Kriteria BEERS Untuk Mencegah Adverse Drug Reaction Pada Lansia

Oleh :
dr.Ida Bagus Aditya Nugraha, M.Biomed, Sp.PD

Pemahaman kriteria BEERS pada lansia penting untuk diketahui oleh klinis dengan tujuan mencegah efek obat terhadap lansia. Kriteria BEERS secara khusus membahas obat-obatan yang biasanya diresepkan pada populasi umum, namun menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada pasien lansia. Sehingga, American Geriatric Society (AGS) membentuk pedoman obat-obatan yang aman digunakan untuk lansia.

Kriteria BEERS American Geriatric Society (AGS) merupakan sebuah kriteria yang dibuat oleh Dr. Mark Beers seorang ahli geriatri untuk pemahaman dan pengenalan terhadap efek obat yang berbahaya pada lansia telah digunakan secara luas oleh para dokter, peneliti, praktisi kesehatan, dan paramedis.

Kriteria BEERS Untuk Mencegah Adverse Drug Reaction Pada Lansia-min

Kriteria obat ini terbentuk oleh karena banyak misdiagnosa, pemberian obat yang tidak tepat, serta efek samping obat yang ditimbulkan pada pasien lansia. Berdasarkan studi yang dilakukan tahun 2016, 6 – 12% seluruh kasus rawat inap oleh lansia disebabkan oleh adverse drug reaction (ADR) oleh obat-obatan yang diresepkan.[1]

Pemberian obat yang tidak tepat dan tidak terindikasi ini seringkali meningkatkan risiko efek samping yang tidak diinginkan dibandingkan manfaat yang didapat. Sehingga dibutuhkan daftar obat-obatan acuan yang aman digunakan bagi  lansia dan mudah dimengerti oleh klinisi.[1,2]

Pertama kali diperkenalkan sejak tahun 2011, kemudian mengalami perubahan dan pembaharuan setiap tiga tahun sekali. Pada tahun 2019 AGS kembali mengeluarkan kriteria terbaru yang merupakan pembaharuan dari kriteria sebelumnya yaitu tahun 2015 yang disusun setelah hasil pertemuan dengan beberapa ahli dari berbagai multidisiplin.[2]

Pentingnya Memahami Efek Samping Pengobatan pada Lansia

Dalam pelaksanaan praktik kedokteran ataupun dalam pemberian obat-obatan tentunya mengutamakan aspek kepentingan dan keselamatan kepada pasien. Penggunaan modalitas pengobatan yang berlebih sering kali tidak tepat dan menimbulkan beberapa efek samping dan menyebabkan admisi ke Rumah Sakit.

Hal ini disebabkan oleh karena, pasien lansia menunjukkan respons berlebih pada pemberian obat-obatan golongan yang mempengaruhi sistem saraf pusat seperti benzodiazepin, anestetik serta opioid. Sedangkan terjadi penurunan respons pada obat-obatan kardiovaskular. Namun yang terpenting adalah penurunan ekskresi obat melalui ginjal.[1,3]

ADR yang ditimbulkan ditimbulkan adalah delirium (perubahan kesadaran), jatuh (falls), gangguan lambung (rasa tidak nyaman, luka atau ulkus lambung, bahkan gangguan saluran pencernaan, diare), penurunan kadar gula darah yang mendadak, sehingga dari pemaparan efek samping tersebut hendaknya menjadi salah satu dasar dan panduan dalam kita mengobati pasien lansia[1,2,4]. Keadaan ini yang menyebabkan ADR dan meningkatnya admisi Rumah Sakit pada grup lansia.

Perubahan BEERS Kriteria dari 2015 ke 2019

Target utama dalam penyusunan serta pembaharuan kriteria ini adalah para klinisi. Kriteria ini berlaku pada seluruh unit perawatan kecuali pada unit paliatif serta unit hospice.

Perbedaan pada kedua kriteria ini tercermin pada beberapa pengobatan yang dihilangkan, serta ada yang ditambahkan dan perubahan beberapa bukti klinis dari obat tersebut yang akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.

Obat Yang Dapat Dikonsumsi

Perubahan pertama pada penggunaan obat antagonist reseptor H-2 seperti cimetidine atau ranitidine,  pada kriteria sebelumnya telah diubah untuk kriteria 2019, di mana obat ini tidak dimasukkan lagi pada kriteria yang harus dihindari pada pasien dengan dementia atau gangguan kognitif, karena setelah dilakukan pengkajian pada bukti empiris, kajian literatur, tidak didapatkan sumber yang kuat. Namun penggunaan obat H-2 reseptor antagonis pada kondisi delirium masih tetap dalam kriteria harus dihindari.

Obat-obatan yang Dihindari

Penambahan pyrilamine dan methscopolamine sebagai dua kategori obat baru yang ditambahkan pada kriteria obat antikolinergik yang harus dihindari. Hal ini disebabkan oleh karena obat antikolinergik dapat menyebabkan dan menambah efek delirium pada pasien lansia. Beberapa contoh obat antikolinergik yang digunakan adalah oxybutinin yang digunakan untuk inkontinensia urine, ipratopium yang dipakai pada asma dan PPOK.

Perubahan ketiga adalah pada penggunaan beberapa obat terkait dengan kriteria obat pada sistem cardiovascular, bahwa terdapat rekomendasi untuk menghindari pemilihan digoxin dalam terapi lini pertama untuk fibrilasi atrium dan gagal jantung.

Perubahan keempat pada penggunaan obat atau insulin untuk penderita Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2) juga terdapat perubahan dengan penggunaan drip insulin secara sliding scale dan penggunaan sulfonylurea golongan glimepiride dengan risiko terjadi hipoglikemia yang berkepanjangan.

Perubahan kelima pada Beberapa obat-obatan seperti Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI) seperti fluoksetin, sertralin, citalopram, dan esitalopram, juga ditambahkan pada kriteria obat-obatan yang harus dihindari dan dipertimbangkan karena efek samping yang menyebabkan risiko jatuh serta fraktur.

Perubahan keenam pada pengobatan anti Parkinson seperti quetiapine, clozapine, dan pimavanserin mendapat perhatian untuk berhati berhati digunakan.

Perubahan ketujuh dengan pasien lansia dengan komorbiditas gagal jantung, penggunaan beberapa obat-obatan seperti penyekat kanal kalsium dan non dihidroperidin juga harus dihindari. Khususnya pada gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi.

Penggunaan golongan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) seperti golongan penghambat siklooksigenase 2 (COX-2) seperti celecoxib, valdecoxib, dan rofecoxib, tiazolidindione (TZD), serta dronedarone juga harus digunakan dengan pengawasan khusus pada lansia.

Perubahan kedelapan adalah penggunaan cilostazol juga harus dihindari pada lansia dengan gangguan fungsi jantung.[2]

Tabel 1. Rekomendasi Obat Sesuai Kriteria BEERS

Golongan dan Nama Obat Rational Rekomendasi

Antikolinergik :

Chlorpheniramine

Dyphenhydramine Oral

Memiliki efek antikolinergik yang tinggi. Efektivitas obat tidak diketahui. Hindari

Antispasmodik:

Belladonna alkaloids

Hyoscyamine

Scopolamine

Atropine

Memiliki efek antikolinergik yang tinggi. Efektivitas obat tidak diketahui. Hindari

Antithrombotik:

Dipiridamol

Dapat menyebabkan hipotensi ortostatik. Gunakan obat lain yang lebih efektif. Hindari

Alfa agonis Sentral:

Clonidin

 

 

 

 

Digoxin

 

 

Nifedipin

Risiko tinggi efek Sistem Saraf Pusat, dapat menyebabkan bradikardi dan hipotensi ortostatik

 

 

Digunakan pada gagal jantung

 

Berpotensi hipotensi dan risiko mencetuskan miokard infark

Hindari sebagai first-line therapy anti hipertensi

 

Tidak sebagai terapi rutin hipertensi

 

Hindari sebagai rate control pada atrial fibrilasi

 

Hindari

Benzodiazepines

Alprazolam

Estazolam

Lorazepam

 

Meningkatkan risiko kegagalan fungsi kognitif, delirium, jatuh, patah tulang, dan kecelakaan bermotor. Hindari

OAINS

Aspirin

Diclofenac

Ibuprofen

Asam mefenamat

Naproxen

Meningkatkan risiko perdarahan gastrointestinal atau ulkus peptikum pada grup risiko tinggi Hindari pemakaian kronik.

Sumber: dr. Aditya, 2019[2]

Penggunaan BEERS Kriteria dalam di Indonesia

Walaupun BEERS Kriteria dirumuskan dan dibuat di luar negeri, tidak berarti kriteria ini tidak dapat digunakan di Indonesia. Beberapa pakar farmakologi dan paramedis telah melakukan penelitian pada 25 fasilitas kesehatan tahap pertama (FKTP). Data dikumpulkan dari Januari - Desember 2014 dengan total 3819 subyek yang diikutsertakan dalam studi tersebut. Studi ini melaporkan terjadinya potentially inappropriate medication (PIM) dengan prevalensi yang cukup tinggi (52.2%) diantara populasi lansia yang berkunjung ke Puskesmas dalam setahun terakhir tersebut.

Didapatkan beberapa jenis obat yang tidak tepat dalam peresepan seperti: chlorpheniramine, asam mefenamat, ibuprofen, dan nifedipine pada lansia. Adapun beberapa hal yang menyebabkan menyebabkan hal ini adalah usia, jenis penyakit dasar,  atau ada tidaknya komorbiditas sehingga menyebabkan pasien harus mendapatkan banyak pengobatan.

Penelitian ini menjadi dasar bahwa di Indonesia khususnya masih memiliki pemahaman yang kurang baik mengenai penggunaan kriteria BEERS ini, sehingga diharapkan ke depan baik dari dokter, paramedis, tim farmasi, dan yang lain termasuk keluarga pasien serta pasien itu sendiri dapat memahami pentingnya memahami penggunaan Kriteria AGS BEERS ini sehingga dalam pengobatan lansia ke depan menjadi lebih baik dan meminimalisasi kejadian PIM.[5,6]

Kesimpulan

Pemberian obat-obatan pada lansia krusial diketahui setiap klinis yang bekerja di unit kegawatdaruratan, unit rawat jalan maupun perawatan intensif. Pemberian obat yang tidak tepat dan tidak sesuai indikasi sering kali menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan.

Pemberian obat yang tidak tepat dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan atau adverse drug reaction seperti perdarahan saluran cerna, gastritis erosif, mual dan muntah, hipotensi, bradikadi, penurunan fungsi ginjal, ketidakseimbangan elektrolit sampai perubahan status mental (delirium) yang meningkatkan admisi lansia ke rumah sakit.

Berdasarkan kriteria BEERS terdapat beberapa obat yang perlu dihindari oleh pasien lansia sebagai contoh : chlorpheniramine, asam mefenamat, ibuprofen, dan nifedipine. Berdasarkan hasil studi, keempat obat ini merupakan obat yang tersering di resepkan untuk pasien lansia di Indonesia. Sehingga, lebih baik obat ini dihindari peresepan pada lansia melihat efek yang akan ditimbulkan.

Kriteria BEERS membantu klinisi memberikan terapi yang aman, terapi yang tepat untuk mencegah timbulnya efek samping obat yang tidak diinginkan dan mengurangi potentially inappropriate medication pada lansia.

Referensi