Makanan Cepat Saji Meningkatkan Risiko Asma dan Penyakit Alergi Lainnya

Oleh :
Immanuela Hartono

Berbagai studi menemukan konsumsi makanan cepat saji, termasuk makanan tinggi lemak dan minuman ringan,  berhubungan dengan penyakit alergi, terutama asma. Namun, mekanisme yang menjelaskan hubungan ini masih belum diketahui secara keseluruhan.

Mekanisme Hubungan Makanan Cepat Saji dan Asma atau Penyakit Alergi Lainnya

Pola diet tinggi makanan cepat saji berpengaruh terhadap asthma karena asthma merupakan penyakit yang berhubungan dengan inflamasi sistemik. Pola diet tinggi makanan cepat saji yang tinggi akan lemak jenuh serta rendahnya antioksidan akan memicu aktivasi sistem imun seperti toll like receptor 4 (TLR4) yang akan menstimulasi jalur inflamasi NF-kB. Hal ini berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit alergi, terutama asthma.

Depositphotos_25595207_m-2015_compressed

Pola makan Western, yang ditandai dengan asupan lemak tinggi dapat menyebabkan inflamasi pada saluran pernapasan. Konsumsi makanan dengan kadar lemak tinggi terbukti meningkatkan produksi neutrofil pada sputum dalam 4 jam postprandial. Pada orang dewasa dengan asthma berat, konsumsi lemak tinggi dan serat pangan rendah berhubungan dengan peningkatan eosinofil pada saluran napas.

Konsumsi minuman ringan yang banyak mengandung gula sederhana juga dihubungkan dengan terjadinya asthma. Minuman seperti ini dapat menyebabkan malabsorpsi fruktosa, sehingga terbentuk senyawa proinflamasi di usus. Jika diserap tubuh, senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya asthma.[1,2]

Studi mengenai Hubungan Makanan Cepat Saji dan Asma atau Penyakit Alergi Lainnya

Metaanalisis oleh Wang, et al. pada tahun 2018 menilai hubungan antara makanan siap saji dengan asthma, gejala asthma, eczema, dan alergi lain, termasuk rhino konjungtivitis. Metaanalisis ini mendapatkan hubungan bermakna antara konsumsi makanan siap saji dengan asthma dan alergi. Selain itu, ditemukan juga  dose–response relationship antar variabel tersebut.[3]

Secara spesifik, konsumsi hamburger didapatkan berkontribusi terhadap hubungan ini. Konsumsi hamburger 3 kali/minggu atau lebih berhubungan dengan gejala asthma dan mengi yang lebih berat, dibandingkan konsumsi 1–2 kali/ minggu.[3]

Studi potong lintang pada populasi remaja oleh Nkosi, et al. di tahun 2020 juga mendapatkan hal yang sama. Frekuensi makan makanan siap saji sebanyak 3 kali/minggu atau lebih berhubungan dengan kejadian mengi dan asthma. Limitasi studi ini disebabkan oleh desainnya yang berupa potong lintang, sehingga tidak dapat mencari hubungan kausalitas.[4]

Studi potong lintang pada tahun 2021 oleh Zhi, et al. menilai hubungan pola makan dengan asthma pada populasi dewasa berusia di atas 20 tahun. Pola makan dibagi menjadi 3, yaitu pola makan tradisional, yang ditandai dengan asupan tinggi nasi, daging ayam/sapi/ikan, dan roti, pola makan prudent, yang tinggi asupan buah, sayur, dan ikan, serta pola makan siap saji/manis, yang ditandai dengan asupan tinggi makanan manis, cepat saji, dan minuman ringan.[5]

Hasil studi mendapatkan pola makan siap saji/manis berhubungan dengan peningkatan prevalensi asthma sebesar 1,25 kali pada populasi studi. Pola makan tradisional dan prudent tidak ditemukan berhubungan dengan asthma.[5]

Kesimpulan

Studi yang ada menunjukkan adanya korelasi antara makanan cepat saji dan peningkatan risiko asthma serta penyakit alergi lainnya. Selain itu, terjadi peningkatan tingkat keparahan penyakit pada pasien dengan konsumsi makanan cepat saji yang tinggi. Walau demikian, hal ini masih memerlukan penelitian dengan metodologi yang lebih baik karena uji yang ada kebanyakan masih berupa uji potong lintang dan case control.

Dokter sebaiknya menganjurkan pasien untuk mengikuti pola makan yang lebih sehat, misalnya pola diet Mediterania yang kaya akan buah dan sayuran, atau menyesuaikan dengan pola makan tradisional Indonesia, seperti nasi, ikan atau ayam, dan mengonsumsi banyak sayuran. Dengan demikian, pasien bisa menjadi lebih sehat dan terhindar dari risiko berbagai penyakit kronis, termasuk sindrom metabolik, dan diabetes mellitus tipe 2.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi