Terapi untuk Supresi Laktasi

Oleh :
dr. Anastasia Feliciana

Supresi laktasi merupakan terapi yang diperlukan pada berbagai kasus medis, misalnya pada ibu dengan bayi yang mengalami intrauterine fetal death (IUFD). Terapi supresi laktasi bisa dilakukan dengan pendekatan non-famakologi maupun farmakologi.[1,2]

Indikasi Terapi Supresi Laktasi

Terapi supresi laktasi bisa diperlukan pada ibu yang mengalami keguguran, intrauterine fetal death (IUFD), ataupun stillbirth. Terapi supresi laktasi juga diperlukan apabila ibu memiliki kondisi medis yang menyebabkan dirinya tidak bisa menyusui, misalnya pada ibu yang sedang menjalani terapi kanker payudara atau memiliki tuberkulosis paru yang belum diterapi. Indikasi lain dari terapi supresi laktasi adalah jika bayi mengalami galaktosemia atau ibu tidak mau menyusui.[1,2]

Mother,Breastfeeding,Her,Newborn,Baby,Beside,Window.,Milk,From,Mom’s

Pilihan Terapi Non-Farmakologi untuk Supresi Laktasi

Dahulu, metode non-farmakologi yang digunakan untuk supresi laktasi mencakup mengikat atau menekan payudara, mengosongkan payudara dengan metode pijat, restriksi diet dan cairan, hingga pengolesan salep beladona pada payudara dan puting. Saat ini, metode non-farmakologi yang digunakan meliputi penghindaran rangsang taktil pada payudara dan pengaplikasian agen eksternal pada payudara seperti ice pack, bunga melati dan daun kubis.

Sayangnya, efikasi dan keamanan dari metode-metode non-farmakologi ini tidak memiliki basis bukti ilmiah. Selain itu, telah dilaporkan bahwa setidaknya 30% pasien masih mengalami nyeri payudara yang berat di minggu pertama post-partum jika supresi laktasi dilakukan dengan pendekatan non-farmakologi.[1,2]

Pilihan Terapi Farmakologi untuk Supresi Laktasi

Dahulu, supresi laktasi dilakukan dengan pemberian sediaan estrogen tunggal atau kombinasi dengan androgen. Meski begitu, rebound lactation sering terjadi ketika terapi dihentikan dan dilaporkan ada peningkatan risiko trombosis dan emboli paru.[1,2]

Bromocriptine

Setelah diketahui laktasi dipengaruhi oleh sekresi prolaktin oleh kelenjar pituitari, digunakan obat golongan agonis dopamin sintetik dan inhibitor prolaktin kuat, yaitu bromocriptine. Pemberian bromocriptine dilakukan selama 10-14 hari untuk mencegah rebound lactation. Meski demikian, bromocriptine telah dikaitkan dengan efek samping kardiovaskular seperti infark miokard yang menyebabkan kematian ibu.

Di Amerika Serikat, Food and Drug Administration (FDA) melarang penggunaan rutin bromocriptine sebagai terapi supresi laktasi hingga ada kejelasan terkait keamanan dan manfaat terhadap kesehatan. Di berbagai negara lain, bromocriptine masih untuk terapi supresi laktasi.[1-3]

Dosis, Efikasi, dan Aspek Keamanan Obat:

Berbagai uji klinis skala kecil terdahulu mengindikasikan bahwa konsumsi bromocriptine 2,5 mg 1-3 kali sehari (umumnya 2 kali sehari) selama 14 hari, efektif dalam terapi supresi laktasi dan menyebabkan penurunan serum prolaktin signifikan, tanpa atau hanya sedikit temuan bengkak payudara. Penggunaan bromocriptine ini juga dikaitkan dengan pencegahan demam akibat bengkak payudara post-partum.

Sayangnya, di beberapa negara yang menggunakan bromocriptine untuk supresi laktasi terdapat laporan efek samping fatal seperti serebral angiopati, stroke, kejang dan infark miokard.[1-3]

Cabergoline

Saat ini, bromocriptine telah banyak digantikan dengan cabergoline. Cabergoline diberikan dalam dosis tunggal 1 mg, dikonsumsi pada hari pertama post-partum. Efek samping yang sering ditemukan adalah mual, nyeri kepala, dan pusing. Keterbatasan cabergoline yang perlu diperhatikan adalah sulitnya mengembalikan produksi ASI jika nantinya ibu berubah pikiran dan ingin menyusui.[2]

Tinjauan sistematik yang mengevaluasi hasil dari 6 uji klinis acak terkontrol mencoba menilai efikasi dan keamanan carbegoline. Tinjauan ini melibatkan total 693 partisipan dengan dosis carbegoline pada studi yang dievaluasi berkisar 0,4 mg hingga 1 mg, diberikan mulai 0-50 jam post-partum dan dibandingkan dengan bromocriptine.

Hasil tinjauan ini menunjukkan bahwa carbegoline tidak lebih inferior dibanding bromocriptine untuk supresi laktasi. Kesuksesan supresi laktasi yang paling besar dilaporkan didapat pada dosis cabergoline 1 mg yang mulai diberikan pada hari ke 0-1 post-partum.[4]

Tinjauan Cochrane Mengenai Efikasi Terapi Supresi Laktasi Non-Farmakologi dan Farmakologi

Tinjauan sistematik Cochrane yang dilakukan oleh Oladapo dan Fawole mengevaluasi hasil dari 62 uji klinis acak terkontrol dengan 6.428 partisipan. Terdapat 7 uji klinis acak terkontrol (107 partisipan) yang menunjukkan bahwa pemberian bromocriptine dapat mengurangi proporsi laktasi secara signifikan dibandingkan tanpa terapi dalam 7 hari pertama post-partum.

Dalam tinjauan ini juga terdapat 7 studi yang memakai sediaan estrogen. Hasil analisis menunjukkan bahwa pemakaian obat-obatan tersebut mengurangi proporsi wanita laktasi secara signifikan dibandingkan tanpa terapi dalam 7 hari pertama post-partum.

Dari tinjauan ini juga terdapat 3 uji acak terkontrol (436 wanita) yang membandingkan kombinasi estradiol valerat-testosteron enantat dengan plasebo dalam supresi laktasi. Dari ketiga studi tersebut ditemukan bahwa kombinasi estrogen dan androgen efektif dalam supresi laktasi dalam 7 hari pertama post-partum. Tidak ditemukan adanya kejadian tromboembolisme selama intervensi.

Tinjauan sistematik ini juga melibatkan uji acak terkontrol yang membandingkan plasebo dengan prostaglandin E2, oksitosin, prekursor dopamin, maupun sediaan homeopatik dengan kandungan anti-inflamasi dan analgesik. Dari studi-studi tersebut disimpulkan bahwa golongan obat tersebut tidak efektif dalam terapi supresi laktasi bila dibandingkan dengan plasebo.

Secara garis besar, tinjauan Cochrane ini menyimpulkan bahwa bukti yang tersedia mengenai efikasi terapi farmakologi untuk supresi laktasi masih lemah. Sementara itu, belum ada bukti untuk menunjukkan apakah pendekatan non-farmakologi lebih efektif daripada tanpa terapi.[1]

Edukasi Pasien Untuk Terapi Supresi Laktasi

Seperti telah dicantumkan di atas, saat ini bukti yang ada masih belum cukup untuk menyatakan terapi supresi laktasi mana yang paling direkomendasikan dan paling aman. Pada ibu yang memerlukan supresi laktasi, dokter perlu melakukan diskusi mengenai aspek efikasi dan risiko dari masing-masing pilihan terapi.[1,2]

Untuk meningkatkan kenyamanan ibu selama supresi laktasi, beberapa langkah berikut dapat dilakukan:

  • Apabila payudara bengkak atau tegang, sarankan ibu untuk mengeluarkan ASI sedikit demi sedikit namun jangan mengosongkannya
  • Anjurkan aplikasi cold gel pack di dalam bra atau kompres dingin setelah mandi untuk mengurangi nyeri dan bengkak setiap 2 jam atau sesuai kebutuhan sampai payudara tidak terasa terlalu penuh
  • Saat tidur, anjurkan pasien berbaring miring dengan bantal ekstra mendukung payudara
  • Obat pereda nyeri dapat digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan
  • Sarankan ibu untuk menggunakan baju dan bra yang nyaman
  • Ketika payudara menjadi kemerahan, teraba hangat, atau disertai demam atau gejala seperti flu, minta pasien untuk datang ke dokter karena mungkin terjadi mastitis atau blocked ducts[5]

Kesimpulan

Saat ini, bukti yang tersedia masih kurang untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan berbagai pilihan terapi supresi laktasi, baik farmakologi maupun non-farmakologi. Bromocriptine telah ditarik dari peredaran di beberapa negara karena masalah keamanan, termasuk kematian. Cabergoline dapat digunakan tetapi potensi efek samping harus didiskusikan dengan pasien. Masih diperlukan uji klinis acak terkontrol skala besar untuk memastikan efikasi dan keamanan berbagai pendekatan terapi supresi laktasi dibandingkan tanpa terapi.

Referensi