Telekonsultasi pada Rehabilitasi Adiksi

Oleh :
dr. Adrian Prasetio

Meskipun telekonsultasi pada manajemen dan rehabilitasi adiksi dapat bermanfaat bagi klinisi dan pasien, tetapi penggunaannya masih sekitar <1%. Persentase ini yang terendah di antara pelayanan telekonsultasi kesehatan lain. Hal ini karena terdapat beberapa kekhawatiran dalam telekonsultasi pelayanan adiksi, sehingga dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mempelajari manfaat dan hambatan telekonsultasi pada manajemen adiksi.[1,2]

Sekilas Mengenai Telekonsultasi

Telekonsultasi adalah bagian dari telemedicine, yaitu pemberian layanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Layanan ini meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan, penelitian, evaluasi, serta edukasi penyakit. Telekonsultasi dilakukan untuk meningkatkan kesehatan individu serta masyarakat.[3]

Telekonsultasi pada Rehabilitasi Adiksi-min

Di Indonesia, penggunaan teknologi maupun gawai mutakhir semakin meningkat pesat. Kondisi ini meningkatkan akses pelayanan kesehatan daring. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2020, total pengguna internet >50% dari penduduk, yaitu sekitar 196 juta jiwa. Sedangkan Data Badan Pusat Statistik menunjukkan penetrasi internet pada rumah tangga meningkat 78,18% seiring dengan pembatasan aktivitas masyarakat selama pandemi.[3,4]

Perkembangan Telekonsultasi Kesehatan di Indonesia

Telekonsultasi kesehatan telah diatur sejak tahun 2019 melalui Permenkes No. 20 tahun 2019. Pandemi COVID-19 pada tahun 2020 mempercepat implementasi telekonsultasi tersebut. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) memberikan dukungan berupa Surat Edaran Menteri Kesehatan No. 303 tahun 2020 yang menjadi pijakan bagi manajemen pelayanan kesehatan untuk fokus dalam mengembangkan layanan telekonsultasi.[3,4]

Seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan masyarakat agar lebih banyak di dalam rumah, telemedicine semakin luas memberikan berbagai pelayanan kesehatan. Selain telekonsultasi, telemedicine juga meliputi teleradiologi, tele-elektrokardiografi, telepatologi, dan telefarmasi. [3,4]

Telekonsultasi Rehabilitasi Adiksi

Program telekonsultasi mungkin berbeda-beda, tetapi memiliki konsep yang sama. Demikian pula pada rehabilitasi adiksi, pasien bisa mengakses terapi dan konseling dari tempat masing-masing tanpa harus bertemu langsung dengan dokternya. Beberapa teknologi telekonsultasi adalah pesan teks, videoconferencing, dan aplikasi gawai. Pasien dapat menggunakan akses berbasis telepon, internet, atau dunia virtual.[1]

Faktor Pendukung Telekonsultasi

Layanan telekonsultasi yang baik dapat dijalankan jika terdapat perangkat yang mendukung, di antaranya koneksi internet yang lancar, gawai dengan kemampuan audiovisual yang mumpuni, dan sarana aplikasi atau jaringan yang memudahkan pasien dan klinisi. Oleh karena itu, keuntungan telekonsultasi tergantung pada kondisi pasien dan penyedia layanan.[5]

Indikasi Pasien Rehabilitasi Adiksi dapat Melakukan Telekonsultasi

Agar telekonsultasi berjalan optimal, maka pasien dengan adiksi harus tidak memiliki gejala akut, seperti intoksikasi atau gejala putus obat. Umumnya pasien yang menjalani telekonsultasi adalah pasien yang sudah dalam terapi rumatan. Beberapa pertimbangan sebelum memulai telekonsultasi adalah penilaian klinisi bahwa telekonsultasi bisa dilakukan, informed consent dari pasien, serta teknologi yang mendukung telekonsultasi baik dari pasien maupun klinisi.[2]

Keuntungan Telekonsultasi Rehabilitasi Adiksi

Beberapa penelitian mengenai telekonsultasi menemukan bahwa layanan ini bisa meningkatkan hubungan dokter dengan pasien. Pasien dapat lebih mudah mengakses pelayanan kesehatan dan menjalani rehabilitasi adiksi.[2,5]

