Hypoxia-Inducible Factor-Proline Hydroxylase Inhibitor pada Terapi Anemia Renal

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Hypoxia-inducible factor-proline hydroxylase inhibitor (HIF-PHI) diduga dapat berperan dalam terapi anemia pada penyakit ginjal kronis atau anemia renal. HIF-PHI dilaporkan dapat menurunkan kadar hepcidin dan memodulasi metabolisme besi, sehingga meningkatkan kapasitas pengikatan besi total dan mengurangi kebutuhan akan suplementasi besi pada pasien anemia akibat penyakit ginjal kronis.[1]

Anemia dan Penyakit Ginjal Kronis

Anemia merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Studi menunjukkan bahwa anemia pada penyakit ginjal kronis, atau disebut sebagai anemia renal, berhubungan dengan peningkatan mortalitas, penurunan kualitas hidup, gangguan kognitif, maupun kejadian kardiovaskuler.[2,3]

Hypoxia-Inducible Factor-Proline Hydroxylase Inhibitor pada Terapi Anemia Renal-min (1)

Anemia pada pasien penyakit ginjal kronis terutama disebabkan oleh berkurangnya produksi eritropoietin (EPO) endogen akibat kerusakan jaringan ginjal, masalah metabolisme besi (Functional Iron Deficiency/ FID), inflamasi, maupun menurunnya kesintasan eritrosit. FID terutama diakibatkan oleh kadar hepcidin yang tinggi, karena hepcidin menghalangi absorpsi besi dan mengurangi pelepasan besi dari sel retikuloendotelial.[2,4-8]

Keterbatasan dalam Manajemen Anemia Renal

Penatalaksanaan anemia pada pasien penyakit ginjal kronis saat ini dilakukan dengan pemberian transfusi darah atau agen stimulasi eritropoiesis (ESA). Sementara itu, masalah FID ditangani dengan pemberian suplemen besi oral atau intravena.[4-7] Akan tetapi, terlepas dari penggunaan besi dan ESA, kontrol anemia pada pasien penyakit ginjal kronis masih tidak sesuai harapan.[8]

Selain itu, pendekatan ini juga masih menimbulkan sejumlah masalah, seperti risiko morbiditas kardiovaskular, peningkatan kadar EPO suprafisiologis akibat pemberian ESA berulang, efek samping transfusi darah, dan efek samping akibat pemberian berulang suplemen besi.[4-7] Ada pula kasus ESA hiporesponsif atau resisten, serta pasien yang mengalami pembentukan antibodi anti-EPO. Pemberian injeksi ESA eksogen juga kurang nyaman bagi pasien dan meningkatkan risiko infeksi pada pasien penyakit ginjal kronis.[4]

Mekanisme Aksi Hypoxia-Inducible Factor-Proline Hydroxylase Inhibitor (HIF-PHI)

Telah ditemukan bahwa HIF-2a memainkan peran penting dalam regulasi ekspresi gen EPO pada sel ginjal yang berperan pada eritropoiesis.[2] Inhibisi terhadap enzim yang mendegradasi HIF-2a dapat meningkatkan produksi EPO endogen, dan pada gilirannya memperbaiki anemia. Sehubungan dengan hal tersebut, dikembangkan obat golongan baru untuk terapi anemia renal pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK), yakni hypoxia-inducible factor-proline hydroxylase inhibitor (HIF-PHI).[2,4-7]

Kondisi hipoksia akan mengaktivasi HIF-2a. Kemudian, HIF-2a akan memfasilitasi ekspresi EPO untuk meningkatkan produksinya dan hal itu akan menstimulasi eritropoiesis di sumsum tulang. Di sisi lain, HIF-2a akan meningkatkan absorpsi besi enteral melalui peningkatan produksi divalent metal transporter 1 dan duodenal cytochrome B. HIF-2a juga menginhibisi produksi hepcidin yang mengganggu uptake dan mobilisasi besi.

