Peran ASI dalam Mencegah Terjadinya Asma

Oleh :
dr. Immanuel Natanael Tarigan

Pemberian air susu ibu (ASI) diduga dapat mencegah terjadinya asma pada anak. Sudah banyak penelitian yang mencoba mencari hubungan pemberian ASI dengan faktor protektif terjadinya asma, tetapi hasilnya masih inkonklusif.

Asma merupakan salah satu penyakit kronis yang terjadi sejak dini pada anak. Diperkirakan, sekitar 14% anak usia sekolah mengalami asma. Asma menyebabkan banyak permasalahan pada kehidupan anak. Asma merupakan penyebab utama absensi sekolah dan perawatan pada anak.[1]

Depositphotos_75252533_m-2015_compressed

Asma diduga berhubungan dengan faktor nutrisi dan lingkungan yang mempengaruhi sistem imun pada saat awal kehidupan dan pengaruh tersebut menyebabkan perubahan yang menetap. Perubahan sistem imun yang menetap ini berhubungan dengan berbagai penyakit termasuk asma.[1]

Mekanisme Pengaruh Pemberian ASI dengan Kejadian Asma

Mekanisme pengaruh pemberian ASI dengan kejadian asma dapat dijelaskan melalui 4 mekanisme, yaitu epigenetik, pengaruh mikrobiota, imunitas dan inflamasi, serta pertumbuhan dan peningkatan fungsi paru.

Epigenetik

Mekanisme yang pertama berhubungan dengan epigenetik. Perubahan epigenetik dalam ekspresi gen dihipotesiskan berhubungan dengan perkembangan sistem imun. Perubahan epigenetik yang terjadi pada usia dini akan menyebabkan perubahan sepanjang hidup. Epigenetik banyak dihubungkan dengan kejadian alergi dan asma.

Pada beberapa studi, ditemukan bahwa pemberian ASI dapat menyebabkan perubahan epigenetik pada bayi. Pemberian ASI menginduksi metilasi DNA. Pemberian ASI berhubungan metilasi promoter gen leptin yang berhubungan dengan nafsu makan.

ASI juga mengandung RNA non-coding yang meregulasi ekspresi gen, sehingga dihipotesiskan pengaruh pemberian ASI tidak hanya metilasi DNA. Walaupun demikian, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami pengaruh epigenetik dengan pemberian ASI dan hubungannya dengan kejadian asma.[1,2]

Pengaruh Mikrobiota

Mekanisme kedua adalah pengaruh mikrobiota. Berbagai bukti klinis menunjukkan disbiosis mikrobiota usus pada awal kehidupan berhubungan dengan perkembangan asma. Pemberian ASI memengaruhi perkembangan mikrobiota oral dan saluran cerna pada bayi. ASI merupakan sumber probiotik, berupa mikrobiota susu, dan prebiotik, yaitu human milk oligosaccharides (HMO). Keduanya dapat meningkatkan kolonisasi bakteri yang bermanfaat bagi bayi.

Komponen bioaktif dalam ASI turut berperan dalam maturasi mikrobiota saluran cerna dan sistem imun. Mekanisme pemberian ASI melalui kontak langsung juga mempengaruhi pembentukan sistem imun bayi. Hal-hal tersebut dapat berhubungan dengan terjadinya asma.[1,3]

Imunitas dan Inflamasi

Imunitas dan inflamasi memegang peran penting terjadinya asma. Selain karena berhubungan dengan mikrobiota usus, ASI berperan dalam pematangan barrier usus untuk mensekresi defensin, lysozyme, lactoferrin, polymeric IgA, soluble TLR-2 dan 4, serta CD14 dan MD2, yang dapat menyerang patogen. ASI juga dapat bertindak sebagai carrier untuk mentransfer airborne antigens dari ibu ke neonatus, sehingga terjadi toleransi imun dan mencegah anak mengalami asma alergi.

Anak yang mendapatkan ASI juga memiliki risiko infeksi saluran nafas atas yang lebih rendah. Infeksi saluran nafas adalah salah satu faktor risiko terjadinya asma pada anak. Kortisol, yang terbentuk akibat kontak ibu dan anak, juga menurunkan risiko inflamasi kronik dan risiko terjadinya asma.[1,4]

Pertumbuhan Paru dan Peningkatan Fungsi Paru

Pemberian ASI juga ditemukan berhubungan dengan pertumbuhan paru dan meningkatkan fungsi paru. Kapasitas paru yang lebih baik merupakan faktor protektif terjadinya asma. Pertumbuhan dan fungsi paru yang lebih baik ini berhubungan dengan gerakan mengisap saat anak menyusui.[1]

Bukti Ilmiah Hubungan Pemberian ASI dengan Kejadian Asma

Beberapa studi dilakukan untuk mengetahui efek pemberian ASI pada anak dan hubungannya dengan kejadian asma selanjutnya. Sayangnya, studi-studi yang sudah dilakukan masih menunjukkan hasil yang tidak konsisten.

Studi oleh Ahmadizar, et al. pada tahun 2017 melakukan analisis terhadap 840 anak. Studi ini menemukan bahwa kejadian eksaserbasi asma pada anak dengan asma yang mendapatkan ASI lebih rendah dibandingkan kelompok anak dengan asma tanpa pemberian ASI.[5]

Pada analisis lanjutan, ditemukan bahwa pemberian ASI hingga 6 bulan secara signifikan berhubungan dengan eksaserbasi asma, tetapi pemberian ASI lebih dari 6 bulan tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Selain itu, pada anak yang memiliki faktor risiko asma pada keluarga, pemberian ASI menunjukkan hubungan secara signifikan terhadap penurunan eksaserbasi asma. Namun, hubungan ini tidak terlihat pada anak yang tidak memiliki faktor risiko keluarga.[5]

Studi oleh El-Heneidy, et al. pada tahun 2018 menemukan bahwa pemberian susu selain ASI pada anak berusia di bawah 6 bulan dapat meningkatkan risiko terjadinya asma hampir 2 kali lipat ketika anak tersebut mencapai usia 3 tahun. Temuan studi ini mendorong ibu untuk untuk meningkatkan inisiasi dan durasi menyusui, serta menghindari penggunaan susu lain pada usia di bawah 6 bulan.[6]

Studi kasus kontrol pada tahun 2021 oleh Kumar, et al. menilai hubungan antara durasi menyusui dan ASI eksklusif dengan kejadian asma pada anak-anak, serta derajat keparahan asma yang diukur dengan peak expiratory flow rate (PEFR). Pada kelompok kasus didapatkan durasi menyusui selama 5 bulan, sedangkan pada kelompok kontrol durasi menyusui adalah 9 bulan. Proporsi ASI eksklusif pada kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 50% dan 69%.[7]

Pemberian ASI eksklusif dihubungkan dengan probabilitas terjadinya asma yang lebih rendah sebanyak 46%. Durasi pemberian ASI juga berhubungan dengan kejadian asma yang rendah secara bermakna. Pertambahan durasi menyusui selama 1 bulan menurunkan risiko asma sebanyak 23%.[7]

Selain itu, durasi menyusui yang lebih panjang berasosiasi secara negatif dengan PEFR. Berdasarkan temuan di atas, pemberian ASI eksklusif dan durasi menyusui yang lebih panjang ditemukan sebagai faktor protektif terhadap terjadinya asma.[7]

Metaanalisis tahun 2021 oleh Xue, et al. menilai hubungan antara menyusui dan kejadian asma pada anak-anak. Metaanalisis ini melibatkan 42 studi kohort retrospektif dan prospektif dengan subjek berusia di bawah 18 tahun. Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa anak yang menerima ASI lebih lama memiliki risiko asma 0,84 kali lebih rendah, dibandingkan anak yang hanya menerima ASI sebentar.[8]

Selain itu, didapatkan juga bahwa risiko asma lebih rendah 0,81 kali pada anak yang menerima ASI eksklusif, dibandingkan dengan anak yang tidak. Perbedaan yang signifikan terutama terlihat pada anak yang berusia di bawah 7 tahun.[8]

Keterbatasan Bukti Ilmiah yang Ada

Perbedaan hasil ini dapat dijelaskan dengan berbagai alasan. Perbedaan definisi operasional oleh peneliti membuat kesulitan untuk mendapatkan hasil yang seragam. Beberapa penelitian hanya membedakan pernah diberikan ASI, sedangkan penelitian lain menggunakan definisi ASI eksklusif. Perbedaan metode penelitian juga memengaruhi perbedaan hasil penelitian. Selain itu, beberapa penelitian juga mempertimbangkan pengaruh faktor-faktor perancu dalam analisisnya.

