Perbedaan Keratosis Aktinik dengan Karsinoma Sel Skuamosa

Oleh :
dr. Novianti Rizky Reza, Sp.KK

Membedakan keratosis aktinik dengan karsinoma sel skuamosa merupakan suatu tantangan, karena karakteristiknya banyak yang sama. Keratosis aktinik adalah suatu kondisi jinak meskipun beberapa akan menjadi kanker, sedangkan karsinoma sel skuamosa termasuk keganasan sehingg penatalaksanaannya berbeda.[1-3]

Keratosis aktinik merupakan kelainan kulit yang sering ditemukan pada pasien berusia tua. Meskipun para ahli mengemukakan berbagai pendapat yang berbeda, tetapi pada beberapa studi keratosis aktinik kerap diperkirakan sebagai prekursor karsinoma sel skuamosa in situ. Karsinoma sel skuamosa adalah kanker non melanoma yang menempati peringkat kedua kanker paling sering terjadi pada manusia.[1-3]

Perbedaan Keratosis Aktinik dengan Karsinoma Sel Skuamosa-min (1)

Sekilas Mengenai Keratosis Aktinik

Keratosis aktinik (KA) merupakan lesi displasia keratinosit epidermal yang disebabkan adanya paparan kronis sinar matahari. Gejala, lokasi, serta morfologi KA perlu diperhatikanPrevalensi KA bertambah pada kelompok usia tua. Berdasarkan laporan WHO, lesi kulit ini ditemukan lebih tinggi pada kelompok kaukasia yang tinggal di dekat garis ekuator, karena paparan kronis ultraviolet sinar matahari.[4-7]

Lesi KA memiliki sifat sebagai berikut:

  • Predileksi pada kulit yang terpapar cahaya matahari, seperti wajah, kepala, leher, bahu, lengan bawah, punggung tangan, dan bibir bawah
  • Makula, papula, atau plak hiperkeratotik yang berbatas tidak tegas
  • Berukuran dari beberapa milimeter hingga 1−2 cm, kadang multipel dan sering menyatu
  • Berwarna dasar eritematosa, atau merah muda sampai merah kecoklatan
  • Terdapat gambaran skuama kering, serta telangiektasis di dalam atau di sekitar lesi
  • Biasanya asimtomatik, kadang timbul rasa gatal, terbakar, atau sensasi seperti serpihan[4,5]

Diagnosis KA dapat dilakukan dengan pemeriksaan klinis dan dermoskopi. Pemeriksaan histopatologi merupakan pemeriksaan gold standard apabila diagnosis tidak jelas. Beberapa studi menghubungkan KA sebagai prekursor karsinoma sel skuamosa in situ.[4,8]

Sekilas Mengenai Karsinoma Sel Skuamosa

Karsinoma sel skuamosa (KSS) Kejadian KSS meningkat dengan pertambahan usia, lebih sering ditemukan pada pria dan populasi kulit putih. Faktor risiko antara lain penggunaan sun bed, paparan sinar ultraviolet, dan kelainan genetik. Berbagai kondisi medis yang dikaitkan dengan KSS adalah luka bakar, infeksi kronis, imunosupresi, infeksi human papilloma virus (HPV), dan terapi rapidly accelerated fibrosarcoma kinase B (BRAF) inhibitor.[9-11]

Gambaran awal karsinoma sel skuamosa in situ (KSSIS) diyakini sebagai bentuk intermediate antara KA dan KSS invasif. Gambaran lesi KSS pada kulit sebagai berikut:

  • Predileksi pada kulit daerah kepala dan leher, terutama telinga
  • Papular keratotik, plak eritematosa, dan luka yang lama sembuhnya
  • Lesi dapat berbatas tegas maupun tidak tegas
  • Metastasis KSS dapat terjadi, dan ditandai dengan lesi yang bersifat progresif, serta diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening[11-13]

Diagnosis KSS ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti dermoskopi, histopatologi, dan histokimia.[8,12]

Keratosis Aktinik Didiagnosis Banding dengan Karsinoma Sel Skuamosa

KA adalah lesi displasia keratinosit epidermal akibat paparan radiasi ultraviolet (UV) kronis, dan dapat berkembang menjadi KSS invasif. Paparan UVB dengan panjang gelombang 290−320 nm dapat menyebabkan terjadinya mutasi pembentukan dimer thymidine pada DNA dan RNA keratinosit. Gangguan pada jalur p53 dapat menyebabkan proliferasi keratinosit displastik yang mengarah ke pembentukan KA dan KSS.[3,8]

Beberapa studi mendefinisikan KA sebagai lesi premaligna yang berbeda dengan KSS, karena lesi KA dapat mengalami regresi dan tidak berkembang menjadi invasif. Namun, lesi KA menyerupai KSS tahap awal atau KSS in situ baik secara sitologi maupun biologi molekuler. Pada KA dan KSSIS ditemukan penanda tumor genetik yang serupa, dan mutasi gen p53 yang identik dengan KSS.[3,8]

Membedakan KA dengan KSS dapat dilakukan secara klinis maupun melalui berbagai pemeriksaan penunjang. Sistem skoring secara klinis, yaitu Actinic Keratosis Field Assessment Scale (AK-FAS) dan Actinic Keratosis Area dan Severity Index (AKASI), dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan evaluasi dalam tata laksana KA. Sistem skoring tersebut menilai ukuran area yang terdampak, pola distribusi KA, dan derajat hiperkeratosis yang menunjukkan adanya korelasi signifikan antara skor AKASI dengan kejadian KSS invasif.[8,14]

Pemeriksaan penunjang, baik yang bersifat invasif maupun non invasif seperti pemeriksaan dermoskopi, histopatologi, dan histokimia, dapat membantu membedakan lesi KA dengan KSS. Pada saat ini, belum ada sistem pemeriksaan yang dapat secara tepat memprediksi perkembangan KA menjadi KSS. Namun, beberapa gambaran pada lesi dapat menjadi pegangan dalam menduga progresivitas KA menjadi KSS, yaitu lesi KA multipel >5, ukuran >1 cm, terdapat indurasi, ulserasi, atau perdarahan, dan disertai perkembangan yang cepat.[2,3,8,12]

Jumlah lesi KA <5 memiliki resiko berkembang menjadi KSS lebih kecil (RR: 1%) jika dibandingkan dengan lesi KA >20 (RR: 20%).[4,5]

Mencegah Keratosis Aktinik Berkembang Menjadi Karsinoma Sel Skuamosa

Tujuan terapi KA adalah untuk meminimalisir perkembangan ke arah KSS, dengan pilihan yang bervariasi mulai dari obat topikal hingga sistemik. Selain luas lesi, pemilihan terapi KA bergantung pada faktor pasien maupun dokter. Faktor pasien berupa kondisi imunosupresi, riwayat terapi sebelumnya, riwayat tumor invasif, kepatuhan pasien, serta biaya terapi. Sedangkan faktor dokter perlu dipertimbangkan alat dan fasilitas yang tersedia, serta pengalaman sebelumnya.[3,8]

Terapi lokalisata KA dapat berupa krioterapi, kuretase, dan laser ablasi. Dilanjutkan dengan perawatan area lesi dengan agen topikal, misalnya diklofenak plus asam hialuronat, imiquimod, 5-fluorouracil, ingenol mebutate, dan terapi fotodinamik. Terapi sistemik dapat diberikan agen kemoterapi, seperti epidermal growth factor receptor (EGFR) dan cemiplimab inhibitor PD-I (programmed-cell death protein 1), baik secara tunggal atau kombinasi (8,15).

Penatalaksanaan KA pada lokasi telinga dan sekitar bibir memerlukan perhatian khusus, karena memiliki risiko tinggi untuk berkembang menjadi KSS dan risiko terjadinya metastasis. Pada lesi di daerah tersebut, pilihan terapi laser ablasi dapat dilakukan.[8,16]

Kesimpulan

Keratosis aktinik (KA) merupakan kelainan kulit kronis yang ditimbulkan akibat paparan sinar matahari. Penegakan diagnosis dan terapi perlu dilakukan secara tepat. Beberapa studi mendefinisikan KA sebagai lesi premaligna yang berbeda dengan karsinoma sel skuamosa (KSS), karena dapat mengalami regresi dan tidak berkembang menjadi invasif. Akan tetapi, KA menyerupai KSS tahap awal atau KSS in situ (KSSIS), karena sama memiliki gambaran malignansi secara sitologi maupun biologi molekuler.

Walaupun saat ini tidak terdapat alat prediktor yang dapat diandalkan untuk memastikan terjadinya transformasi KA menjadi KSS, tetapi dari gambaran lesi dapat menduga progresivitas KA. Lesi KA multipel >5, ukuran >1 cm, terdapat indurasi, ulserasi, atau perdarahan, dan disertai perkembangan yang cepat merupakan sifat lesi KA yang berisiko berubah menjadi KSS.

Terapi yang tepat dan berulang, serta pencegahan merupakan langkah yang penting untuk mencegah perkembangan KA menjadi KSS. Pilihan penatalaksanaan KA meliputi terapi lokalisata, agen topikal, dan sistemik. Selain itu, pencegahan munculnya lesi KA dengan pemakaian tabir surya dan pakaian yang melindungi kulit secara rutin juga perlu dilakukan.

Referensi