Manajemen hipertensi postpartum bersifat krusial karena mayoritas kematian ibu yang berhubungan dengan hipertensi terjadi setelah persalinan. Hipertensi postpartum dapat didefinisikan sebagai hipertensi yang terjadi dalam rentang waktu 6 minggu setelah persalinan. Hipertensi tersebut bisa berupa hipertensi dalam kehamilan yang persisten hingga masa postpartum maupun hipertensi de novo di masa postpartum.[1]
Hipertensi postpartum terjadi pada sekitar 2% kehamilan. Hipertensi gestasional dan preeklampsia merupakan penyebab terbanyak, sedangkan penyebab lain dapat berupa hipertensi kronis yang memburuk dan superimposed preeklampsia.[1]
Hingga saat ini, masih terdapat keterbatasan data terkait faktor risiko, patogenesis, dan patofisiologi hipertensi postpartum. Akan tetapi, bukti sudah menunjukkan dengan jelas bahwa preeklampsia selama kehamilan (walaupun sembuh setelah persalinan) dapat menyebabkan disfungsi endotelial berkelanjutan dan disfungsi renal postpartum, yang dapat menyebabkan hipertensi postpartum.[2]
Mayoritas kematian ibu yang berhubungan dengan hipertensi terjadi setelah persalinan. Puncak tekanan darah terjadi dalam periode ini sehingga komplikasi yang berhubungan dengan hipertensi seperti stroke dan kardiomiopati sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, manajemen hipertensi postpartum harus dilakukan dengan cermat.[3,4]
Sekilas tentang Penyebab Hipertensi Postpartum
Hipertensi postpartum dapat berupa hipertensi dalam kehamilan yang persisten hingga masa postpartum atau hipertensi de novo pada pasien dengan riwayat tekanan darah normal. Hipertensi dalam kehamilan merupakan kondisi kompleks yang multifaktorial, yang berhubungan dengan peningkatan curah jantung selama kehamilan, peningkatan estrogen, dan peningkatan plasma renin hingga 28–30 minggu kehamilan.[4,5]
Renin meningkatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosterone dan retensi garam serta cairan, sehingga volume darah dan tekanan darah meningkat. Resistensi insulin, peningkatan berat badan, dan dislipidemia selama kehamilan juga akan menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis, disfungsi endotel, dan aktivasi sistem renin-angiotensin. Semua hal ini menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan cairan intravaskular, yang berujung pada hipertensi.[5]
Dalam kasus hipertensi de novo, pasien sebelumnya memiliki tekanan darah normal saat hamil dan sebelum hamil, tetapi mengalami hipertensi pada periode postpartum. Hingga saat ini, penyebab hipertensi postpartum de novo masih tidak diketahui dengan pasti. Namun, beberapa studi mengaitkan kondisi ini dengan diabetes pregestasional yang berhubungan dengan disfungsi plasenta.[4]
Mortalitas dan morbiditas yang secara langsung berkaitan dengan hipertensi dilaporkan paling banyak terjadi dalam 1–6 hari postpartum. Oleh sebab itu, monitoring tekanan darah dan pemberian terapi sangat krusial dalam periode ini. Setelah minggu 2–4, tekanan darah akan cenderung stabil. Namun, pada beberapa individu, tekanan darah dapat bertahan >140/90 mmHg.[3]
Pemilihan Obat Antihipertensi untuk Hipertensi Postpartum
Manajemen hipertensi postpartum berfokus pada kontrol tekanan darah dengan obat antihipertensi, eliminasi risiko lebih lanjut, dan identifikasi penyebab lain selama periode postpartum. Obat antihipertensi oral direkomendasikan pada pasien postpartum dengan tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau diastolik ≥100 mmHg.[1]
Pemilihan obat oral dapat menjadi tantangan tersendiri pada periode postpartum karena harus turut mempertimbangkan bayi yang disusui. Umumnya, obat antihipertensi oral yang disarankan dalam periode ini sama dengan obat antihipertensi yang dinyatakan aman dalam kehamilan, misalnya nifedipine atau labetalol.[1,6]