Telekonsultasi juga membantu mencapai kepuasan terapi, membangun aliansi terapeutik, dan mempertahankan pasien untuk tetap berobat. Pada masa pandemi COVID-19, Departemen Kesehatan Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan untuk memberikan dosis metadon harian selama 28 hari pada pasien stabil, kemudian observasi dilakukan secara telekonsultasi, baik dengan video maupun telepon.[2,8]

Penelitian Eibl et al di Amerika Serikat membandingkan kelompok pasien ketergantungan opioid yang menjalani rehabilitasi tatap muka, telekonsultasi, dan campuran. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pasien yang menjalani telekonsultasi lebih patuh terhadap pengobatan daripada dengan tatap muka. Telekonsultasi juga lebih bisa menjangkau daerah pinggir kota dan daerah terpencil.[5,9]

Faktor yang mendukung kepatuhan pasien tersebut adalah:

  • Waktu yang lebih fleksibel, termasuk pasien tidak harus pergi berkendara dan mengantri sehingga menurunkan waktu tunggu pasien
  • Privasi pasien yang lebih terjamin, terutama bagi pasien yang tidak mau terlihat datang ke klinik rehabilitasi adiksi
  • Biaya yang dikeluarkan lebih rendah karena pasien tidak perlu bepergian, terutama pasien yang memiliki anak atau kesulitan dalam bepergian[5,6]

Telekonsultasi terhadap pasien di rumah juga memberikan kesempatan kepada klinisi/dokter untuk melihat kondisi rumah dan lingkungan pasien. Kesempatan ini dapat menambah catatan penting demi keberhasilan program rehabilitasi.[5,6]

Tantangan dan Kendala Telekonsultasi Rehabilitasi Adiksi

Meskipun telekonsultasi memiliki beberapa keuntungan, tetapi terdapat beberapa kendala dalam menjalankan pelayanan yang optimal. Kendala yang utama adalah keterbatasan faktor pendukung, di antaranya akses atau koneksi internet, kualitas audiovisual, dan ruangan privasi. Selain kendala dari faktor pasien, tantangan telekonsultasi rehabilitasi adiksi dapat juga berasal dari faktor dokter dan etikolegal terkait rekam medis pasien.

Akses atau Koneksi Internet

Tidak semua tempat memiliki akses internet yang baik. Koneksi yang buruk menghambat layanan dan mengurangi rapport terhadap pasien. Kondisi ini menjadi kendala terutama pada pasien di daerah perifer atau terpencil.[6]

Kualitas Audiovisual

Penggunaan audio dan video dalam telekonsultasi akan membantu klinisi mengobservasi ekspresi wajah dan nada bicara. Akan tetapi, kondisi di Indonesia ini masih menjadi tantangan karena keterbatasan memiliki perangkat yang mendukung audio visual optimal.[6]

Ruangan Privasi

Pasien yang tidak memiliki rumah, terisolasi, kurang terpapar teknologi, atau tidak memiliki ruang privat akan kesulitan saat menjalani pelayanan daring. Tipe pasien ini mungkin lebih cocok untuk pemeriksaan tatap muka. Demikian pula pada pasien anak atau berperilaku hiperaktif yang sulit duduk diam, mungkin akan membutuhkan ruang tenang dan supervisi.[6]

Akan tetapi, di Indonesia sebagian besar telemedicine dilakukan menggunakan text teks, sehingga memiliki privasi yang lebih baik bagi pengguna.

Faktor Klinisi atau Dokter

Klinisi yang menjalankan telekonsultasi dapat mengalami masalah kesehatan, di antaranya  waktu di depan monitor yang lama bisa menyebabkan computer vision syndrome, kelelahan atau kaku otot, hingga low back pain.[7]

Computer vision syndrome merupakan sekelompok masalah mata dan penglihatan akibat penggunaan gawai yang lama. Kondisi ini mungkin diperparah dengan posisi duduk yang terlalu dekat, pencahayaan yang terlalu kuat, atau gangguan penglihatan sebelumnya. Upaya pencegahannya bisa menggunakan aturan 20-20-20, yaitu istirahat 20 detik untuk melihat sesuatu sejauh 20 kaki setiap 20 menit.[7]

Faktor Etikolegal

Dari sisi etikolegal, hambatan dalam telekonsultasi adalah kerahasiaan data atau rekam medis pasien. Hubungan kedokteran sangat menjunjung tinggi etika profesi. Kerahasiaan data pasien bisa menjadi masalah serius apabila bocor kepada pihak yang tidak berwenang, misalnya ketika gawai klinisi diretas atau hilang.[2,5,10]

Oleh karena itu, aplikasi kesehatan seperti Alodokter dan Alomedika yang telah tersertifikasi protokol keamanan ISO 27001 lebih aman digunakan, karena didesain khusus untuk telekonsultasi dengan protokol keamanan yang ketat. Informasi pribadi pasien dijamin dan disimpan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia.

Masalah lain dari aspek legal adalah peresepan obat yang terkontrol, misalnya golongan benzodiazepine. Terutama jika ada perbedaan peraturan hukum lokal pada tempat tinggal dokter dan pasien. Di Indonesia, benzodiazepine termasuk obat yang dilarang diresepkan secara daring berdasarkan ketentuan dari BPOM (badan pengawas obat dan makanan).[2,5,10]

Apotek atau instalasi farmasi yang memberikan psikofarmaka harus merupakan bagian dari fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) tempat dokter yang meresepkan bekerja. Karena bukan merupakan Fasyankes, platform digital pendukung kesehatan seperti Alodokter tidak dapat melakukan peresepan benzodiazepine.[10,11]

Kondisi Emergensi

Pada pemeriksaan tatap muka, klinisi umumnya sudah memiliki referensi kontak darurat apabila diperlukan. Hal ini mungkin sulit terwujud ketika klinisi dan pasien tidak berada pada tempat yang sama. Pada pemeriksaan pasien khusus, misalnya dalam keperluan forensik, klinisi sebaiknya mengetahui beberapa kontak yang penting, misalnya kepolisian, anggota keluarga, atau orang terdekat pasien.[6]

Wawancara sebaiknya dimulai dengan penilaian risiko, yaitu memeriksa koneksi internet, memastikan apakah ada orang lain yang mendengar pasien, dan memastikan pasien melihat serta mendengar klinisi dengan baik.[6]

Faktor Distraksi

Tidak semua pasien merasa nyaman ketika klinisi merekam sesi wawancara. Pasien bisa merasa cemas dan berusaha mengatur penampilannya, terutama dalam pemeriksaan forensik dan hukum.[6]

Beberapa pasien dapat merasa lebih nyaman dengan audio saja dan tidak terdistraksi dengan wajahnya atau wajah terapis. Namun mungkin juga ada pasien yang merasa tidak diperhatikan apabila klinisi tidak menampilkan video. Pada kasus ini keinginan pasien harus dipertimbangkan untuk membina hubungan baik.[6]

Kesimpulan

Telekonsultasi adalah suatu terobosan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan melalui media daring. Tujuan telekonsultasi adalah untuk memudahkan pelayanan kesehatan, baik bagi pasien maupun klinisi/dokter. Namun, telekonsultasi pada manajemen dan rehabilitasi adiksi masih sedikit, karena ada beberapa kekhawatiran dalam pelayanannya.

Pasien yang dapat menjalani rehabilitasi adiksi secara daring adalah pasien yang sudah dalam terapi rumatan. Telekonsultasi sendiri memiliki beberapa keunggulan, mempermudah pasien mengakses pelayanan kesehatan, menghemat waktu dan biaya yang dibutuhkan, mendukung privasi pasien, dan memungkinkan klinisi melihat kondisi lingkungan rumah pasien.

Tidak semua pasien cocok untuk menjalankan telekonsultasi, misalnya pasien anak, pasien tanpa tempat tinggal, atau pasien dengan gangguan perhatian. Koneksi internet juga dapat menjadi masalah dalam berkomunikasi dan menghambat pelayanan.

Terdapat beberapa hambatan dalam menjalankan layanan ini, yang berhubungan dengan pasien, sarana prasarana, distraksi, privasi, faktor etikolegal, kesulitan dalam menilai kondisi emergensi, dan faktor klinisi sendiri. Di Indonesia sendiri,  perangkat yang mendukung telekonsultasi menggunakan audio visual belum optimal, sehingga pasien lebih sering bertanya melalui pesan teks.

Referensi