Potensi Permetrin sebagai Terapi Alternatif Cutaneous Larva Migrans (CLM) – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Alvi Muldani

Permethrin Potential As An Alternative Therapy For The Eradication Of Cutaneous Larva Migrans (CLM)

Tansil Tan S, Firmansyah Y, Hendsun H. Permethrin Potential As An Alternative Therapy For The Eradication Of Cutaneous Larva Migrans (CLM). Jurnal Kesehatan. 2023;11.

studilayak

Abstrak

Creeping eruption atau cutaneous larva migrans (CLM) adalah infeksi pada kulit yang disebabkan karena penetrasi aktif dan migrasi larva nematoda ke lapisan epidermis kulit. Walaupun penyakit ini secara klinis mudah diobati, kejadian resistansi antihelmintik harus dipertimbangkan sejalan dengan adanya laporan resistansi antihelmintik telah ditemukan sejak 1957 pada hewan ternak.

Laporan kasus ini mendiskusikan terapi inovatif untuk creeping eruption dengan menggunakan permethrin 5% yang biasa digunakan untuk skabies dan pedikulosis. Dilaporkan wanita berusia 29 tahun dengan dua lesi serpiginosa pada regio femoralis dextra yang diobati dengan krim permethrin 5% selama sepuluh hari terbukti efektif dalam mengobati creeping eruption. Pasien mengaku sangat puas dengan hasil dan tanpa efek samping.

Permethrin:,A,Cream,Used,To,Treat,Scabies,,A,Skin,Infestation

Ulasan Alomedika

Cutaneous larva migrans (CLM) merupakan sebuah bentuk manifestasi klinis dengan tanda lesi serpiginosa dan hiperemia gatal yang disebabkan proses aktif penetrasi dan migrasi dari larva cacing cambuk ke dalam epidermis kulit. Cacing yang biasa menyebabkan kelainan adalah Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caniinum, yang biasa ditemukan pada anjing dan kucing.

Biasanya, CLM merupakan kondisi self-limiting dalam kurun waktu 2 sampai 8 minggu, tetapi kadang pasien merasa terganggu dan mencari pengobatan ke dokter karena gatal yang berat. Terapi definitif berupa antihelmitik yaitu, albendazole dengan dosis 10-15 mg/kgBB atau 400 mg dosis tunggal pada dewasa. Terapi alternatif lainnya dapat diberikan ivermectin dengan dosis 150 μg/kgBB (12 mg dosis tunggal untuk dewasa), thiabendazole 10% gel, atau ivermectin 1% krim topikal.

Cutaneous larva migrans (CLM) atau creeping eruption pada umumnya mudah untuk diobati, tetapi penggunaan antihelmintik yang irasional terutama pada hewan ternak menyebabkan beberapa jenis cacing resistan terhadap antihelmintik khususnya macrolytic lactone (ivermectin), levamizole (Lev), dan benzimidazole (BZ). Resistansi terhadap antihelmintik tersebut sudah dilaporkan sejak tahun 1983 di Australia dan Indonesia.

Tidak ditemukan laporan secara spesifik mengenai resistansi antihelmintik pada manusia di Indonesia, tetapi laporan dari peternakan di Australia bahwa resistansi pada hewan ternak mencapai 80%.

Ulasan Presentasi Kasus

Seorang wanita berusia 29 tahun dengan ruam kemerahan dan gatal dirasakan sejak 10 hari yang lalu pada paha atas kiri kemudian secara progresif bertahap memanjang dan terlihat memutar seperti cacing di bawah kulit.

Pemeriksaan dermatologis teridentifikasi dua lesi kulit pada paha kanan atas yang melengkung membentuk efloresensi serpiginosa hiperemis dengan erosi di sekitar lesi. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan status dermatologikus.

Setelah mendapatkan consent dari pasien, permetrin 5% diberikan sebanyak 2 kali sehari untuk 2 minggu setelah mandi. Pasien diminta untuk melaporkan efek samping yang disebabkan dari terapi dan dijadwalkan untuk kembali ke klinik 2 hari setelah lesi kulit menghilang. Pada saat follow up area kehitaman post inflamasi terlihat, dan pasien mengaku sangat puas dengan hasil dan tanpa efek samping.

Ulasan Diskusi Kasus

Secara empiris terapi lini utama untuk creeping eruption (CLM) adalah ivermectin, thiabendazole, albendazole, dan pyrantel pamoate; tergantung kebijakan kesehatan di tiap negara. Pilihan utama obat CLM di Indonesia adalah albendazole dan pyrantel pamoate dengan angka keberhasilan 94%.

Peningkatan resistansi antihelmintik membuat permethrin dipertimbangkan menjadi salah satu pilihan terapi selanjutnya. Permethrin yang termasuk ke dalam grup pyrethrin dan pyrethroid, biasanya digunakan pada pengobatan anti-pediculosis dan anti-scabies.

Obat yang termasuk dalam pyrethroid kelas I ini mempunyai efek paralisis yang baik terhadap serangga dan cacing karena dapat membuka kanal natrium pada jaringan saraf sehingga terjadi akumulasi natrium yang berlebihan dalam sel dan menimbulkan eksitasi akson yang persisten.

Eksitasi yang persisten serta sifat lipofilisitas dari obat menyebabkan patogen kehilangan kontrol dan koordinasi (paralisis) yang selanjutnya mengakibatkan kematian patogen.

Kelebihan penelitian

Kelebihan dari laporan kasus ini adalah menonjolkan pengobatan non-tradisional untuk CLM di luar obat-obatan antihelmintik. Laporan mengenai resistansi obat antihelmintik  terutama pada ternak telah dipublikasikan, sehingga penggunaan permethrin pada CLM dapat menjadi alternatif.

Limitasi Penelitian

Publikasi ini merupakan sebuah laporan kasus sehingga data mengenai efikasi dan adverse events yang didapat tidak dapat mewakili populasi masyarakat secara luas. Penelitian dalam skala intervensi  dengan jumlah sampel yang lebih luas perlu dilakukan untuk dapat menonjolkan manfaat permethrin di dunia kedokteran.

CLM merupakan penyakit self-limiting dan fokus pengobatannya adalah perbaikan gejala, sehingga observasi terhadap perbaikan gejala pada pasien dengan kuesioner terstandarisasi yang dapat dikuantifikasi perlu dilakukan. Hasil kuesioner tersebut perlu dibandingkan dengan grup kontrol agar dapat memberikan makna klinis lebih baik dalam penggunaannya sebagai terapi CLM.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Pengobatan dengan permethrin dapat dilakukan secara mudah di Indonesia karena ketersediaan permethrin 5% sangat luas dan dapat diakses sampai ke perifer pelayanan kesehatan di Indonesia.

Penggunaannya yang secara topikal lebih nyaman untuk pasien dengan harapan efek samping lebih ringan dibandingkan pengobatan antihelmintik secara sistemik. Permethrin juga lebih mudah didapat dibandingkan dengan thiabendazole dan ivermectin topikal. Permethrin mungkin dapat menjadi alternatif dari antihelmintik setelah pembuktian lebih lanjut.

Referensi