Modifikasi hormon yang disebabkan oleh penggunaan kontrasepsi hormonal sering dikaitkan dengan timbulnya depresi. Namun, sebetulnya seberapa signifikan peningkatan risiko depresi akibat pemakaian kontrasepsi hormonal?
Angka kejadian depresi pada orang dewasa berusia di atas 20 tahun di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 7%. Populasi wanita dilaporkan lebih rentan mengalami depresi, dengan risiko hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan pria. [1-3]
Di sisi lain, terdapat data yang menunjukkan bahwa prevalensi depresi pada perempuan di usia prepubertas hampir sama dengan anak laki-laki. Hal ini menjadi salah satu dasar hipotesis adanya pengaruh hormonal (estrogen dan progesteron) terhadap perkembangan depresi.[3,4]
Penelitian Anderl et al. pada tahun 2019 mengutarakan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal oral selama masa remaja akan meningkatkan risiko depresi sepanjang hidup dibandingkan mereka yang tidak pernah menggunakan. [5]
Tetapi, bukti ilmiah lain menghasilkan data yang bervariasi, mulai dari peningkatan risiko, tidak ada pengaruh, ataupun penurunan risiko. Hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal dengan depresi menjadi relevan untuk diketahui, terutama di Indonesia, karena data menunjukkan bahwa kontrasepsi hormonal merupakan jenis kontrasepsi yang paling banyak digunakan di Indonesia.[4,6]
Kaitan Antara Estrogen dan Depresi
Hormon ovarium berperan dalam modulasi persepsi emosional, regulasi mood, respon stres, dan kognitif.
Pada studi terhadap hewan, estrogen juga dilaporkan dapat memodulasi berbagai neurotransmitter seperti serotonin, dopamin, dan noradrenalin. Periode rendahnya estrogen (secara alami terjadi selama masa premenstrual dan fase akhir perimenopause), diduga dapat meningkatkan kerentanan mengalami depresi akibat terjadinya withdrawal dari modulasi pemrosesan emosi dan regulasi mood.[7,8,13]
Estradiol memodulasi sistem serotoninergik dan kolinergik yang bersinggungan dengan fungsi sistem regulasi dorsal. Disregulasi serotonin dan norepinefrin hingga saat ini dipercaya sebagai salah satu penyebab timbulnya gejala depresi.
Estradiol meningkatkan kadar norepinefrin sentral. Pada hewan coba yang dilakukan ovariektomi, setelah terjadi penurunan estradiol dan kembali ditambahkan estradiol, terjadi peningkatan reseptor serotonin di regio dorsal raphe nukleus, anterior frontal, dan cingulate.[7,9]
Kaitan Antara Progesteron dan Depresi
Kadar hormon steroid diketahui mempengaruhi sistem pencernaan. Kadar estrogen yang tinggi selama masa folikular akan meningkatkan peristaltik, dan kadar progesteron yang tinggi selama masa luteal berhubungan dengan konstipasi. Selain itu, progesteron juga mempengaruhi komposisi bakteri di sistem pencernaan dan reproduksi.
Terapi progesteron pada hewan coba didapatkan meningkatkan Lactobacillus spp. Bakteri ini dianggap memiliki efek antidepresan karena mampu meningkatkan ekspresi brain derived neurotrophic factor (BDNF) mRNA di hipokampus.
Penurunan kadar progesteron juga berkaitan dengan penurunan Lactobacillus spp., peningkatan respons inflamasi, dan downregulation ekspresi BDNF yang bisa meningkatkan risiko depresi.[10]
Hubungan Kontrasepsi Hormonal dengan Depresi
Beberapa kontrasepsi hormonal memiliki efek menurunkan kadar estrogen dengan mensupresi hypothalamic-pituitary-ovarian axis. Perubahan kadar estrogen inilah yang diduga mencetuskan episode depresi pada wanita yang memiliki faktor risiko. Wanita dengan gangguan depresi mayor diketahui memiliki kadar estradiol yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol.[3,8,11]
Penambahan progesteron pada kontrasepsi oral kombinasi dilaporkan meningkatkan efek samping gangguan mood pada mereka yang sebelumnya mengalami deteriorasi mood dan perubahan emosional akibat kontrasepsi. [3,11]
Mekanisme yang diduga menyebabkan efek ini adalah ikatan metabolit progesteron pada kompleks reseptor asam γ-aminobutyric A yang berperan dalam sistem inhibisi mayor di saraf pusat manusia.[3]
Seberapa Signifikan Peningkatan Risiko Depresi Akibat Pemakaian Kontrasepsi Hormonal
Sebuah penelitian kohort prospektif skala nasional dijalankan untuk mengamati lebih dari 1 juta wanita selama 14 tahun, dengan rentang usia 15-34 tahun di awal penelitian dan menggunakan kontrasepsi hormonal. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengguna kontrasepsi oral kombinasi mengalami peningkatan risiko penggunaan antidepresan pertama kali sebesar 1,2 jika dibandingkan dengan orang yang tidak menggunakan kontrasepsi hormonal.
Wanita yang menggunakan kontrasepsi progestin mengalami peningkatan risiko sebesar 1,3 kali; transdermal patch (norgestrolmin) peningkatan risiko 2 kali; implant peningkatan risiko 2,1 kali; levonorgestrel intrauterine system peningkatan risiko 1,4 kali; dan medroxyprogesterone acetate depot peningkatan risiko 2,7 kali.
Sementara itu, jika dibandingkan lama penggunaan kontrasepsi hormonal dengan risiko diagnosis depresi pertama kali, maka penggunaan kurang dari 1 bulan memiliki peningkatan risiko sebesar 1,2 kali. Lama penggunaan 1-2 bulan menghasilkan peningkatan risiko sebesar 1,3 kali; penggunaan 2-3 bulan peningkatan risiko 1,4 kali; dan mencapai puncak saat penggunaan selama 6 bulan dengan peningkatan risiko 1,5 kali.
Setelah penggunaan 6 bulan, risiko mengalami penurunan; yaitu penggunaan 6 bulan-1 tahun sebesar 1,2 kali; penggunaan 1-4 tahun sebesar 0,9 kali; penggunaan 4-7 tahun sebesar 0,8 kali; dan tidak terdapat perbedaan di penggunaan 7-10 tahun.[3]
Gangguan Mood akibat Kontrasepsi Hormonal
Studi lain, berupa uji klinis acak terkontrol multisenter yang melibatkan 202 wanita sehat, berusaha membandingkan efek samping gangguan mood pada penggunaan kontrasepsi oral kombinasi berisi 1,5 mg estradiol dan 2,5 mg nomegestrolacetateis dengan placebo.
Hasil studi menunjukkan hubungan yang kecil tetapi signifikan terhadap peningkatan gangguan cemas, iritabilitas, dan mood swing pada fase intermenstrual. Terkait depresi, penggunaan kontrasepsi oral kombinasi ditemukan signifikan memperbaiki pada fase premenstrual.
Analisis sekunder menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat gangguan mood terkait kontrasepsi hormonal sebelumnya, mengalami perburukan yang lebih signifikan pada fase intermenstrual dibandingkan wanita sehat. Walaupun demikian, studi ini menemukan bahwa deteriorasi mood yang ada tidak bermakna atau relevan secara klinis. [11]
Sebagai tambahan, substudi dari uji klinis ini juga menemukan bahwa depresi dan gangguan emosional yang muncul tidak berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal, melainkan lebih kepada baseline trait ansietas dan riwayat gejala psikiatri sebelumnya.[12]
Kesimpulan
Kadar hormon estrogen dan progesteron berperan dalam modulasi persepsi emosional, regulasi mood, respon stres, dan kognitif. Atas dasar inilah, penggunaan kontrasepsi hormonal diduga berkaitan dengan timbulnya atau memperparah depresi. Hasil sebuah studi kohort prospektif skala besar di Denmark mendukung hipotesis ini. Studi ini menemukan bahwa penggunaan kontrasepsi hormonal berkaitan signifikan dengan peningkatan risiko penggunaan antidepresan dan diagnosis depresi pertama kali.
Walaupun begitu, sebuah uji klinis multisenter yang lebih baru menemukan hasil sebaliknya. Uji klinis ini melaporkan bahwa deteriorasi mood yang berhubungan dengan konsumsi kontrasepsi hormonal tidak bermakna secara klinis. Substudinya melaporkan bahwa gangguan emosional yang muncul lebih berkaitan dengan baseline trait yang dimiliki pasien.
Masih diperlukan uji klinis yang lebih baik untuk menentukan apakah memang kontrasepsi hormonal berhubungan dengan depresi yang bermakna secara klinis, serta bagaimana karakteristik wanita yang lebih berisiko mengalami depresi terkait konsumsi kontrasepsi hormonal.
Pada praktik, akan penting untuk mengedukasi dan memantau manifestasi depresi pada pasien yang mengonsumsi kontrasepsi hormonal. Dalam hal evaluasi efek samping ini, dokter juga perlu mempertimbangkan riwayat gejala gangguan mood atau episode depresi yang dimiliki pasien sebelum menggunakan kontrasepsi hormonal agar bisa mendiskusikan pilihan terapi yang tepat.
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri