Pedoman Penanganan Sinusitis – Ulasan Guideline Terkini

Oleh :
dr. Novita

American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation mempublikasikan pedoman penanganan sinusitis pada tahun 2025. Pedoman ini bertujuan untuk membantu meningkatkan mutu penatalaksanaan rhinosinusitis pada orang dewasa serta memberikan panduan yang jelas bagi praktik klinis. Pedoman ini menekankan bahwa antibiotik tidak boleh digunakan secara rutin pada sinusitis dan hanya digunakan pada kondisi tertentu saja.

Pada pedoman ini, dilakukan perluasan rekomendasi ‘watchful waiting’ karena pada kebanyakan kasus sinusitis bisa bersifat swasirna. Pedoman ini juga memberikan penjelasan lebih lengkap mengenai kapan antibiotik perlu diberikan, apa pilihan antibiotik lini pertama, serta pilihan terapi lanjut seperti terapi biologis untuk sinusitis kronik dengan polip nasal.[1]

Pedoman Penanganan Sinusitis

Tabel 1. Tentang Pedoman Klinis Ini

Penyakit Sinusitis
Tipe Penatalaksanaan
Yang Merumuskan

American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF)

Tahun 2025
Negara Asal Amerika Serikat
Sasaran Spesialis THT-KL, dokter umum.

Penentuan Tingkat Bukti

Pedoman klinis sinusitis yang lama (tahun 2015) dikirimkan kepada panel ahli peninjau. Panel melakukan evaluasi terhadap pernyataan dalam pedoman lama dan memberikan rekomendasi apakah pernyataan tersebut masih relevan atau tidak sesuai dengan literatur atau pengobatan baru yang dapat mengubah rekomendasi.

Pencarian sistematik dilakukan oleh panel ahli pada situs MEDLINE, diperbarui mulai dari periode Desember 1990 hingga Maret 2024, serta dilakukan penambahan literatur yang bersumber dari situs seperti NICE, TRIP database, PubMed, Guideline Central, Guidelines International Network, Cochrane Library, dan EMBASE, dengan menggunakan kata kunci pencarian berupa sinusitis atau rhinosinusitis.

AAO-HNSF membentuk kelompok pengembang pedoman yang terdiri atas kelompok multidisiplin, seperti bedah kepala-leher, penyakit infeksi, kedokteran keluarga, alergi dan imunologi, serta perwakilan pasien. Kelompok tersebut mengadakan beberapa telekonferensi dan satu pertemuan tatap muka yang meninjau pendapat dari panel ahli dan hasil pencarian literatur untuk setiap bentuk tindakan.

Panel kemudian memutuskan apakah tindakan tersebut akan dibiarkan tanpa perubahan, dengan sedikit perubahan, atau ditulis ulang. Perubahan tindakan dan rekomendasi yang lama serta penambahan tindakan dan rekomendasi baru dilakukan sesuai aturan dan kesepakatan.[1]

Rekomendasi Utama untuk Diterapkan dalam Praktik Klinis Anda

Perubahan utama dibandingkan pedoman tahun 2015 mencakup perluasan strategi ‘watchful waiting’ sebagai pendekatan awal yang lebih disarankan pada sinusitis bakteri, karena sebagian besar pasien bisa membaik secara spontan.Pedoman ini juga memberi panduan yang lebih jelas mengenai indikasi penggunaan antibiotik, pilihan antibiotik, serta informasi terbaru mengenai terapi lanjutan seperti agen biologik untuk sinusitis kronis dengan polip nasal.

Yang terpenting, pedoman ini menekankan bahwa tidak semua kasus sinusitis memerlukan antibiotik. Pedoman ini menjelaskan bahwa terdapat terapi simptomatik yang efektif, seperti irigasi salin nasal dan semprot steroid nasal, yang dapat memberikan perbaikan gejala adekuat tanpa antibiotik.[1]

Diagnosis dan Pemeriksaan

Klinisi harus dapat membedakan antara rhinosinusitis bakteri akut (ABRS) dengan rhinosinusitis akut (ARS) yang disebabkan oleh virus maupun kondisi noninfeksius. Berikut rekomendasi terkait diagnosis dalam pedoman klinis ini:

  • ABRS bisa didiagnosis jika terdapat gejala atau tanda rhinosinusitis akut (pengeluaran cairan hidung yang purulen disertai dengan hidung tersumbat, nyeri atau tekanan pada wajah, atau keduanya) yang bertahan tanpa perbaikan selama minimal 10 hari sejak munculnya gejala saluran pernapasan atas; atau terdapat gejala atau tanda rhinosinusitis akut yang memburuk dalam waktu 10 hari setelah sebelumnya membaik.
  • Jangan lakukan pencitraan pada pasien yang memenuhi kriteria ARS kecuali dicurigai komplikasi atau terdapat diagnosis alternatif.
  • Klinisi harus membedakan antara rhinosinusitis kronik (CRS) dan rhinosinusitis akut berulang (RARS) dengan episode tunggal ABRS serta penyebab lain dari gejala sinonasal.
  • Klinisi harus memastikan diagnosis klinis rhinosinusitis kronik (CRS) dengan temuan objektif peradangan sinonasal, yang dapat dinilai melalui pemeriksaan rhinoskopi anterior, endoskopi hidung, atau computed tomography (CT scan).
  • Pemeriksaan alergi dan fungsi imun dapat dipertimbangkan saat mengevaluasi pasien dengan rhinosinusitis kronik (CRS) atau rhinosinusitis akut berulang (RARS).
  • Pastikan ada atau tidaknya polip nasal pada pasien dengan rhinosinusitis kronik (CRS).[1]

Pengobatan Simptomatik

Rekomendasi terkait terapi simptomatik antara lain:

  • Analgesik, steroid intranasal topikal, atau irigasi nasal dengan larutan salin bisa digunakan untuk meredakan gejala pada rhinosinusitis viral. Hindari pemberian antibiotik pada kasus rhinosinusitis viral.
  • Pertimbangkan pemberian analgesik, steroid intranasal topikal, atau irigasi nasal dengan salin untuk meredakan gejala pada rhinosinusitis bakteri akut. Lakukan observasi tanpa pemberian antibiotik untuk pasien dewasa dengan rhinosinusitis bakteri akut tanpa komplikasi.[1]

Pemberian Antibiotik

Perlu dicatat bahwa pemberian antibiotik sebaiknya sangat selektif pada kasus sinusitis bakterial. Berbeda dengan versi sebelumnya, pedoman ini menganjurkan watchful waiting sebagai terapi inisial sinusitis akut, tanpa pemberian antibiotik. Antibiotik dapat dipertimbangkan pada sinusitis akut jika:

  • Kondisi klinis pasien memburuk atau tidak menunjukkan perbaikan setelah 3-5 hari observasi (watchful waiting)
  • Gejala berat yang ditandai oleh demam tinggi (39°C) dan sekret nasal purulen yang berlangsung setidaknya 3–4 hari berturut-turut
  • Manifestasi klinis mengarah pada komplikasi supuratif dengan perluasan infeksi keluar dari sinus
  • Episode sinusitis diduga kuat berasal dari sumber odontogenik.

Berikut adalah rekomendasi terkait pemberian antibiotik menurut pedoman klinis ini:

  • Jika diputuskan untuk mengobati rhinosinusitis bakteri akut dengan antibiotik, klinisi sebaiknya meresepkan amoxicillin dengan atau tanpa klavulanat sebagai terapi lini pertama selama 5-7 hari.
  • Jika pasien tidak menunjukkan perbaikan atau justru memburuk meskipun sudah menggunakan antibiotik yang tepat selama 3-5 hari, lakukan evaluasi ulang untuk memastikan diagnosis, menyingkirkan penyebab lain, dan mendeteksi adanya komplikasi. Jika memang rhinosinusitis bakteri akut, klinisi sebaiknya mengganti jenis antibiotik.
  • Pastikan ada atau tidaknya polip nasal pada pasien dengan rhinosinusitis kronik. Klinisi sebaiknya tidak meresepkan terapi antimikroba secara rutin untuk pasien dewasa dengan rhinosinusitis kronik tanpa eksaserbasi akut.[1]

Terapi Sinusitis Kronik

Seperti telah disebutkan sebelumnya, terapi non-antibiotik seperti irigasi nasal dan semprot kortikosteroid intranasal merupakan terapi yang lebih disukai untuk penanganan sinusitis. Berikut ini adalah beberapa rekomendasi terapi lainnya pada kasus rhinosinusitis kronik:

  • Irigasi nasal dengan cairan salin, kortikosteroid intranasal topikal, atau kombinasi keduanya adalah terapi yang direkomendasikan untuk meredakan gejala rhinosinusitis kronik.
  • Terapi antifungal topikal atau sistemik tidak direkomendasikan untuk pasien dengan rhinosinusitis kronik.
  • Penggunaan rutin terapi biologis antibodi monoklonal seperti dupilumab, mepolizumab, atau omalizumab, tidak direkomendasikan untuk pengobatan pasien dewasa dengan rhinosinusitis kronik tanpa polip.[1]

Perbandingan dengan Pedoman Klinis di Indonesia

Secara umum pedoman klinis terkait sinusitis di Indonesia, seperti yang dipublikasikan oleh Kementerian Kesehatan dan Perhimpunan Ahli Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Indonesia (PERHATI) memiliki persamaan dengan pedoman AAO-HNSF. Keduanya menekankan selektivitas penggunaan antibiotik dan pentingnya membedakan antara rhinosinusitis bakteri akut (ABRS) dan rhinosinusitis virus (VRS) berdasarkan durasi dan pola gejala.

Selain itu, kedua pedoman sama-sama tidak menganjurkan pemeriksaan pencitraan rutin pada kasus tanpa komplikasi. Pedoman-pedoman tersebut juga merekomendasikan terapi topikal, seperti irigasi salin dan kortikosteroid intranasal, untuk meredakan gejala pada kasus sinusitis.[2,3]

Kesimpulan

Pedoman American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation tahun 2025 untuk penanganan sinusitis merupakan pembaruan berbasis bukti terhadap versi sebelumnya. Beberapa rekomendasi utama dalam pedoman klinis ini adalah:

  • Antibiotik tidak digunakan secara rutin pada kasus sinusitis akut. Terapi yang dianjurkan sebagai terapi inisial pada kasus sinusitis akut adalah watchful waiting, kecuali jika terdapat manifestasi berat atau gejala memburuk dalam 3-5 hari.
  • Jika antibiotik digunakan, maka pilihan antibiotik yang direkomendasikan adalah amoxicillin dengan atau tanpa klavulanat, diberikan selama 5-7 hari.
  • Untuk meredakan gejala sinusitis, dapat digunakan irigasi nasal dengan cairan salin dan semprot kortikosteroid intranasal
  • Pada kasus sinusitis kronik, pastikan ada tidaknya polip nasal. Selain itu, terapi antibodi monoklonal sebaiknya tidak digunakan secara rutin.

Referensi