Penanggulangan penyakit HIV-AIDS cenderung kurang mendapatkan perhatian di tengah meluasnya pandemi COVID-19. Padahal, AIDS tetap merupakan permasalahan serius yang harus ditangani. Meski saat ini tampaknya sudah terkendali, namun bila lengah tidak mustahil dapat terjadi lonjakan hingga merebak lagi menjadi pandemi AIDS seperti di era 1980-an.[1]
Secara global, berdasarkan data UNAIDS (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS) saat ini terdapat 38 juta pasien HIV, tetapi yang telah memperoleh pelayanan kesehatan hanya 25,4 juta pasien. Sejak pertama kali ditemukan, yaitu tahun 1981, AIDS telah menyebabkan kematian pada sekitar 40 juta orang.[1]
Di Indonesia, berdasarkan Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) pada bulan Juni 2020, terdapat total 543.075 kasus HIV dan hanya sekitar separuhnya yang telah mendapat pengobatan. Hingga saat ini, AIDS telah menyebabkan 38.000 kematian di Indonesia.[1,2]
Beban Ganda HIV/AIDS dan Pandemi COVID-19
Menghadapi AIDS di tengah merebaknya pandemi COVID-19 menjadi beban ganda bagi tenaga medis maupun pasien. Secara global, infeksi HIV yang merupakan penyebab AIDS telah menunjukkan penurunan sebanyak 23% sejak tahun 2010. Namun, pandemi COVID-19 menghambat upaya mengatasi AIDS yang selama ini dijalankan.[1,4,5]
Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi dampak COVID-19, tetapi pengaruhnya terhadap penanggulangan AIDS tetap tidak bisa dihindari. Pengaruh besar terjadi terutama di negara-negara miskin, seperti Afrika Sub Sahara. UNAIDS dan WHO memperkirakan bahwa COVID-19 telah menyebabkan penyediaan alat kesehatan dan obat di Afrika Sub Sahara terganggu, sehingga diduga akan terjadi peningkatan kematian akibat AIDS sekitar 500.000 kasus pada akhir tahun 2021. Selain itu, terhambatnya pasokan obat antiretroviral untuk pasien HIV juga dapat menimbulkan permasalahan resistensi obat.[1,4]
Sementara itu, COVID-19 dapat berdampak langsung terhadap pasien HIV-AIDS. Penelitian di Afrika Sub Sahara menunjukkan bahwa pasien HIV lebih rentan terinfeksi COVID-19. Sedangkan, survei di Afrika Selatan pada bulan Maret–Juni 2020 menunjukkan bahwa risiko kematian pasien COVID-19 yang menderita HIV lebih besar daripada pasien COVID-19 yang tidak menderita HIV. Hal ini berkaitan dengan rendahnya sistem imun pasien HIV.[1,6]
Dampak COVID-19 terhadap Ekonomi dan AIDS
COVID-19 juga menyebabkan perlambatan ekonomi, bahkan krisis secara global. Sebagai akibatnya, banyak negara, terutama negara-negara miskin, terpaksa mengurangi anggaran penanganan AIDS agar dapat dialokasikan untuk mengatasi COVID-19 serta untuk memulihkan ekonomi. Survei Global Fund di 106 negara menunjukkan bahwa terjadi pengurangan program AIDS hingga 85% selama pandemi COVID-19.[1,5]
Sebenarnya, bukan hanya dana untuk AIDS saja yang mengalami relokasi, tetapi juga pelayanan kesehatan lainnya, antara lain kesehatan ibu dan anak, imunisasi, perawatan tuberkulosis, dan program gizi. Misalnya, diperkirakan sebanyak 117 juta anak tidak mendapatkan imunisasi campak selama pandemi COVID-19.[1]
Belajar dari Pengalaman Pandemi HIV untuk Mengatasi Pandemi COVID-19
Berdasarkan pengalaman menghadapi AIDS selama lebih dari 3 dekade, terdapat pelajaran yang dapat diambil untuk mengatasi COVID-19. UNAIDS menginventarisasi pelajaran dari pengalaman mengatasi AIDS dalam tingkat nasional, regional, maupun global, antara lain:
- Pentingnya membangun sistem kesehatan yang efektif, akuntabel, inklusif, adil, serta bersumber daya memadai. Sistem kesehatan yang baik akan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang dapat diakses, terintegrasi, sesuai dengan kebutuhan, dan berorientasi pada masyarakat. [12]
- Diperlukan hadirnya kepemimpinan yang kuat, konsisten, berani, inklusif, berkeadilan, dan memahami ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu mengarahkan upaya-upaya untuk mengatasi pandemi.
- Dibutuhkan koordinasi hingga tingkat global. Pengalaman UNAIDS yang berada di bawah PBB dapat efektif melakukan koordinasi dan sinergi dalam tingkat nasional, regional, maupun global untuk mengatasi
- Memanfaatkan infrastruktur yang selama ini dikembangkan untuk mengatasi AIDS, seperti sistem informatika, laboratorium, sarana penelitian, sumber daya manusia, dan jaringan relawan.
Pedoman untuk Pasien HIV-AIDS dalam Menghadapi COVID-19
Mengatasi pandemi HIV-AIDS tidak dapat diabaikan di tengah merebaknya pandemi COVID-19 karena keduanya merupakan ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat. Penting untuk disadari bahwa pasien HIV lebih rentan tertular COVID-19 daripada mereka yang tidak menderita HIV.
Pasien HIV yang terinfeksi COVID-19 juga lebih berisiko mengalami gejala yang parah, bahkan dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, upaya yang perlu dilakukan dalam mengatasi HIV-AIDS sehubungan dengan pandemi COVID-19:
- Pasien HIV perlu lebih memperhatikan upaya pencegahan Covid-19 yang umum berlaku yakni: 3M (Memakai masker, Mencuci tangan, Menjaga jarak), dan 3T (testing, tracking, treatment), serta menghindari berkerumun, dan bepergian jika tidak perlu.
- Di tengah pandemi COVID-19, tetap harus tersedia obat bagi pasien Mengingat diberlakukannya pembatasan sosial dan keterbatasan mobilisasi, maka menjadi semakin perlu diberikannya obat bagi pasien HIV untuk jangka waktu yang cukup panjang, sebaiknya untuk 3 bulan atau lebih.
- Pelayanan kesehatan harus tetap tersedia bagi pasien HIV, dan bila terinfeksi Covid-19 harus dapat mengakses pelayanan kesehatan tanpa perlakuan yang bersifat diskriminatif dan stigmatisasi.
- Pencegahan HIV-AIDS perlu tetap dijalankan dan sama sekali tidak boleh lengah, agar keadaan tidak kembali memburuk lagi.[14-16]
Kesimpulan
Akibat pandemi COVID-19, banyak kondisi medis yang tidak tertangani dengan baik atau mengalami keterlambatan diagnosis. Hal ini dikarenakan keterbatasan untuk mengakses fasilitas kesehatan. HIV merupakan salah satu kondisi yang terdampak dari pandemi ini. Padahal, pasien HIV memiliki risiko terinfeksi dan mengalami gejala berat COVID-19 yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak menderita HIV.
Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan harus diterapkan oleh pasien HIV, yang meliputi memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Sebaiknya pasien HIV juga membatasi untuk bepergian, apalagi berkerumun. Sementara itu, pelayanan terhadap pasien HIV perlu tetap dimaksimalkan, seperti penyediaan obat dan pelayanan kesehatan yang tidak diskriminatif.