Kontroversi Penggunaan Obat Antimotilitas dalam Penanganan Diare

Oleh :
Sunita

Penggunaan obat antimotilitas dalam penanganan diare, khususnya yang berkaitan dengan infeksi bakteri invasif seperti Salmonella, Shigella, dan Campylobacter, telah cukup lama ditentang. Hal ini disebabkan adanya bukti dari penelitian hewan coba tahun 1960an yang mengungkap peran motilitas usus dalam pertahanan alamiah terhadap infeksi saluran cerna dengan cara membersihkan usus dari bakteri enteropatogen. Sementara itu, penelitian klinis pada partisipan dewasa yang mengalami shigellosis dan mendapat terapi antimotilitas berupa kombinasi difenoksilat dan atropin (DPO/A) menunjukkan pemanjangan durasi demam dan peluruhan bakteri melalui feses yang persisten. [1]

Walaupun penggunaan zat antimotilitas tidak disarankan untuk pemberian rutin dalam tatalaksana diare, bukti terbaru mengisyaratkan bahwa obat-obatan tersebut mungkin bermanfaat pada pasien dengan karakteristik klinis tertentu. [2]

diare

Bukti Ilmiah Penggunaan Obat Antimotilitas pada Diare

Studi klasik oleh Novak et al dapat dianggap sebagai bukti ilmiah awal yang menentang praktik pemberian antimotilitas pada diare. Novak et al melakukan sebuah uji klinis prospektif dengan penyamaran pada tahun 1976 yang menunjukkan bahwa pemberian difenoksilat dan atropin (DPO/A) sebagai agen antimotilitas memperpanjang durasi gejala dan pasase tinja cair pada orang dewasa yang mengalami diare imbas linkomisin. [3]

Pada tahun-tahun berikutnya, penelitian lain yang mempelajari dampak negatif terkait penggunaan obat antimotilitas pada diare yang disebabkan oleh infeksi (misalnya, infeksi Clostridium difficile/CDI) mulai bermunculan. Sejumlah luaran klinis buruk seperti megakolon toksik, kekambuhan kolitis, dan infeksi sistemik diduga berkaitan dengan penggunaan obat antimotilitas pada kasus CDI. [4,5]

Di sisi lain, terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa agen antimotilitas seperti loperamide terbukti efektif dalam penanganan diare, khususnya traveler’s diarrhea (TD). Penggunaan loperamide berkaitan dengan pemendekan durasi penyakit dan jumlah pasase tinja cair. [6,7] Selain itu, penggunaan loperamide sebagai terapi adjuvan bagi antibiotik pada TD dapat mengurangi durasi diare dibandingkan penggunaan terapi antibiotik saja. [8]

Penggunaan Antimotilitas pada CDI

Sebuah tinjauan sistematik oleh Koo et al menelaah dasar rekomendasi yang membatasi penggunaan antimotilitas pada infeksi Clostridium difficile (CDI). Studi ini menyimpulkan bahwa bukti ilmiah yang mengaitkan perburukan CDI dengan penggunaan antimotilitas masih lemah. Kesimpulan tersebut ditarik berdasarkan minimnya efek samping yang timbul ketika obat digunakan bersama antibiotik spesifik seperti vankomisin atau metronidazole.

Tetapi perlu dicatat bahwa tinjauan sistematik yang dilakukan Koo et al memiliki berbagai kekurangan. Jumlah total pasien yang ditelaah adalah 55 pasien, dimana 32 di antaranya diambil dari laporan kasus. Selain itu, walaupun studi ini menunjukkan rendahnya efek samping obat antimotilitas, tidak dilaporkan adanya efektivitas yang lebih tinggi juga. [1]

Penggunaan Antimotilitas pada Traveler’s Diarrhea

Selain untuk penanganan CDI, berbagai bukti ilmiah turut mempelajari manfaat obat antimotilitas pada pengobatan traveler’s diarrhea (TD). Sebuah uji klinis acak dengan penyamaran ganda melibatkan 310 partisipan dewasa dengan diare akut untuk mengetahui efikasi rifaksimin tunggal, loperamid tunggal, atau kombinasi rifaksimin-loperamid dalam mengatasi TD.

Hasil penelitian tersebut mengungkap bahwa rifaksimin tunggal dan kombinasi rifaksimin-loperamid, dibandingkan loperamid tunggal, secara bermakna mengurangi rerata durasi diare. Secara khusus, frekuensi diare paling rendah tercatat pada pasien yang mendapat terapi kombinasi rifaksimin-loperamid. Seluruh rejimen terapi juga ditoleransi dengan baik oleh pasien. Kram dan nyeri perut merupakan keluhan yang sering dilaporkan pada pasien yang mendapat loperamid. Efek samping muntah juga lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat loperamid walaupun juga dapat ditemukan pada pasien yang mendapat rifaksimin tunggal maupun kombinasi dengan loperamid. [8]

Sementara itu, bukti mutakhir mengisyaratkan bahwa paparan antibiotik pada individu dengan TD berpotensi meningkatkan risiko infeksi bakteri dengan multidrug resistance (MDR). Laaveri et al melakukan sebuah tinjauan sistematik tentang efektivitas loperamid pada penatalaksanaan TD. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa loperamid tanpa kombinasi antibiotik cukup aman pada kasus TD derajat ringan atau sedang. Loperamid dianggap sebagai alternatif yang lebih baik pada TD ringan dan sedang dibandingkan pemberian antibiotik yang kelak berisiko menimbulkan MDR. Secara spesifik, terdapat bukti bahwa penggunaan antibiotik pada TD berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi extended-spectrum  beta-lactamase-producing Enterobacteriaceae (ESBL-PE). [9]

Kekhawatiran terhadap peningkatan risiko MDR semakin bermakna khususnya pada area yang mulai menunjukkan peningkatan kejadian resistensi antibiotik seperti Asia Tenggara. Sejumlah bakteri seperti Campylobacter, E. coli, Salmonella, dan Shigella telah menunjukkan peningkatan kekebalan terhadap fluorokuinolon di wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia. [9-11]

Indikasi Obat Antimotilitas pada Diare

Berdasarkan bukti ilmiah yang telah diuraikan tersebut, penentuan indikasi penggunaan obat antimotilitas di zaman modern perlu dilakukan secara cermat. Pedoman klinis penatalaksanaan diare infeksius dari Infectious Disease Society of America menyarankan bahwa pemberian terapi tambahan, termasuk zat antimotilitas, hanya dipertimbangkan setelah pasien mendapat rehidrasi yang adekuat. Selain itu, pemberian obat tambahan semacam ini tidak boleh menggantikan terapi cairan dan elektrolit.

Karakteristik pasien yang dapat memperoleh manfaat dari pemberian obat antimotilitas (contoh: loperamide) antara lain individu usia lebih dari 18 tahun, imunokompeten, dengan diare cair akut, tanpa adanya megakolon toksik yang bisa menyebabkan inflamasi atau diare yang disertai demam. [2]

Pembatasan karakteristik pasien  yang dianggap aman untuk mendapat obat antimotilitas tersebut didasarkan pada kriteria eksklusi berbagai bukti ilmiah yang mempelajari efikasi obat antimotilitas pada diare yang umumnya tidak mengikutsertakan anak-anak dengan diare dehidrasi sedang atau berat maupun diare berdarah. Selain itu, terdapat bukti bahwa tingkat kematian pada pasien anak dengan diare yang mendapat loperamide mencapai 0,54% yang seluruhnya terjadi pada anak berusia di bawah 3 tahun. [2] Di sisi lain, seluruh studi efikasi antimotilitas pada diare yang melibatkan individu dewasa biasanya menerapkan kriteria eksklusi berupa diare berdarah, demam tinggi, maupun temuan bakteri invasif pada tinja. [9]

Kesimpulan

Bukti ilmiah tentang pemberian obat antimotilitas pada penanganan diare telah berkembang sejak era 1970an. Dalam penanganan diare imbas C. difficile (CDI), potensi dampak buruk dari penggunaan antimotilitas relatif dibandingkan antibiotik masih belum dapat disingkirkan. Bukti yang ada terkait peran obat antimotilitas pada CDI masih sangat terbatas dan berdasar pada studi dengan kualitas bukti ilmiah yang kurang baik.

Sementara itu, beberapa studi mengisyaratkan bahwa penggunaan loperamid tanpa antibiotik mungkin bermanfaat pada kasus traveler’s diarrhea (TD) ringan atau sedang. Namun, prinsip kehati-hatian tetap perlu diterapkan dalam menentukan indikasi penggunaan obat antimotilitas pada TD.

Berdasarkan bukti-bukti yang ada, rekomendasi penggunaan obat antimotilitas masih terbatas pada pasien dewasa dengan diare cair akut, imunokompeten, tanpa disertai riwayat megakolon toksik yang dapat menyebabkan peradangan atau diare dengan demam. Obat antimotilitas tidak boleh diberikan pada pasien anak-anak sebab belum ada bukti ilmiah yang membuktikan manfaat golongan obat tersebut pada populasi anak-anak, ditambah lagi dilaporkan adanya risiko kematian mencapai 0,54% pada pasien anak dengan diare yang mendapat terapi loperamide. Obat antimotilitas juga tidak disarankan bagi pasien dewasa dengan diare berdarah, demam tinggi, maupun adanya temuan bakteri invasif pada pemeriksaan tinja.

Referensi