Kortikosteroid dan Risiko Aktivasi Tuberkulosis

Oleh :
dr.Nurfanida Librianty, Sp.P, FAPSR

Muncul kekhawatiran oleh beberapa ahli ada risiko aktivasi tuberkulosis (TB) akibat pemberian obat jenis kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan salah satu  golongan obat yang seringkali diresepkan oleh dokter untuk berbagai kondisi dari autoimun, reaksi alergi, hingga infeksi.[1,2,4]

Saat ini, tuberkulosis (TB) adalah penyakit endemis di Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh The Republic of Indonesia Join External Monitoring Mission for Tuberculosis tahun 2020, Indonesia masuk ke peringkat ketiga beban TB dunia. Data tahun 2018, WHO mengestimasikan adanya 845,000 kasus TB dengan 93,000 kematian di Indonesia. Kasus TB juga meningkat akibat epidemi HIV, diestimasikan adanya 21,000 kasus baru TB akibat infeksi HIV. Sehingga, bisa diasumsikan banyaknya kasus TB laten di Indonesia.[1,2]

Kortikosteroid dan Risiko Aktivasi Tuberkulosis-min

Kortikosteroid merupakan golongan obat yang banyak digunakan pada banyak penyakit, penyakit ringan maupun berat,  baik jangka pendek maupun panjang, baik oral, injeksi, inhalasi atau dalam bentuk sediaan lain. Penggunaan kortikosteroid ini diduga bisa memberikan risiko aktivasi TB.[3]

Salah satu faktor yang menjadi faktor risiko TB paru adalah penggunaan terapi kortikosteroid jangka panjang (≥15 mg/hari, >1 bulan). Glukokortikosteroid sistemik pada kasus dermatologi sering digunakan dan bisa menekan sistem imun. Kortikosteroid inhalasi (inhaled corticosteroid/ICS) juga salah satu pengobatan yang sering diberikan pada penyakit respirasi.[3,4]

Seringkali juga, kortikosteroid diresepkan kepada pasien saat tidak ditemukan tanda atau gejala klinis yang mendukung penggunaannya, seperti batuk non-spesifik, nyeri sendi dan “peradangan”.[4]

Kortikosteroid Sistemik dan Topikal Sebagai Faktor Risiko TB

Sebagian besar orang yang kontak dengan bakteri TB tidak jatuh sakit oleh karena bakteri dorman di dalam tubuh. Sistem imun yang baik menjaganya tetap dalam kondisi dorman selama bertahun-tahun. Berbeda pada individu dengan sistem imun yang menurun, akibat obat-obatan maupun penyakit,  maka TB bisa menjadi aktif. Salah satunya adalah penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Diduga pemberian kortikosteroid dapat memberikan risiko aktivasi TB laten. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid jangka panjang bisa menekan sistem imunitas.[3,5]

Studi di Cina mendapatkan pemberian glukokortikoid dosis tinggi (>15 mg/hari), komorbid interstitial lung disease, dan malignansi secara signifikan berhubungan dengan aktivasi TB laten. Lai et al. di Taiwan mendapatkan bahwa penggunaan kortikosteroid oral signifikan berhubungan dengan kejadian TB paru.[6,12]

Risiko Aktivasi TB pada Penggunaan Steroid Sistemik

Sebuah artikel review oleh Butt et al., tahun 2015 melaporkan adanya korelasi antara pemberian kortikosteroid pada kasus dermatologi dengan aktivasi TB di sejumlah negara.  Berdasarkan artikel ini, beberapa negara seperti India, Korea, Jepang, Turki, Inggris, dan Pakistan membandingkan insidens TB paru pada pasien dermatologis yang menggunakan steroid sistemik dosis tinggi.[3]

Studi kasus-kontrol yang dilakukan di India oleh Pal et al., yang menyertakan 143 pasien penyakit paru dengan terapi steroid oral dalam 1 tahun. Hasil yang didapatkan sesuai dengan penelitian ini adalah sebanyak 7 pasien (4,9%) pada grup steroid didapatkan mengidap TB, sedangkan ditemukan 0 pasien dari grup kontrol (p<0,05). Semua pasien TB  mendapatkan standar tata laksana TB, akan tetapi tercatat 1 pasien meninggal akibat komplikasi TB. Studi ini menjabarkan adanya hubungan pemberian kortikosteroid sistemik jangka panjang dengan peningkatan insiden TB.[7]