Penelitian menunjukkan bahwa keduanya dapat secara efektif mengendalikan tekanan darah pada periode postpartum. Selain itu, labetalol dan nifedipine juga dilaporkan hanya terdeteksi dalam jumlah sedikit dalam ASI, sehingga aman digunakan untuk ibu yang menyusui. Nifedipine dan labetalol juga dilaporkan mengurangi readmisi pasien ke rumah sakit karena komplikasi.[1,6]
Obat oral lain yang dapat menjadi alternatif adalah amlodipine dan enalapril. Studi menunjukkan bahwa amlodipine dan enalapril hanya terdeteksi sangat sedikit dalam ASI, sehingga kemungkinan aman untuk ibu menyusui. Namun, dokter perlu mengingat bahwa amlodipine termasuk dalam kategori C (FDA) dan enalapril termasuk dalam kategori D (FDA), sehingga keduanya tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan hanya bisa diinisiasi pada periode postpartum.[1,6]
Diuretik thiazide juga hanya bisa diinisiasi pada periode postpartum. Obat ini terutama bermanfaat untuk membuang cairan berlebih dalam tubuh, misalnya pada kasus yang disertai edema perifer. Obat ini diduga tidak memengaruhi bayi, tetapi dapat menekan produksi ASI bila dipakai dalam dosis tinggi.[1]
Langkah Manajemen Lain untuk Hipertensi Postpartum
Selain pemberian obat antihipertensi, terdapat beberapa langkah manajemen lain yang tidak kalah penting. Pada kasus yang berat, pemberian magnesium secara intravena direkomendasikan untuk profilaksis kejang. Magnesium dapat diberikan selama 12–24 jam pada pasien hipertensi postpartum yang memiliki gejala berat.[1]
Terapi hipertensi postpartum juga harus diiringi dengan modifikasi pola makan dan aktivitas fisik yang sesuai. Aktivitas fisik dapat meningkatkan kesehatan kardiometabolik tanpa memengaruhi kualitas maupun kuantitas ASI. Anjurkan pasien untuk selalu mempertahankan berat badan ideal dan mengonsumsi asupan gizi yang seimbang.[6]
Edukasi pasien agar proaktif dan turut berpartisipasi dalam sistem monitoring mandiri dengan memanfaatkan teknologi dan supervisi jarak jauh dengan telemedicine. Sistem monitoring mandiri dapat meningkatkan kontrol tekanan darah pada 6–9 bulan setelah persalinan. Sistem monitoring mandiri sudah direkomendasikan oleh WHO dan sudah banyak digunakan di negara maju. Sistem ini juga dapat terintegrasi dengan layanan antenatal care.[7-9]
Kunjungan rumah untuk konseling dan pemeriksaan juga dianjurkan. Dalam konseling, dokter atau tenaga kesehatan dapat menyarankan cara pemakaian obat, tanda bahaya, aktivitas fisik yang direkomendasikan, dan pola diet yang direkomendasikan.[10,11]
Kesimpulan
Obat antihipertensi yang digunakan selama periode postpartum harus dipilih dengan berbagai pertimbangan termasuk pengaruhnya terhadap ASI. Nifedipine dan labetalol sering direkomendasikan karena aman untuk ibu menyusui dan juga sudah nyaman diresepkan oleh dokter sejak kehamilan. Opsi obat lain yang tidak dianjurkan saat hamil tetapi bisa digunakan saat menyusui karena hanya terdapat dalam jumlah sedikit dalam ASI adalah enalapril dan amlodipine.
Manajemen hipertensi postpartum juga perlu memperhatikan gejala lain, misalnya ada tidaknya edema perifer, yang bisa diterapi dengan diuretik thiazide. Namun, dosis tidak boleh terlalu tinggi karena mungkin mengurangi produksi ASI. Pada pasien hipertensi postpartum yang parah, magnesium intravena diberikan untuk profilaksis kejang.
Selain pemberian obat-obatan, sistem monitoring yang baik juga berperan penting dalam keberhasilan manajemen hipertensi postpartum. Dokter atau tenaga kesehatan dapat melakukan supervisi secara berkala dengan melakukan kunjungan rumah atau dengan mengedukasi pasien untuk menggunakan sistem monitoring mandiri.