HIF-2a akan didegradasi oleh prolyl hydroxylase enzymes (PHD). PHD memiliki 3 isoform, dimana PHD2 lebih banyak berhubungan dengan HIF-1alfa, sedangkan PHD3 pada HIF-2alfa. Dengan menginhibisi enzim PHD, maka HIF-2a dapat bekerja lebih efisien untuk menstimulasi eritropoiesis pada pasien anemia renal.[2,4,9]

Bukti Ilmiah Efikasi Hypoxia-Inducible Factor-Proline Hydroxylase Inhibitor (HIF-PHI)

Saat ini ada 4 jenis obat golongan hypoxia-inducible factor-proline hydroxylase inhibitor (HIF-PHI) yang telah menjalani percobaan klinis fase 3. Obat-obatan tersebut adalah roxadustat, daprodustat, molidustat, dan vadadustat.[2]

Roxadustat

Roxadustat merupakan obat pertama pada golongan HIF-PHI yang dikembangkan sejak 10 tahun yang lalu. Roxadustat menginhibisi semua isoform PHD.[2]

Pada studi fase 2 di Cina yang dilakukan pada populasi pasien penyakit ginjal kronis (PGK) non-dialisis yang diberikan roxadustat selama 8 minggu, didapatkan bahwa hemoglobin response rate secara signifikan lebih tinggi pada grup terapi dibandingkan plasebo (83,6% vs 23,3%).[10] Hasil serupa juga ditunjukkan oleh studi fase 2 lain dengan durasi 6 minggu di Jepang.[11]

Untuk populasi pasien PGK yang menjalani dialisis, baik studi fase 2 maupun fase 3 konsisten menunjukkan bahwa pemberian roxadustat mampu meningkatkan hemoglobin (Hb) tanpa dipengaruhi oleh kondisi inflamasi, meningkatkan utilisasi besi, dan mampu mengurangi kadar kolesterol. Tapi, untuk pertanyaan apakah roxadustat dapat menggantikan ESA sebagai terapi lini pertama anemia pada pasien dialisis, masih belum ada hasil yang konklusif.

Dari segi profil keselamatan, laporan studi roxadustat menunjukkan insidensi hingga 14,2% drug-related serious effect. Efek samping serius yang dilaporkan berhubungan dengan komplikasi akses vaskuler, infeksi, dan gangguan jantung. Efek samping umum yang banyak dilaporkan meliputi diare, mual, nasofaringitis, hiperkalemia, dan hipertensi. Secara keseluruhan, roxadustat efektif dan dapat ditolerir oleh pasien dalam mengoreksi anemia renal, serta tidak dipengaruhi oleh tingkat inflamasi pasien PGK.[2]

Daprodustat

Daprodustat dikembangkan di tahun 2007. Obat ini menginhibisi semua isoform PHD dengan preferensi utama di PHD1 dan PHD3. Studi fase 2 oleh Holdstock et al pada 156 pasien PGK (73 non-dialisis dan 83 dialisis), menemukan bahwa setelah 4 minggu ∆Hb di grup daprodustat lebih unggul dibandingkan dengan grup plasebo. Selain itu, ditemukan pula penurunan kadar hepcidin dan peningkatan utilisasi besi pada pasien di grup daprodustat.[12] Studi fase 2 lain oleh Akizawa et al pada 86 pasien dialisis juga menemukan hasil serupa.[13]

Selain dari manfaat pada peningkatan kadar Hb dan penurunan hepcidin, studi fase 2 lainnya menemukan ada penurunan moderat parameter lipid pada grup pasien yang mendapat obat ini. Efek samping serius yang dilaporkan (bervariasi antara 1,2-18%) terutama berupa gangguan jantung.[12-16]

Dalam studi fase 3 yang dilakukan pada 3872 pasien PGK tanpa dialisis dengan durasi studi hingga 52 minggu, didapatkan bahwa daprodustat noninferior dari darbepoetin alfa dalam hal rerata perubahan Hb. Sementara itu, kejadian kardiovaskular mayor dilaporkan setara (19,5% vs 19,2%) antara kedua grup.[17]

Studi fase 3 lain yang dilakukan pada 2964 pasien PGK yang menjalani dialisis dengan durasi studi hingga 52 minggu, menemukan bahwa daprodustat noninferior terhadap epoietin alfa. Hasil ini dilaporkan baik untuk rerata perubahan Hb maupun efek samping kardiovaskular mayor (25,2% vs 26,7%).[18]

Molidustat

Serupa dengan roxadustat dan daprodustat, molidustat dilaporkan efektif dalam penanganan anemia renal. Hal ini ditunjukkan oleh studi Dialogue

Percobaan Dialogue I yang dilakukan pada populasi pasien non-dialisis, memperlihatkan bahwa molidustat lebih efektif dari plasebo dalam rerata peningkatan kadar Hb setelah 16 minggu. Sementara itu, percobaan Dialogue II dan III dilakukan pada pasien PGK non-dialisis dan dialisis yang membandingkan antara molidustat dengan ESA, menemukan bahwa pasien molidustat lebih baik dalam mempertahankan kadar Hb jika dibandingkan dengan grup ESA.[19]

Untuk observasi jangka panjang, durasi studi Dialogue diperpanjang hingga 52 minggu pada pasien non-dialisis, dimana pasien awal yang mendapat plasebo dialihkan untuk mendapat molidustat. Di akhir 52 minggu, baik kadar Hb di grup molidustat dan ESA tidak berbeda signifikan sehingga disimpulkan bahwa molidustat dapat menjadi alternatif ESA pada pasien PGK.[20]

Dalam studi fase 3 yang membandingkan molidustat dengan ESA (darbepoetin alfa) pada 162 pasien non-dialisis dengan durasi 52 minggu, dilaporkan bahwa molidustat noninferior terhadap darbepoetin dalam hal rerata perubahan Hb. Sebagian besar efek merugikan yang dilaporkan tergolong dalam kategori ringan dan setara antar kedua grup yang dibandingkan.[21]

Vadadustat

Sejumlah studi fase 2 konsisten menunjukkan bahwa Vadadustat mampu memperbaiki anemia renal dan meningkatkan utilisasi besi dengan dose-dependent manner pada pasien PGK. Namun, perlu dicatat bahwa studi-studi tersebut memiliki jumlah sampel yang relatif minim dengan waktu pemantauan yang pendek.[22-24]

Studi fase 3 yang dilakukan oleh Nangaku et al pada 323 pasien PGK dengan dialisis selama 52 minggu melaporkan bahwa vadadustat sama efektif atau noninferior dengan darbepoetin alfa dalam mempertahankan rerata kadar Hb. Efek samping yang banyak dilaporkan adalah nasofaringitis, diare, dan shunt stenosis. Frekuensi efek samping tersebut setara antara kedua grup yang dibandingkan.[25]

Hasil serupa dikonfirmasi oleh studi fase 3 INNO2VATE oleh Eckardt et al. Selain hasil noninferior terhadap darbepoetin alfa untuk pasien dialisis, studi ini turut melaporkan bahwa risiko kardiovaskular di grup vadadustat lebih rendah jika dibandingkan dengan grup darbepoietin alfa (18,2% vs 19,3%).[26]

Di populasi pasien PGK non-dialisis, studi PRO2TECT melaporkan bahwa vadadustat non-inferior terhadap darbepoietin alfa untuk efikasi hematologinya. Meski demikian, vadadustat belum memenuhi kriteria noninferior dalam hal keamanan kardiovaskular untuk pasien PGK non-dialisis.[27]

Kesimpulan

Penanganan konvensional anemia renal pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) saat ini masih terhalang oleh berbagai keterbatasan. Agen hypoxia-inducible factor-proline hydroxylase inhibitor (HIF-PHI) menawarkan solusi alternatif yang telah dilaporkan oleh berbagai studi sebagai non-inferior, ditoleransi dengan baik, dan relatif aman dibandingkan agen stimulasi eritropoiesis (ESA) khususnya untuk risiko kardiovaskular. Sediaan HIF-PHI dalam bentuk oral juga akan memudahkan dalam pemberiannya dibandingkan ESA dalam bentuk injeksi.

Saat ini, obat golongan HIF-PHI masih dalam tahap pengkajian dan belum disetujui penggunaannya oleh FDA Amerika Serikat maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. Golongan obat ini juga masih belum masuk dalam rekomendasi penanganan anemia renal oleh pedoman klinis.

Referensi