Diagnosis Ruptur Hepar
Diagnosis ruptur hepar harus segera ditegakkan dan mendapatkan penatalaksanaan optimal karena bersifat mengancam jiwa. Pasien dengan trauma hepar dapat mengeluhkan nyeri abdomen kanan atas, hipotensi, dan syok. Diagnosis ruptur hepar tidak dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Diperlukan pemeriksaan penunjang, terutama pencitraan, yang sekaligus memberikan informasi tingkat kerusakan hepar.[1,4]
Anamnesis
Pasien dengan ruptur hepar umumnya mengeluhkan nyeri pada area epigastrium atau kuadran kanan atas, mual, muntah, distensi abdomen, gejala anemia, dan syok hipovolemik.
Anamnesis juga perlu mengarahkan penyebab dari ruptur hepar, misalnya trauma, preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP (haemolysis, elevated liver enzymes, low platelet count), atau karsinoma hepar.
Pada trauma tumpul atau trauma penetrasi dengan energi kinetik tinggi, seperti kecelakaan lalu lintas atau luka tembak, terdapat peluang tinggi kerusakan organ intraabdomen. Jika pasien sadar, maka dokter perlu mendapatkan informasi seperti:
- Apakah trauma merupakan trauma kinetik tinggi?
- Apakah pasien yang mengalami kecelakaan lalu lintas menggunakan sabuk pengaman?
- Perlu pula ditanyakan terkait senjata dan estimasi kehilangan darah bila yang terjadi adalah trauma penetrasi[4]
Pada anamnesis perlu pula ditanyakan penggunaan obat antikoagulan, seperti warfarin dan heparin.[1,4]
Pemeriksaan Fisik
Jika diduga terjadi ruptur hepar sekunder pada pasien trauma, maka perlu dilakukan pemeriksaan seluruh tubuh untuk mengantisipasi adanya trauma multipel. Survei primer diperlukan untuk mengidentifikasi adanya syok hipovolemik akibat perdarahan hepar.
Setelah survei primer selesai, survei sekunder harus dilakukan dengan pemeriksaan dari kepala hingga ujung kaki yang dapat mengidentifikasi potensi cedera. Pasien dengan cedera hepar dapat mengalami nyeri tekan pada kuadran kanan atas, dan distensi abdomen yang mengindikasikan hemoperitoneum.[4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding ruptur hepar dapat dibedakan menjadi penyebab nyeri abdomen setelah trauma lainnya dan penyebab ekstraabdomen.[4,6]
Penyebab Nyeri Abdomen Setelah Trauma Lainnya
Beberapa cedera dapat menyebabkan nyeri abdomen seperti pada ruptur hepar, terutama cedera pada:
- Lien
- Pankreas
- Duodenum
- Gaster
- Ginjal
- Pembuluh darah intraabdomen
Untuk dapat membedakan penyebab nyeri abdomen lain dengan ruptur hepar, perhatikan lokasi cedera. Cedera organ berongga seperti duodenum, gaster, dan usus jarang menimbulkan kondisi hipotensi yang berujung pada syok. Sementara itu, pada trauma ginjal nyeri akan muncul pada punggung atau daerah flank, disertai dengan hematuria atau gangguan berkemih. [4]
Penyebab Ekstraabdomen
Diagnosis banding ruptur hepar untuk penyebab ekstraabdomen dengan tanda syok hemoragik, antara lain hemothorax, fraktur panggul, dan fraktur tulang panjang multipel. Seluruh kondisi ini dapat dibedakan dengan ruptur hepar melalui pemeriksaan radiologi.[6]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus ruptur hepar adalah radiologi dan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi penting dalam penegakan diagnosis ruptur hepar, karena berfungsi mengonfirmasi diagnosis. Pada pasien ruptur hepar dengan penyebab sekunder, pemeriksaan focused assessment of sonography for trauma (FAST) di unit gawat darurat merupakan pilihan terbaik. Hasil negatif pada pemeriksaan FAST perlu dilanjutkan dengan CT Scan abdomen, terutama untuk pasien dengan hipotensi setelah cedera abdomen atau pasien dengan hemodinamik stabil setelah cedera penetrasi.
Pada pasien dengan kondisi hemodinamik stabil, pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah CT Scan abdomen dengan kontras intravena. Pemeriksaan ini memberikan hasil evaluasi cepat, termasuk derajat ruptur hepar dan membantu mendeteksi perdarahan aktif.[1,4,5]
USG mampu mengidentifikasi adanya hematoma, kontusio, biloma, hingga hemoperitoneum. Hematoma subkapsular biasanya tampak sebagai akumulasi cairan kurvilinear. Awalnya, hematoma bersifat anekoik, dan akan secara progresif menjadi semakin ekogenik.
MRI tidak lebih superior dibandingkan CT Scan dalam evaluasi ruptur hepar. Secara teori, MRI bermanfaat untuk pemantauan pasien, serta dapat menjadi alternatif pada pasien hamil atau anak dimana dosis radiasi menjadi perhatian. MRI dapat dipertimbangkan pada pasien yang stabil secara hemodinamik, karena waktu pengerjaannya yang panjang dan juga aksesnya yang terbatas. [14]
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien dengan sangkaan perdarahan, pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan serial kadar hemoglobin, laktat serum, dan defisit basa untuk memantau perkembangan perdarahan, upaya resusitasi, dan kebutuhan transfusi.[4]
Semakin tinggi kadar laktat maka semakin buruk kondisi pasien. Laktat adalah penanda indirek untuk kebutuhan oksigen, perfusi jaringan, dan tingkat keparahan syok hemoragik. Sementara defisit basa adalah penanda indirek untuk asidosis jaringan karena gangguan perfusi.[15]
Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen, kadar serum aminotransferase dapat menjadi bagian dalam pemeriksaan laboratorium awal. Pemeriksaan kadar aminotransferase bermanfaat terutama bagi pasien yang tidak segera menjalani tindakan pembedahan atau pemeriksaan radiologi. Pada pasien dengan cedera hepar, bisa ditemukan peningkatan kadar alanine aminotransferase (ALT), aspartate aminotransferase (AST), laktat dehidrogenase (LDH), dan gamma-glutamil transferase (GGT). [1,4]
Lavage Peritoneal
Lavage peritoneal diagnostik tidak secara rutin digunakan. Namun, tindakan ini dapat membantu untuk mendiagnostik hemoperitoneum pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil dengan riwayat trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan lavage peritoneal diagnostik dapat dipertimbangkan jika USG dan CT scan tidak tersedia.[4,5]