Adjusted odds ratio pada penyakit TB dan penggunaannya bersama dengan kortikosteroid dan dibandingkan dengan tanpa kortikosteroid sebagai kontrol adalah 4,9% (CI: 95%, 2,9 - 8,2). Penggunaan dosis tinggi kortikosteroid diasosiasikan dengan peningkatan risiko berkembangnya TB, dengan dosis prednisone <15 mg/hari (OR: 2,8) dan dosis >15 mg meningkat menjadi OR 7,7. Studi lain di Inggris mengevaluasi faktor-faktor risiko TB dan menyimpulkan pasien dengan terapi glukokortikoid dapat meningkatkan risiko kejadian TB secara  independen dibandingkan faktor risiko lain seperti merokok, diabetesemfisemabronkitis, dan asma.[8]

Di Turki studi pada 556 pasien systemic lupus erythematosus (SLE) dengan terapi prednisolone ditemukan 20 pasien dengan TB. Penelitian ini juga menemukan bahwa pasien SLE dengan dosis kortikosteroid yang tinggi dapat meningkatkan risiko insiden TB.[9]

Sebuah laporan kasus oleh Shital Patil dan Anil Jadhay melihat adanya keterkaitan antara pemberian dosis tinggi kortikosteroid dapat menyebabkan reaktivasi TB Laten. Seorang pasien usia muda mendapatkan dosis tinggi steroid secara intravena akibat reaksi anafilaksis, pasca perawatan akibat reaksi anafilaksis pasien datang dengan gejala pneumonia dengan hasil radiologi adanya kolaps lobus paru kanan dengan efusi. Pemeriksaan lanjutan dengan Gene Xpert/MTB didapatkan deteksi genome MTB tanpa mutasi rifampisin. Pasien membaik setelah mendapatkan regimen TB Paru.[5]

Risiko Aktivasi TB pada Penggunaan Kortikosteroid Inhalasi

Studi di Korea didapatkan penggunaan ICS berhubungan dengan peningkatan risiko TB pada negara endemis. Sebelumnya studi kohort di Kanada melaporkan peningkatan risiko terjadi TB pada pengguna ICS. Peningkatan risiko TB juga terobservasi pada steroid oral dosis rendah 7,5 mg prednisone.[4]

Studi meta-analisis oleh Castelana et al,. menilai adanya hubungan antara kortikosteroid inhalasi dengan peningkatan risiko TB pada pasien dengan PPOK. Berdasarkan 9 artikel mengenai peresepan kortikosteroid inhalasi pada pasien dewasa dengan penyakit paru, sebanyak 36,351 pasien mendapatkan kortikosteroid inhalasi dan 147,171 tidak diberikan kortikosteroid inhalasi.[10]

Hasil penelitian ini menunjukan adanya peningkatan risiko TB pada pasien kelompok kortikosteroid inhalasi vs tidak mendapatkan kortikosteroid inhalasi (OR=1,46). Peningkatan risiko TB juga terjadi pada pasien yang memiliki penyakit paru yang pernah mendapatkan kortikosteroid sebelumnya, belum pernah mendapatkan kortikosteroid, maupun mendapatkan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, sedang, maupun rendah. Selain itu, penelitian ini juga menilai pemberian kortikosteroid inhalasi bersamaan dengan sistemik. Hasil yang didapatkan adalah adanya peningkatan TB dengan pemberian kortikosteroid inhalasi secara independen.Pada pasien dengan rheumatic disease juga ada risiko aktivasi TB laten.[10]

Skrining TB Paru Selama Terapi Steroid Dosis Tinggi Jangka Panjang

Sebelum memulai terapi steroid dosis tinggi , sebaiknya gali riwayat detail pasien mengenai kontak TB, riwayat pengobatan TB aktif atau laten, vaksinasi BCG dan gejala TB yang mungkin dialami saat ini. Tes Mantoux harusnya menjadi dasar pada daerah endemik seperti Pakistan, serta pemeriksaan foto toraks juga diperlukan sebagai skrining awal.[3]

Berikut rekomendasi untuk pasien yang akan menjalani terapi steroid dosis tinggi:

  • Jika pasien pasien berdasarkan klinis dan foto toraks ditemukan TB aktif atau suspek maka tatalaksana TB aktif direkomendasikan
  • Jika pasien tidak memiliki bukti klinis dari penyakit aktif, ada/tidaknya riwayat sebelumnya pengobatan TB dan tidak ada kontak baru TB maka tidak perlu ditatalaksana, tetapi tetap perlu diobservasi. Jika kasusnya ada kontak dengan pasien TB maka ditatalaksana sebagai TB laten
  • Ketika riwayat pengobatan tidak jelas maka perlu reevaluasi radiologi. Terapi TB laten dilakukan jika ditemukan lesi fibrosis di lobus atas yang sugestif TB ditemukan. Jika hanya kalsifikasi kecil nodul paru maka tidak perlu tatalaksana
  • Jika ada riwayat pengobatan sebelumnya atau ditemukan pemeriksaan yang mengarah ke TB. Ketika tidak bisa dibedakan TB aktif atau TB laten, TB laten didiagnosis Ketika telah mengeksklusi kasus TB aktif yang ditemukan dengan tes infeksi TB aktif. Tes infeksi TB termasuk tuberculin skin test (TST) dan interferon gamma release assays (IGRA) yang dapat mendeteksi respon terhadap antigen spesifik tuberculosis. Semua tes memiliki nilai spesifisitas tinggi. Jika diantara keduanya positif maka didiagnosis TB laten[2]

Pasien yang sedang menjalani terapi dengan kortikosteroid, risiko reaktivasi TB meningkat 2,8-7,7 kali. Walaupun secara evidens didukung untuk memberikan terapi preventif pada TB laten, masuk akal jika semua pasien yang mendapatkan terapi kortikosteroid di evaluasi risiko terkena TB. Seperti pada pasien yang mendapatkan dosis tinggi kortikosteroid dan memiliki risiko tinggi TB reaktivasi seperti infeksi HIV, silicosis, transplantasi organ, terapi profilaksis mungkin dibutuhkan untuk menurunkan insiden TB.[11]

Follow-Up Dan Rekomendasi Selama Terapi Steroid

Pada daerah endemis yang kemungkinan adanya risiko kontak dengan pasien TB maka pasien harus diedukasi tentang gejala dan keluhan suspek TB. Jika didapatkan gejala tersebut maka pasien hendaklah ke rumah sakit segera untuk melakukan diagnosis tes TB seperti tes infeksi TB atau foto toraks.

Ketika pasien dengan terapi kortikosteroid sistemik dosis tinggi jangka panjang didiagnosis TB aktif maka obat antituberkulosis haruslah diberikan tanpa menghentikan terapi steroid. Dosis steroid harus disesuaikan untuk mengobati kondisi dermatosis pasien dan diturunkan bertahap (tapering-off) hingga dosis minimal. Tes resistensi obat juga perlu dilakukan untuk identifikasi. Periode pengobatan TB sama seperti halnya pengobatan TB biasa.[3,12]

Long et al merekomendasikan pada pasien rheumatic disease di Tiongkok, sebaiknya dilakukan skrining dan terapi pencegahan TB laten dan pada pasien systemic lupus erythematosus. Anjuran pemberian terapi glukokortikoid adalah dosis 15 mg prednisone atau yang setara dalam sehari jika diberikan lebih dari 4 minggu.[12]

Kesimpulan

Berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia saat ini, kortikosteroid menjadi risiko independen aktivasi TB di negara endemis seperti Indonesia. Risiko aktivasi TB sebanding dengan lama pengobatan dan dosis prednison setara atau lebih dari 15 mg/hari. Walaupun bukti klinis menyatakan adanya peningkatan risiko TB paru dengan kortikosteroid sistemik, akan tetap risiko ini lebih rendah dibandingkan dengan kortikosteroid sistemik. Akan tetapi, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hal ini lebih dalam.

Oleh sebab itu, dokter perlu mempertimbangkan manfaat dan risiko sebelum meresepkan kortikosteroid pada pasien. Pemberian kortikosteroid perlu disesuaikan dengan indikasi, dimulai dari dosis terendah, pentingnya step-down yang tepat, dan meminimalkan risiko steroid jangka panjang.

Pasien dengan terapi steroid sistemik dosis tinggi jangka panjang diperlukan skrining TB paru sebelum dan setelah 3 bulan mendapatkan steroid sistemik. Beberapa ahli hanya merekomendasikan skrining TB sebelum terapi steroid diberikan.

Referensi