Perlukah Pemberian Antibiotik untuk Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan

Oleh :
dr.Akbar Novan Dwi Saputra, SpOG

Bakteriuria asimtomatik pada kehamilan dilaporkan dapat menyebabkan luaran kehamilan yang buruk, seperti kelahiran prematur, sehingga berbagai pedoman merekomendasikan pemberian antibiotik untuk mengobatinya. Akan tetapi, sampai saat ini tidak ada bukti ilmiah yang dapat diandalkan untuk mendukung hal tersebut.

Bakteriuria asimtomatik terjadi pada sekitar 2-10% dari wanita hamil dan dikaitkan dengan komplikasi yang serius pada maternal dan neonatal, yaitu pielonefritis dan kelahiran prematur. Antibiotik dilaporkan dapat mengurangi luaran yang buruk ini, namun bukti ilmiahnya tidak kuat.[1,2]

Perlukah Pemberian Antibiotik untuk Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan-min

Pendekatan yang dilakukan untuk skrining dan pengobatan bakteriuria asimtomatik pada kehamilan didasarkan pada studi yang dilakukan lebih dari 30 tahun lalu, sebelum standar metode uji klinis diatur secara ketat seperti sekarang ini. Oleh karena itu, berbagai studi saat ini sudah dilakukan untuk menilai kembali konsekuensi dari bakteriuria asimtomatik pada kehamilan.[3,4]

Sekilas tentang Bakteriuria Asimtomatik

Bakteriuria asimtomatik ditegakkan apabila ditemukan bakteri dengan hitung kuantitatif ≥105 colony forming unit (CFU)/mL pada kultur urine tanpa disertai tanda atau gejala infeksi saluran kemih. Tanda dan gejala ISK yang umumnya terjadi adalah disuria, urgensi berkemih, sensasi penuh pada kandung kemih atau rasa tidak nyaman pada abdomen bawah, dan nyeri tekan suprapubik.[5-7]

Pada wanita, diagnosis bakteriuria mensyaratkan dua spesimen urine dengan isolasi strain bakteri yang sama, dengan hitung kuantitatif ≥105 CFU/mL. Jika sampel urine diambil melalui kateter, maka spesimen urine tunggal dengan isolasi spesies bakteri tunggal dengan hitung kuantitatif ≥102 CFU/mL sudah cukup untuk mengidentifikasi bakteriuria. Dalam praktik klinis,  diagnosis dan terapi sering kali dilakukan hanya berdasarkan satu hasil spesimen urine, tanpa memperoleh konfirmasi dari kultur urine ulang.[5,6]

Bukti Ilmiah Pemberian Antibiotik untuk Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan

Praktik skrining dan terapi bakteriuria asimtomatik pada wanita hamil umum dilakukan saat pemeriksaan antenatal. Berbagai pedoman seperti Infectious Disease Society of America (IDSA) dan American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan untuk dilakukannya skrining dan terapi bakteriuria asimtomatik pada wanita hamil untuk mengurangi risiko pielonefritis pada wanita hamil. Akan tetapi, studi yang mendasarinya rekomendasi ini sudah sangat tua, yaitu tahun 1960-1980, sehingga tidak dapat memberikan bukti ilmiah yang dapat diandalkan.[5,8]

Hubungan Antara Bakteriuria Asimtomatik dan Luaran Kehamilan Maternal dan Neonatal

Ulasan oleh Smaill et al menunjukkan bahwa sebanyak 21% wanita hamil dengan bakteriuria asimtomatik yang tidak diobati mengalami pielonefritis, sedangkan hanya sebesar 5% yang berkembang menjadi pielonefritis pada kelompok yang diobati. Efek positif yang serupa juga dilaporkan pada neonatus, yaitu terhadap berat badan lahir rendah dan kelahiran prematur (dengan cut off <38 minggu).

Akan tetapi, efek tersebut tidak signifikan secara statistik. Selain itu, studi yang dikaji dalam tinjauan ini telah dilakukan lebih dari 30 tahun yang lalu dan memiliki beberapa kekurangan dalam metode penelitian, seperti deskripsi metode menelitian yang tidak lengkap dan inkonsistensi dalam mendefinisikan luaran penelitian.[4]

Studi kohort prospektif terbaru dan terbesar yang dilakukan oleh Kazemier et al meneliti luaran kehamilan maternal dan neonatal pada wanita hamil dengan bakteriuria simtomatik. Pada studi ini, skrining untuk bakteriuria asimtomatik dilakukan pada wanita hamil tanpa komplikasi dengan usia kehamilan 16-22 minggu. Setelah itu, sebanyak 85 wanita hamil yang terdiagnosis bakteriuria asimtomatik dikelompokkan secara acak ke dalam kelompok intervensi nitrofurantoin dan kelompok plasebo. Nitrofurantoin atau plasebo dikonsumsi secara peroral selama 5 hari. Setelah 1 minggu terapi, pemeriksaan dipslide kembali dilakukan untuk follow-up.[2]

Pada studi ini, didapatkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian pielonefritis, kelahiran prematur, atau keduanya antara kelompok nitrofurantoin dan kelompok plasebo. Studi ini juga menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan wanita hamil tanpa bakteriuria asimtomatik, wanita hamil dengan bakteriuria asimtomatik yang tidak diobati lebih banyak mengalami pielonefritis (2,4% vs 0,6%).[2]

Meskipun ada peningkatan risiko pielonefritis selama kehamilan, wanita hamil dengan bakteriuria asimtomatik memiliki risiko absolut yang rendah terhadap pielonefritis (2,4%), yang menunjukkan angka yang jauh lebih rendah daripada hasil dari studi-studi terdahulu. Peneliti juga menyimpulkan bahwa pada kehamilan tanpa komplikasi, bakteriuria asimtomatik tidak berhubungan dengan kelahiran prematur. Namun, penelitian dengan sampel yang lebih besar perlu dilakukan untuk mengonfirmasi studi ini.[2]

Kurangnya Bukti yang Mendukung Skrining dan Terapi Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan

Angelescu et al melakukan tinjauan sistemik terhadap studi-studi mengenai skrining dan terapi bakteriuria asimtomatik pada wanita hamil. Peneliti mengemukakan bahwa sampai saat ini tidak ada uji acak terkontrol yang meneliti manfaat dan kerugian skrining bakteriuria asimtomatik.[9]

Dari studi yang ada, hanya 1 studi yang memiliki risiko bias yang rendah tetapi sampel yang digunakan sedikit, sehingga penelitian dihentikan lebih awal. Dengan begitu, tidak ada kesimpulan yang dapat ditarik apakah manfaat skrining bakteriuria asimtomatik melebihi potensi kerugiannya dan tidak ada bukti ilmiah kuat untuk mendukung skrining rutin bakteriuria asimtomatik dilakukan pada wanita hamil.[9]

Oleh karena itu, selama tidak ada penelitian baru yang menunjukkan perlunya skrining dan terapi bakteriuria asimtomatik pada kehamilan, praktik ini tidak didukung oleh bukti ilmiah.[9]

Dampak Praktik Skrining dan Terapi Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan

Antibiotik merupakan terapi standar yang direkomendasikan oleh berbagai pedoman untuk mengobati infeksi saluran kemih pada kehamilan, baik yang simtomatik maupun asimtomatik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dan berlebihan dapat berkontribusi pada resistensi antibiotik dan menghadapkan fetus pada paparan obat yang dapat saja memengaruhi perkembangannya.[1,10]

Studi di Inggris melaporkan bahwa peresepan antibiotik untuk infeksi saluran kemih pada kehamilan dilakukan secara berlebihan.[10]

Meskipun resistensi antibiotik merupakan ancaman kesehatan masyarakat secara global, resistensi antibiotik memerlukan perhatian khusus dalam kehamilan karena terdapat risiko ditularkannya bakteri yang resisten kepada neonatus. Selain itu, penggunaan antibiotik dalam kehamilan juga dapat membawa risiko teratogenik.[11]

Perilaku Higiene sebagai Pencegahan Infeksi Saluran Kemih pada Kehamilan

Sebuah tinjauan sistematis oleh Ghouri et al melaporkan bahwa tindakan pencegahan merupakan satu-satunya intervensi yang terbukti secara ilmiah dapat mengurangi insidensi infeksi saluran kemih pada kehamilan. Membilas area genital dan mengosongkan kandung kemih setelah berhubungan seks mempunyai efek protektif terhadap infeksi saluran kemih.

Arah menyeka area genital setelah buang air kecil juga ditemukan penting bagi wanita. Insidensi infeksi saluran kemih yang lebih tinggi ditemukan pada wanita yang menyeka area genital dari belakang ke depan.[12,13]

Kesimpulan

Berbagai pedoman, seperti IDSA dan ACOG, merekomendasikan untuk dilakukannya skrining dan terapi antibiotik pada bakteriuria asimtomatik pada wanita hamil untuk mengurangi luaran kehamilan maternal dan neonatal yang buruk.[5,8]

Akan tetapi, sampai saat ini tidak terdapat bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung rekomendasi ini.

Luaran kehamilan yang buruk, seperti pielonefritis dan kelahiran prematur, merupakan alasan dibalik dilakukannya skrining dan terapi antibiotik untuk bakteriuria asimtomatik pada kehamilan. Namun, berbagai studi masih menunjukkan hasil yang berbeda-beda.

Studi memadai yang meneliti manfaat serta kerugian skrining dan terapi antibiotik untuk bakteriuria asimtomatik pada kehamilan pun belum ada. Studi lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar diperlukan untuk dapat menyimpulkannya hubungan bakteriuria asimtomatik pada kehamilan dan luaran kehamilan yang buruk serta manfaat dan kerugiannya dilakukannya praktik ini.

Oleh karena itu, selama tidak ada penelitian baru yang menunjukkan perlunya skrining dan terapi bakteriuria asimtomatik pada kehamilan, rekomendasi dan praktik ini sebaiknya dihentikan karena tidak didukung oleh bukti ilmiah dan dapat memberikan dampak buruk, yaitu resistensi antibiotik.

Intervensi yang terbukti secara ilmiah dapat mengurangi insidensi infeksi saluran kemih pada wanita adalah perilaku higiene, seperti membilas area genital dan mengosongkan kandung kemih setelah melakukan hubungan seks. Oleh sebab itu, Dokter perlu mengedukasi pasien secara aktif untuk menerapkan perilaku higiene yang dapat mencegah ISK.

Referensi