Temuan Fitur Dasar tentang Long COVID – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

A Longitudinal Study of COVID-19 Sequelae and Immunity: Baseline Findings

Sneller MC, Liang CJ, Marques AR, Chung JY, Shanbhag SM, Fontana JR, Raza H, Okeke O, Dewar RL, Higgins BP, Tolstenko K. A longitudinal study of COVID-19 sequelae and immunity: baseline findings. Annals of Internal Medicine. 2022 May. PMID: 35605238

Abstrak

Latar Belakang: Terdapat beberapa kasus dengan jumlah signifikan mengenai pasien COVID-19 yang mengalami gejala persisten setelah kejadian COVID-19 akut. Berbagai mekanisme patofisiologi diduga menjadi dasar patogenesis gejala sisa infeksi SARS-CoV-2 post-akut.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Tujuan: Menilai gejala sisa dan persisten setelah pemulihan dari COVID-19 dalam studi kohort terhadap penyintas dan kontrol.

Desain: Studi kohort.

Lokasi: National Institutes of Health Clinical Center, Bethesda, Maryland, Amerika Serikat

Peserta: Pasien dewasa yang datang dengan riwayat terkonfirmasi infeksi SARS-CoV-2 setidaknya 6 minggu setelah onset gejala, dengan atau tanpa gejala sisa post-akut.Grup kontrol terdiri dari orang tanpa riwayat penyakit COVID-19 atau terkonfirmasi infeksi SARS-CoV-2 secara serologi tanpa memandang status kesehatannya. Kedua grup diikutkan dalam penelitian dalam rentang waktu dan berasal dari area geografis yang sama.

Pengukuran: Seluruh subjek penelitian mengalami evaluasi yang sama tanpa memandang gejala, terdiri dari pemeriksaan fisik, laboratorium dan kuesioner, uji fungsi kognitif, evaluasi kardiopulmoner, imunologi, dan virologi.

Hasil: Terdapat 189 subjek penelitian dalam grup terkonfirmasi COVID-19 (12% dirawat inap selama fase akut) dan 120 dalam grup kontrol. Gejala sisa infeksi SARS-CoV-2 post-akut ditemukan pada 55% grup terkonfirmasi COVID-19 dan 13% grup kontrol. Peningkatan risiko gejala sisa ditemukan pada perempuan dan pada pasien dengan riwayat penyakit ansietas. Kualitas hidup yang lebih rendah ditemukan pada pasien yang mengalami gejala sisa COVID-19 post-akut. Kadar antibodi terhadap protein spike ditemukan negatif pada 27% subjek grup COVID-19 yang belum divaksinasi dan pada seluruh subjek grup COVID-19 yang sudah divaksinasi. Tidak ditemukan adanya bukti keterkaitan antara infeksi persisten virus, autoimun, dan aktivasi imun abnormal dengan insidensi gejala sisa COVID-19.

Kesimpulan: Insidensi gejala persisten ditemukan tinggi pada pasien setelah COVID-19. Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan diagnostik secara ekstensif tidak dapat menemukan penyebab spesifik terjadinya gejala tersebut. Kadar antibodi sangat bervariasi pada pasien dengan riwayat COVID-19.

Temuan Fitur Dasar tentang Long COVID-19-min Ralf Liebhold, Shutterstock, 2022.

Ulasan Alomedika

Jurnal ini meneliti insidensi gejala sisa yang terjadi pada pasien dengan riwayat COVID-19 sebagai subjek penelitian. Gejala sisa yang diteliti pada jurnal ini bukan hanya gejala medis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, namun juga gejala kesehatan mental pada penyintas. Jurnal ini bertujuan untuk menilai insidensi gejala sisa serta pengaruhnya terhadap kualitas hidup penyintas secara lebih objektif dan menyeluruh, di mana penelitian sebelumnya hanya dilakukan dengan mengandalkan data rekam medis.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian dilakukan secara kohort terhadap grup COVID-19 yang terdiri dari pasien dewasa dengan riwayat terkonfirmasi infeksi SARS-CoV-2 melalui laboratorium dan berada pada masa setidaknya 6 minggu setelah onset gejala COVID-19, tidak mengalami demam dalam 7 hari sebelum studi, dan tidak mengalami gejala pernafasan yang sedang memburuk. Grup kontrol terdiri dari orang yang belum pernah dan tidak sedang terkonfirmasi infeksi SARS-CoV-2 tanpa memandang status kesehatan, usia, jenis kelamin, ras, maupun variabel lainnya.

Setiap subjek penelitian menjalani evaluasi meliputi anamnesis, termasuk riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis, peneliti menanyakan pertanyaan gejala spesifik pada kedua grup. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium rutin, terdiri dari darah rutin, D-dimer, C-reactive protein, rheumatoid factor, antinuclear antibody, anticardiolipin antibody, tropinin I, pro-B type natriuretic peptide, imunoglobulin serum, antibodi SARS-CoV-2, dan parameter imunologis lainnya, pemeriksaan neurokognitif, uji fungsi paru, 6-minute walk test, serta echocardiography. Selain itu, subjek penelitian diminta untuk mengisi beberapa kuesioner untuk menilai kualitas hidup, ansietas, dan depresi. Seluruh data dianalisis secara statistik untuk mengetahui korelasi antar variabel.

Variabel yang dinilai cukup dapat menggambarkan kondisi subjek penelitian secara menyeluruh, tidak hanya kondisi fisik dan mental, namun juga kualitas hidup penyintas COVID-19 akibat gejala persisten.

Ulasan Hasil Penelitian

189 subjek penelitian dengan riwayat terkonfirmasi infeksi SARS-CoV-2 dan 122 kontrol tanpa riwayat terkonfirmasi infeksi sebelumnya menjadi peserta penelitian. 88% subjek dari grup COVID-19 tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Antibodi terhadap nucleocapsid protein SARS-CoV-2 terdeteksi pada 159 subjek penelitian dari grup COVID-19. Keluhan gejala sisa yang paling banyak dirasakan adalah lelah, sesak napas, parosmia, gangguan konsentrasi, sakit kepala, gangguan memori, insomnia, rasa tidak nyaman di dada, serta ansietas.

Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan berbeda secara statistik antara kedua grup dan tidak berhubungan dengan gejala sisa yang dialami. Selain itu, pemeriksaan penunjang, baik laboratorium maupun uji fungsi organ, juga tidak menemukan perbedaan yang berarti antara kedua grup, kecuali 6-minute walk test, di mana median jarak yang ditempuh grup COVID-19 (560 meter) lebih pendek bila dibandingkan dengan kontrol (595 meter).

Perempuan (OR 2,34; 95% CI: 1,25 – 4,41) dan riwayat ansietas sebelumnya (OR 2,78; 95% CI: 1,35 – 5,98) merupakan faktor risiko insidensi gejala sisa COVID-19 yang paling signifikan dibandingkan variabel lainnya. Tidak ditemukan hubungan secara statistik antara hasil pemeriksaan penunjang, termasuk 6-minute walk test, dengan insidensi gejala sisa COVID-19. Pemeriksaan neurokognitif juga tidak menemukan perbedaan antara kedua grup dan hubungan antara hasil pemeriksaan dan insidensi gejala sisa.

Kualitas hidup didapatkan lebih rendah pada grup COVID-19 bila dibandingkan dengan kontrol, dimana nilai kuesioner kualitas hidup yang rendah terkait dengan insidensi gejala sisa. Selain itu, adanya ansietas dan depresi didapatkan lebih tinggi secara signifikan pada grup COVID-19, di mana nilai kuisioner ansietas (OR 7,97; 95% CI: 2,23 – 43,62) yang lebih tinggi terkait dengan insidensi gejala sisa.

Pada uji imunologis dan virologi, pemeriksaan sebagian besar variabel tidak menunjukkan adanya perbedaan secara signifikan antara kedua grup maupun keterkaitannya dengan insidensi gejala sisa, kecuali pada kadar granzyme B dan frekuensi CD4+ T-cell cluster 6 yang lebih tinggi secara statistik pada grup COVID-19. Namun, tidak ditemukan hubungan antara kedua variabel tersebut dengan kejadian gejala sisa.

Pada uji serologi dengan subjek pada grup COVID-19 yang tidak divaksin COVID-19 sebelumnya, median percentage inhibition value berada pada 61,5%, di mana 27% subjek mendapatkan hasil antibodi negatif, meskipun hasil ini tidak berkaitan secara statistik dengan onset gejala. Pada subjek yang menerima vaksinasi setelah infeksi SARS-CoV-2, didapatkan hasil antibodi positif dengan nilai percentage inhibition value yang jauh lebih tinggi (>85%) bila dibandingkan dengan subjek yang tidak divaksin (mean difference 40,3%; 95% CI: 34,8% - 45,6%). Tidak ada analisis mengenai hubungan hasil uji serologi dengan insidensi gejala sisa.

Kelebihan Penelitian

Kelebihan utama dari penelitian ini adalah penggunaan evaluasi diagnostik yang menyeluruh terhadap subjek penelitian. Evaluasi diagnostik, mulai dari pemeriksaan laboratorium rutin, imunologis, virologi, hingga serologis, pemeriksaan uji fungsi organ, serta penapisan mengenai kualitas hidup, ansietas, dan depresi. Penggunaan evaluasi diagnostik ini tidak hanya dapat memberikan gambaran lengkap mengenai kondisi kesehatan subjek penelitian dari kedua grup, namun juga dapat menilai hubungan kondisi kesehatan subjek, baik fisik, mental, hingga kualitas hidup, dengan kejadian gejala sisa COVID-19.

Kelebihan lainnya dari penelitian ini adalah metode penelitian kohort yang melibatkan kontrol. Penelitian ini melibatkan subjek penelitian tanpa riwayat terkonfirmasi COVID-19 sebelumnya dengan tetap mempertimbangkan karakteristik demografi dan usia yang serupa dengan subjek penelitian pada grup COVID-19. Adanya kontrol pada penelitian ini memberikan ruang bagi peneliti untuk membandingkan temuan pemeriksaan dari kedua grup dan menemukan hubungannya dengan insidensi gejala sisa COVID-19.

Limitasi Penelitian

Limitasi dari penelitian ini adalah sebagian besar subjek penelitian dalam grup COVID-19 bergejala ringan hingga sedang, sehingga tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit. Kurangnya keterlibatan subjek penelitian yang dirawat di rumah sakit dapat menyebabkan kurang tergambarnya gejala sisa berat yang mungkin akan dialami oleh pasien COVID-19 berat. Selain itu, kejadian gejala sisa yang telah membaik sebelum penelitian ini dimulai tidak masuk ke dalam hasil penelitian, meskipun hal ini tidak disampaikan dalam jurnal sebagai faktor eksklusi.

Penelitian ini juga tidak melibatkan jumlah sampel yang cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 189 subjek dari grup COVID-19. Sehingga hasil penelitian mungkin kurang mewakili nilai insidensi gejala sisa COVID-19 sesungguhnya pada COVID-19.

Terkait dengan perekrutan subjek penelitian, terdapat kemungkinan adanya bias dalam analisis insidensi gejala sisa pada grup COVID-19, di mana meskipun penelitian ini menerima setiap pasien dengan riwayat COVID-19 dengan atau tanpa gejala sisa, motivasi pasien dengan gejala sisa mungkin lebih tinggi untuk ikut dalam penelitian dan dapat mempengaruhi hasil perhitungan insidensi.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Di Indonesia, prevalensi long COVID-19 belum diteliti secara pasti akan tetapi berdasar ada bukti-bukti anekdotal mengenai gejala berkepanjangan setelah infeksi pertama COVID-19.

Sebagai negara dengan angka kesakitan akibat pandemi COVID-19 tinggi, hasil penelitian ini dapat diterapkan di Indonesia. Selain itu, ras Asia juga terwakili dengan proporsi yang cukup dalam penelitian ini. Hal penting yang bisa diambil dari penelitian ini adalah pemeriksaan diagnostik secara intensif tidak mengungkapkan penyebab spesifik dari gejala yang dilaporkan dalam banyak kasus. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang dibatas secara jelas dan bersifat spesifik pada pasien dengan gejala kronis COVID-19.

Dibutuhkan penelitian dengan dengan metodologi yang lebih baik untuk lebih memahami long COVID-19. Beberapa hal yang harus ditelaah adalah definisi long COVID-19, kelompok pasien berisiko, kriteria diagnostik, dan manajemen dari long COVID-19. Di Indonesia, diperlukan pemahaman yang lebih baik mengenai epidemiologi long COVID-19.

Referensi