Masih banyak perdebatan di kalangan medis mengenai perlu tidaknya dilakukan penggantian implan payudara secara rutin. Implan payudara biasanya perlu diganti ketika mengalami komplikasi atau masalah seperti kebocoran, perubahan bentuk, atau pembentukan jaringan parut di sekitarnya. Di sisi lain, ada anggapan bahwa implan payudara modern dirancang untuk bertahan lama sehingga tidak memerlukan penggantian rutin terjadwal jika tidak ada keluhan.[1-4]
Jenis dan Sifat dari Implan Payudara
Ada dua bahan yang paling banyak digunakan untuk implan payudara, yakni gel silikon dan cairan salin. Implan silikon bersifat lebih kental, terasa lebih alami, dan dapat mempertahankan bentuk payudara jika terjadi kebocoran. Di sisi lain, implan cairan salin memiliki keunggulan yakni memerlukan sayatan lebih kecil saat pemasangan dan dapat terdeteksi langsung jika terjadi kebocoran karena mengempis.
Selain itu, cangkang luar implan payudara juga terdiri dari dua jenis, yakni bertekstur dan halus. Permukaan bertekstur dapat mengurangi risiko komplikasi seperti kontraktur kapsular. Meski demikian, beberapa studi mengaitkan penggunaan cangkang bertekstur dengan peningkatan risiko breast implant–associated anaplastic large cell lymphoma (BIA-ALCL).[5-7]
Risiko Kebocoran dan Kontraktur Kapsular
Pada pasien yang menggunakan implan payudara, penting untuk melakukan pemeriksaan payudara dasar secara berkala untuk memantau perubahan, termasuk adanya kontraktur kapsular dan kebocoran implan. Sekitar 10% pasien mengalami kontraktur kapsular yang dapat menyebabkan rasa sakit dan distorsi bentuk implan.
Apabila terjadi kebocoran, implan cairan salin akan mengempis dan dapat langsung diketahui pasien, sehingga pemantauan dengan pemeriksaan pencitraan rutin tidak diperlukan. Sementara itu, implan silikon yang bocor dapat asimptomatik, sehingga disarankan untuk menjalani MRI dalam 5 tahun setelah pemasangan implan dan 2-3 tahun setelahnya.[5,7]
Perdebatan Mengenai Perlu Tidaknya Penggantian Implan Payudara secara Rutin
Tindakan pemasangan implan payudara untuk kebutuhan kosmetik sudah disetujui oleh FDA sejak lama, dan saat itu terbatas hanya pada implan yang menggunakan silikon. Hasil dari berbagai penelitian menunjukan bahwa penggunaan silikon pada implan payudara tidak terkait dengan kejadian penyakit apapun, sehingga dinilai cukup aman untuk digunakan pada semua kondisi.
Di masa modern ini, banyak pasien yang mendapatkan implan payudara menggunakan implan dengan gel silikon pada tindakan pembesaran payudara. Di Amerika Serikat, FDA tetap merekomendasikan untuk melakukan skrining dengan MRI untuk mendeteksi kejadian kebocoran implan, tetapi rekomendasi ini jarang diikuti dengan alasan MRI dapat memberikan hasil false-positive.
Selain itu, banyak ahli menganggap bahwa gel yang dipergunakan saat ini memiliki sifat lebih kohesif dan memiliki bentuk yang lebih stabil. Semakin tinggi atau semakin kohesif gel yang dipergunakan, maka implan akan semakin kokoh dan bersifat lembut. Akibatnya, kemungkinan terjadinya ruptur implan dan keperluan penggantian implan payudara dianggap akan lebih rendah.[1-3]
Kekhawatiran Terhadap Risiko Terkait Implan Payudara dan Tindakan Penggantian Implan Rutin
Kekhawatiran terkait breast implant illness (BII) dan breast implant–associated anaplastic large cell lymphoma (BIA-ALCL) merupakan dua aspek kritis dalam konteks penggunaan implan payudara. Kekhawatiran terkait kedua kondisi ini juga sering menjadi alasan tindakan penggantian implan payudara, biasanya dari yang bertekstur menjadi tidak bertekstur.
Breast implant illness merujuk pada keluhan sistemik yang dilaporkan sejumlah wanita dengan implan payudara, termasuk gejala seperti kelelahan, nyeri sendi, gangguan kognitif, dan gejala neurologis lain. Meskipun belum sepenuhnya dipahami, penelitian menunjukkan bahwa sebagian wanita mengalami perbaikan gejala setelah pengangkatan implan. Di sisi lain, BIA-ALCL adalah jenis kanker yang terkait dengan implan payudara, yang angka kejadiannya telah dilaporkan semakin meningkat di masa kini.
Beberapa ahli bedah menganggap bahwa risiko tindakan bedah tambahan untuk mengganti implan dapat melebihi risiko BIA-ALCL, sehingga tidak merekomendasikan penggantian implan pada wanita yang tidak memiliki gejala. Selain itu, belum ada basis bukti yang kuat dalam pemilihan teknik bedah penggantian implan terbaik yang akan mengurangi risiko BII, BIA-ALCL, maupun kontraktur kapsular (apakah kapsulotomi atau kapsulektomi).[1,2,5]
Alasan Diperlukannya Penggantian Implan Payudara
Secara umum, tindakan bedah penggantian implan payudara memiliki tujuan utama untuk mengatasi komplikasi seperti kebocoran implan atau kontraktur kapsular. Perlu diingat bahwa implan payudara tidak dirancang untuk pemakaian seumur hidup, dan biasanya direkomendasikan untuk melakukan penggantian atau pelepasan setelah kurang lebih 10-15 tahun, atau ketika implan mengalami kerusakan.[2-4]
Setelah 30 tahun pasca implan payudara diperkenalkan, kontraktur kapsular merupakan indikasi paling umum untuk tindakan revisi atau penggantian implan. Ruptur implan, hematoma, dan infeksi luka operasi juga termasuk dalam indikasi tindakan reoperasi. Hasil studi menunjukkan bahwa dari hampir 100.000 pasien di Amerika Serikat, kontraktur kapsular dan ruptur implan menjadi penyebab utama tindakan bedah ulang, dengan angka reoperasi berkisar antara 4,5-26,6%, dan penggantian atau pelepasan implan berkisar antara 2,4-17,4%.[1,2]
Dengan meningkatnya konsekuensi dari komplikasi saat tindakan bedah ulang, penting bagi pasien untuk diberikan pilihan yang jelas. Pasien perlu mempertimbangkan apakah akan mengganti implan yang digunakan atau melepasnya saat tindakan reoperasi dilakukan. Kesadaran akan opsi-opsi ini dapat membantu pasien membuat keputusan yang terinformasi sesuai dengan kebutuhan dan preferensi pribadi mereka.[1,2,4]
Kurangnya Basis Bukti Perlu Tidaknya Penggantian Implan Payudara Rutin
Belum ada basis bukti yang kuat dan banyak untuk menarik kesimpulan apakah penggantian implan payudara perlu dilakukan secara rutin.
Studi retrospektif yang dilakukan terhadap 946 kasus tindakan bedah reoperasi implan payudara selama 10 tahun di Jerman menunjukan penyebab utama dilakukannya tindakan reoperasi adalah kontraktur kapsular. Kondisi ini berhubungan dengan lamanya pemakaian implan dan lebih sering lagi terjadi pada pasien yang menjalani bedah rekonstruktif. Tindakan penggantian implan juga lebih sering dilakukan sebelum akhirnya dilepas secara definitif pada pasien yang menjalani bedah rekonstruktif.[4]
Dalam studi observasional kohort yang dilakukan di klinik khusus breast implant illness (BII) di Amsterdam, didapatkan bahwa sebagian wanita dengan implan payudara melaporkan gejala sistemik seperti kelelahan, artralgia, kekakuan, mialgia, gejala neurologis perifer, dan limfadenopati. Pada tindak lanjut setelah median 3,3 tahun, sebagian wanita menjalani pengangkatan implan dan mengalami perbaikan gejala sistemik, terutama jika implan diangkat dalam 10 tahun setelah pemasangan.[6]
Dalam suatu studi yang melibatkan 539 prosedur pelepasan implan payudara, dilaporkan bahwa keperluan untuk melakukan eksplantasi implan adalah 7,5 tahun untuk implan cairan salin dan 4,9 tahun untuk implan silikon halus. Sekitar setengah dari implan salin dan silikon dilepas karena kegagalan kinerja implan seperti ruptur dan kontraktur kapsular. Untuk implan yang dilepas akibat ruptur, waktu rata-rata untuk terjadinya adalah 8,4 tahun untuk implan salin dan 8,1 tahun untuk implan silikon.[7]
Kesimpulan
Tidak ada konsensus ilmiah maupun basis bukti yang kuat yang mendukung ataupun tidak mendukung penggantian rutin secara berkala dari implan payudara, serta kapan tepatnya penggantian rutin tersebut paling baik dilakukan. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan penggantian implan payudara haruslah dibuat berdasarkan kondisi klinis masing-masing kasus, termasuk keluhan pasien, hasil evaluasi dokter, dan ada-tidaknya komplikasi seperti kebocoran atau kontraktur kapsuler.