Faktor lainnya adalah kecenderungan yang paradoksikal. Ada kecenderungan untuk ibu dengan anak yang lebih sakit, termasuk asma, memberikan ASI yang lebih sering dan lebih lama, sehingga dapat menjadi faktor perancu dalam penelitian.[9]

Pengaruh Pemberian ASI terhadap Penyakit Alergi Lainnya

Beberapa penelitian mencoba melihat pengaruh pemberian ASI terhadap penyakit alergi lainnya, seperti dermatitis atopik dan rhinitis alergi.

Tinjauan sistematis dan metaanalisis tahun 2015 oleh Lodge, et al. menilai hubungan menyusui dengan beberapa penyakit alergi, antara lain asma, dermatitis atopik dan rhinitis alergi. Studi ini menemukan bahwa menyusui bersifat protektif terhadap kejadian asma pada anak usia 5–18 tahun.[10]

Selain itu, ditemukan juga bukti klinis yang lebih lemah bahwa menyusui bersifat protektif terhadap dermatitis atopik pada anak berusia di bawah 2 tahun, dan rhinitis alergi pada anak berusia di bawah 5 tahun. Efek protektif menyusui terhadap asma dan dermatitis atopik terlihat lebih nyata pada negara berpenghasilan rendah.[10]

Namun, hasil berbeda mengenai hubungan ASI dan dermatitis atopik didapatkan pada studi kohort oleh Wang, et al. pada tahun 2017. Studi ini mendapatkan risiko dermatitis atopik pada anak yang tidak pernah menerima ASI dibandingkan dengan anak yang minum ASI selama 0–3 bulan, 4–6 bulan, dan >6 bulan adalah 1,02, 0,97, dan 0,98 secara berurutan.[11]

Berdasarkan hasil tersebut, studi ini menyimpulkan menyusui tidak memberikan efek protektif terhadap dermatitis atopik pada anak. Namun, studi ini tetap merekomendasikan menyusui, berkaitan dengan manfaat ASI dari segi nutrisi, imunitas, psikologi, dan biaya.[11]

Pada tahun 2019, Allergic Rhinitis Cohort Study for Kids (ARCO-Kids Study) menilai hubungan antara durasi menyusui dan metode kelahiran dengan terjadinya rhinitis alergi pada anak. Subjek penelitian dibagi menjadi kelompok rhinitis alergi dan non-rhinitis alergi. Durasi menyusui terbagi menjadi jangka pendek, yaitu kurang dari 6 bulan, dan jangka panjang, yaitu minimal 12 bulan.[12]

Hasil studi mendapatkan bahwa menyusui jangka panjang berhubungan dengan prevalensi rhinitis alergi yang lebih rendah, sebesar 0,54 kali. Selain itu, subjek dalam kelompok rhinitis alergi memiliki riwayat kelahiran melalui sectio caesarea (SC) yang lebih tinggi dibandingkan subjek pada kelompok non-rhinitis alergi. Disimpulkan, menyusui jangka panjang dan riwayat kelahiran per vaginam berhubungan dengan risiko terjadinya rhinitis yang lebih rendah.[12]

Kesimpulan

Pemberian ASI diduga dapat menurunkan kejadian dan eksaserbasi asma pada anak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor protektif akan kejadian asma. Namun, penelitian lain menunjukkan hasil yang tidak konsisten.

Perbedaan ini mungkin dapat dijelaskan akibat perbedaan sampel, perbedaan definisi operasional dan berbagai faktor perancu. Pemberian ASI berhubungan dengan kejadian asma dihubungkan dengan 4 mekanisme, antara kaub epigenetik, pengaruh terhadap mikrobiota usus, imunitas dan inflamasi, serta perkembangan fungsi paru.

Bukti klinis tentang efek protektif pemberian ASI terhadap kejadian asma memang masih kontroversial. Namun, pemberian ASI berhubungan dengan berbagai keuntungan, baik dari secara kesehatan fisik, seperti menurunkan risiko terjadinya diabetes mellitus tipe II dan psikologis, maupun segi ekonomis. Oleh karena itu, pemberian ASI tetap menjadi pilihan terbaik pada anak.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi