Kembali Berolahraga Pasca COVID-19 Gejala Berat

Oleh :
dr.Putra Rizki Sp.KO

Kembali berolahraga pasca COVID-19 kadang perlu waktu yang lama, terutama pasien dengan gejala berat yang membutuhkan tirah baring jangka panjang, perawatan intensif, atan ventilasi mekanis. Selain itu, pasien dengan komplikasi pneumonia atau miokarditis harus hati-hati sebelum dapat kembali berolahraga.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Mayoritas pasien pasca COVID-19 gejala ringan dapat kembali berolahraga tanpa pemeriksaan medis apa pun. Namun, COVID-19 yang bermanifestasi multi-organ, seperti paru-paru, jantung, ginjal, usus, dan otak, akan menyebabkan penurunan kondisi fisik dan fungsional yang signifikan.[1-4]

Kerusakan jaringan pada banyak organ tersebut dapat mengakibatkan penurunan kapasitas latihan pada jangka pendek dan jangka panjang. Selain itu, ada peningkatan potensi komplikasi jangka panjang, seperti long COVID, penyakit kardiopulmoner, dan gejala sisa psikologis.[1-4]

Kembali Berolahraga Pasca COVID-19 Gejala Berat-min

Pentingnya Latihan Fisik Dan Olahraga Pasca COVID-19

Latihan fisik terbukti meningkatkan kapasitas fisik dan kualitas hidup selama rehabilitasi pasien penyakit kronis, seperti penyakit paru,  gagal jantung, penyakit ginjal, serta sarkopenia. Banyak ahli berhipotesis bahwa pasien COVID-19 juga akan mendapat manfaat yang sama dari latihan fisik, terutama ketika diterapkan resep latihan spesifik.[1]

Pasien pasca COVID-19  harus diintegrasikan ke dalam program rehabilitasi paru. Program harus mempertimbangkan komorbiditas spesifik COVID-19, karena toleransi latihan biasanya terganggu pada pasien COVID-19 yang memiliki komplikasi paru-paru.[1]

Latihan fisik harus diawasi selama fase awal rehabilitasi, yang kemudian dapat ditambahkan intensitas dan durasinya sesuai toleransi masing-masing pasien.[4,5]

Perubahan Kapasitas Fisik Pasca COVID-19

Pasca COVID-19, pasien dapat mengalami fibrosis paru sehingga mengurangi kapasitas difusi oksigen. Selain itu, hipertensi arteri pulmonal yang disebabkan oleh distorsi dan kerusakan arteri pulmonalis, vasokonstriksi yang diinduksi hipoksia, dan tromboemboli arteri pulmonalis, akan memiliki dampak yang substansial pada toleransi latihan fisik.[1,3]

Penurunan toleransi latihan akibat penurunan kapasitas fisik juga berpotensi terjadi pada pasien COVID-19 dengan miokarditis, karena terjadi penurunan ejection fraction yang signifikan.[2,4]

Pemeriksaan Sebelum Kembali Berolahraga Pasca COVID-19

Terdapat pemeriksaan klinis yang harus dilakukan pasien pasca COVID-19 sebelum memulai program rehabilitasi, atau latihan fisik dan olahraga. Rekomendasi olahraga hanya dapat diberikan setelah pemeriksaan klinis yang baik. Langkah-langkah diagnostik harus mengikuti algoritma yang mempertimbangkan tingkat keparahan perjalanan penyakit, usia, serta kapasitas fisik pasca infeksi.[6,7]

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terperinci, analisis darah dilakukan untuk menilai parameter peradangan, jumlah sel darah, fungsi ginjal, dan biomarker jantung. Fokus khusus harus diberikan pada pengujian fungsi paru dan jantung. Tes otot dan neurologis mungkin diperlukan sebagai pemeriksaan tambahan.[6]

Pemeriksaan Paru

Karena kemungkinan fibrotik paru pada pasien pasca COVID-19, maka diperlukan pemeriksaan fungsi paru statis dan dinamis untuk menilai kapasitas vital dan volume ekspirasi paksa, terutama untuk atlet yang akan kembali berlatih dengan intensitas tinggi.[8]

Pengukuran volume residu dan kapasitas total paru-paru dengan plethysmography direkomendasikan pada pasien yang sebelumnya memiliki gejala dispnea atau hiperreaktivitas bronkus persisten. Pada kasus pneumonia, disarankan untuk exercise testing, termasuk pengukuran saturasi oksigen selama latihan atau analisis gas darah sebelum dan sesudah latihan maksimal.

Exercise testing bertujuan untuk melihat adanya penurunan kapasitas difusi. Penurunan saturasi oksigen selama latihan (<94%) merupakan indikasi gangguan difusi paru yang signifikan.[8]

Bentuk gangguan ringan hanya dapat dideteksi dengan pengukuran analisa gas darah arteri selama cardiopulmonary exercise testing (CPET).[8]

Pemeriksaan Kardiovaskular

Skrining kardiovaskular pada pasien COVID-19 yang telah pulih wajib dilakukan sebelum memulai kembali berolahraga, karena terdapat peradangan endotel koroner. Pemeriksaan minimal yang diperlukan adalah elektrokardiografi istirahat (EKG).[7,9]

Pasien dengan gejala palpitasi atau dispnea saat beraktivitas, atau memiliki hasil EKG yang abnormal, harus ditambahkan pemeriksaan ekokardiografi. Semua pasien dengan temuan kelainan jantung selama fase akut COVID-19 wajib melakukan ekokardiografi.[7,9]

Jika pada pemeriksaan EKG atau ekokardiografi menunjukkan tanda-tanda miokarditis, MRI jantung harus dilakukan untuk menilai kemungkinan perubahan struktur akibat cedera jantung.[7]

Diagnosis kasus dugaan miokarditis tidaklah  mudah, karena hal ini sangat tergantung pada evaluasi awal dari tanda/gejala pertama infeksi yang disertai kombinasi gejala, biomarker jantung, perubahan EKG, dan perubahan struktural yang diperiksa dengan ekokardiografi dan/atau pemindaian MR jantung.[6]

Cardiopulmonary Exercise Testing (CPET)

Sebelum kembali berolahraga, sistem jantung-paru harus dievaluasi dengan cardiopulmonary exercise testing (CPET). Pemeriksaan ini dapat mendeteksi aritmia atau dispnea dini, seperti pada gangguan kapasitas difusi paru.[4]

Metode spiroergometri pada pemeriksaan CPET bisa ditambahkan dengan pemeriksaan analisa gas darah, terutama pada pasien pasca covid dengan gejala sedang/berat atau pneumonia. Selain itu, perlu dilakukan juga pemeriksaan parameter terkait olahraga yang relevan sebagai indikator efektivitas pernapasan, seperti ekuivalen pernapasan dan saturasi O2.[4]

Pemeriksaan laktat bisa ditambahkan pada CPET untuk memantau intensitas latihan, terutama selama fase awal kembali berolahraga. Peningkatan intensitas dan volume latihan harus dilakukan dengan hati-hati, dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan.[10]

Pemeriksaan Otot dan Neurologis

Gangguan neurologis mungkin terjadi pada pasien COVID-19, walaupun gejala ringan. Oleh karena itu, setiap pasien sebaiknya menjalani pemeriksaan neurologis klinis sebelum kembali berolahraga, yaitu tes fungsi motorik, fungsi sensorik, sistem koordinasi, saraf kranial, dan perifer yang harus dievaluasi secara hati-hati.[4]

Pada pasien dengan riwayat komplikasi tromboemboli, pemeriksaan MRI otak diwajibkan untuk menyaring emboli serebral dan untuk menilai pembuluh darah otak yang mungkin terpengaruh oleh COVID-19.[4]

Pada pasien pasca COVID-19 yang berbaring lama, besar kemungkinan terjadi penurunan massa otot yang akan mempengaruhi kekuatan, keseimbangan dan endurance otot. Selain tes fungsi motorik, pemeriksaan kekuatan otot dengan dinamometer atau pemeriksaan endurance otot dengan tes sit-up atau push-up sangat disarankan.[9]

Panduan Kembali Berolahraga Pasca COVID-19

Panduan klinis kembali berolahraga pada pasien pasca COVID-19 berfokus pada terkonfirmasi atau tidaknya pneumonia dan miokarditis selama sakit. Hal ini karena kedua kondisi ini menimbulkan potensi keterbatasan fungsi jantung-paru, peningkatan risiko, dan penurunan performa maksimal olahraga.[4]

Sebaiknya, pemantauan dilakukan setiap tahun hingga 2 tahun setelah sembuh.[4]

Tidak Terkonfirmasi Pneumonia dan Miokarditis

Pada pasien tanpa pneumonia dan miokarditis, dilakukan pemeriksaan fisik, EKG, dan kimia darah yang terdiri dari CRP (C-reactive protein) , CK (creatine kinase), dan kreatinin.

Hasil Normal:

Jika hasil pemeriksaan normal, maka olahraga dimulai setelah 2 minggu bebas dari keluhan klinis. Jika toleransi baik, maka pasien bisa kembali latihan dengan intensitas seperti semula dan atlet bisa kembali mengikuti program latihan dan berkompetisi.[4,8]

Evaluasi ulang dilakukan setelah 12 bulan, atau bila ada keluhan yang muncul sebelum itu.[4,8]

Hasil Abnormal:

Pemeriksaan lanjutan terkait jantung-paru dilakukan, seperti kimia darah troponin dan proBNP (brain natriuretic peptide), ekokardiografi, tes fungsi paru, dan spiroergometri dengan pemeriksaan gas darah. Jika hasil pemeriksaan lanjutan ini normal, maka olahraga dapat dimulai setelah 2 minggu bebas dari keluhan klinis.[4,8]

Jika toleransi baik, maka pasien bisa kembali latihan dengan intensitas seperti semula dan atlet bisa kembali mengikuti program latihan dan berkompetisi. Evaluasi ulang dilakukan setelah 12 bulan, atau bila ada keluhan.[4,8]

Jika hasil pemeriksaan lanjutan ada yang tidak normal, maka pasien harus melakukan program rehabilitasi individu sesuai temuan klinis.[4,8]

Terkonfirmasi Pneumonia atau Miokarditis

Sebelum kembali berolahraga, pasien harus melakukan pemeriksaan fisik, EKG, kimia darah (CRP, CK, kreatinin, troponin, proBNP), ekokardiografi, tes fungsi paru, dan spiroergometri dengan pemeriksaan gas darah.[4,8]

Hasil Normal:

Jika hasil pemeriksaan kapasitas jantung-paru normal, maka pasien dengan riwayat pneumonia dan miokarditis harus mendapatkan program rehabilitasi individu terlebih dahulu. Setelah rehabilitasi selesai, kelayakan berolahraga kemudian dinilai kembali.[4,8]

Khusus pasien miokarditis, evaluasi harus diulang setiap 3−6 bulan. Jika pasien dinilai layak berolahraga setelah program rehabilitasi dan memiliki toleransi baik, maka bisa kembali latihan dengan intensitas seperti semula. Atlet juga bisa kembali mengikuti program latihan dan berkompetisi.[4,8]

Hasil Abnormal:

Pasien dengan riwayat pneumonia dan/atau miokarditis dengan hasil abnormal harus melakukan program rehabilitasi individu sesuai temuan klinis. Setelah menyelesaikan program rehabilitasi individu, olahraga intensitas berat dilarang pada pasien kelompok ini.[4,8]

Jika pasien tersebut adalah atlet, maka tidak disarankan untuk kembali berlatih dan bertanding seperti sebelum sakit. Atlet tersebut harus mengikuti alur panduan khusus, yang biasa disebut pemeriksaan kelayakan berolahraga atlet dengan kelainan paru dan jantung. Hasil akhir pemeriksaan ini berupa rekomendasi atlet untuk berhenti berkompetisi atau pindah cabang olahraga dengan level kompetisi yang jauh lebih rendah.[7]

Kesimpulan

Pasien pasca COVID-19 cenderung mengalami penurunan kapasitas fisik dan toleransi melakukan aktivitas fisik, termasuk latihan fisik dan olahraga. Latihan fisik sangat bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas fisik dan kualitas hidup pasien  pasca COVID-19.

Namun, pemberian latihan harus bertahap, mulai dari latihan dengan pengawasan sampai latihan tanpa pengawasan yang ditingkatkan intensitas dan durasinya. Sebelum latihan, beberapa pemeriksaan sangat dibutuhkan karena ada kemungkinan komplikasi pada beberapa organ.

Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dilakukan untuk skrining gangguan jantung, paru-paru, kapasitas jantung paru, otot, dan neurologis. Pemeriksaan ini diperlukan untuk keamanan selama berolahraga. Secara garis besar panduan kembali berolahraga pasien pasca COVID-19 dibedakan menjadi pasien dengan atau tanpa pneumonia dan miokarditis.

Pasien tanpa pneumonia dan miokarditis yang sudah bebas gejala klinis dengan hasil pemeriksaan normal dapat kembali berolahraga. Sedangkan pasien dengan pneumonia dan miokarditis yang sudah bebas gejala klinis harus melakukan program rehabilitasi spesifik komplikasi yang dialami. Pasien dapat kembali berolahraga setelah program rehabilitasi selesai.

Referensi