menghubungi orang tersebut secara langsung untuk menanyakan kondisi pasien.

Jika risiko terlalu tinggi dan tidak dapat diatasi secara jarak jauh, maka rencanakan pasien untuk segera mengunjungi UGD terdekat. Saat terjadi risiko yang sangat tinggi, usahakan untuk selalu menemani pasien (secara virtual atau lewat telepon) hingga pasien ditemui oleh tenaga rawat lainnya.[1,9,10]

Tahap Pemantauan

Telekonsultasi juga dapat dimanfaatkan dalam pemantauan atau pengawasan pada pasien yang berisiko bunuh diri. Saat melakukan pemantauan, hal pertama yang perlu dilakukan adalah segera melakukan penapisan risiko bunuh diri. Kemudian, lakukan peninjauan terhadap perubahan faktor risiko atau faktor protektif. Jika dirasa perlu, lakukan penilaian dan pembaruan Perencanaan Keamanan.[1,9,10]

Kesimpulan

Ide atau perilaku bunuh diri dianggap sebagai masalah serius yang perlu mendapatkan penanganan segera. Telekonsultasi dianggap sebagai salah satu cara potensial, baik untuk penanganan awal maupun upaya pencegahan bunuh diri.

Hingga saat ini belum ada pedoman resmi untuk memandu telekonsultasi pada kasus bunuh diri. Meski demikian, terdapat beberapa hal yang dapat diupayakan oleh klinisi. Dokter bisa melakukan identifikasi risiko bunuh diri sejak inisiasi telekonsultasi, membuat Perencanaan Keamanan jika pasien dianggap berisiko bunuh diri, melakukan manajemen awal pencegahan perilaku bunuh diri, serta melakukan evaluasi atau pengawasan lanjutan. Dalam melakukan telekonsultasi, dokter juga dapat mengidentifikasi kondisi penyerta, faktor yang bersikap protektif, akses pasien ke benda atau obat berbahaya, serta layanan kesehatan terdekat yang dapat memberi pertolongan secara luring.

Referensi