Pendekatan Kasus Bunuh Diri dalam Telekonsultasi - Ask The Expert - Diskusi Dokter

general_alomedika

Alo dr. Nova Riyanti, Sp.KJ. Izin bertanya dok, dalam telekonsultasi dimana dokter tidak bertemu pasien langsung dan hanya lewat tulisan. Apakah ada tips...

Diskusi Dokter

  • Kembali ke komunitas
  • Pendekatan Kasus Bunuh Diri dalam Telekonsultasi - Ask The Expert

    Dibalas 03 Juni 2021, 18:43

    Alo dr. Nova Riyanti, Sp.KJ. Izin bertanya dok, dalam telekonsultasi dimana dokter tidak bertemu pasien langsung dan hanya lewat tulisan. Apakah ada tips melakukan anamnesis yang baik dalam hal keluhan depresi berat? Kemudian, bagaimana cara tepat meyakinkan pasien untuk mencari pertolongan kepada pihak medis? Terima kasih.

03 Juni 2021, 18:43
Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ
Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, SpKJ
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa

Alodokter,

Saya bisa memahami apalagi pada masa pandemi.

Pedoman dasar untuk memulai kontak saat pasien mengutarakan ide/ingin bunuh diri

1. Minta lokasi orang tersebut (alamat, nomor apartemen) di awal sesi jika perlu menghubungi layanan darurat.

2. Minta atau pastikan memiliki informasi kontak darurat pasien (pihak keluarga, pasangan, teman).

3. Amankan dan yakinkan terus pasien akan privasi selama sesi telehealth.

4. Tetap lakukan Suicide Risk Assessment

L Mempertimbangkan keadaan distress saat ini, penilaian risiko bunuh diri yang lebih luas sangat diindikasikan. Ekspresikan kekhawatiran dan tanyakan langsung tentang ide dan perilaku bunuh diri baru-baru ini jika mempunyai akses tools dapat mengunakan Columbia Suicide Severity Scale (C-SSRS). Pertimbangkan juga tool untuk risk assessment seperti SAFE-T dari SAMHSA. Namun pastikan sudah diterjemahkan dengan baik ke bahasa Indonesia dan sudah tervalidasi.

II. Selain penilaian risiko standar, nilai dampak emosional pandemi terhadap risiko bunuh diri. Contoh yang dapat meningkatkan risiko: peningkatan isolasi sosial, konflik sosial bagi mereka yang berlindung bersama; peningkatan kekhawatiran keuangan atau kekhawatiran tentang kesehatan atau kerentanan dalam diri, teman, dan keluarga, penurunan dukungan sosial, peningkatan kecemasan dan ketakutan, dan gangguan rutinitas.

III. Identifikasi faktor protektif yang dapat ditekankan: Alasan hidup (keluarga, harapan masa depan, anak), pencegah (takut cedera, keyakinan agama). Perhatikan faktor protektif yang mungkin telah berkurang belakangan ini (support teman kerja atau teman sekolah karena isolasi sosial).

IV. Dengan sangat hati-hati, tanyakan tentang kemudahan akses ke sarana mematikan (misalnya tinggal di apartemen, sedang di lantai atas mal, sedang di depan kabinet obat, sedang di balkon tinggi di rumah, dan lain-lain). 

V. Jika risiko tampak tinggi, upayakan bicara dengan telfon sambil memikirkan aksi emergensi yang bisa dilakukan terhadap pasien.

5. Mengidentifikasi cara untuk meningkatkan keselamatan dengan mengirim pasien ke UGD. Walau mungkin sulit karena situasi pandemi, tetapi jika level bahaya tinggi maka tidak bisa ditunda.  

6. Kembangkan rencana keamanan yang akan membantu pasien mengelola risiko bunuh dirinya sendiri. 

I. Identifikasi WARNING SIGNS seperti keinginan mati, meninggalkan surat pesan jika ia sudah tidak ada di dunia ini, dan lain-lain.

II. Identifikasi KEMAMPUAN COPING yang dapat mengalihkan dari pikiran bunuh diri serta mengurangi level krisis. 

III. Identifikasi dukungan sosial yang dapat membantu keadaan krisis tersebut, tanyakan kepada pasien ada siapa di dekatnya yang bisa menjadi caregiver bagi pasien. Terutama yang pasien merasa nyaman dengannya. Bisa disampaikan kepada caregiver tersebut untuk mengajak pasien konsultasi ke dokter jiwa. 

IV. Infokan caregiver nomor kontak darurat 119 jika terjadi eskalasi risiko bunuh diri.

V. Pastikan caregiver sebagai kolaborator dokter untuk amankan sekitar pasien dari alat-alat yang dapat digunakan untuk bunuh diri. 

 

Salam Sehat Jiwa.