Evaluasi Terapi Stem Sel pada COVID-19

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Penggunaan terapi stem sel untuk coronavirus disease 2019 (COVID-19) saat ini sedang giat dipelajari. Terapi stem sel yang menggunakan sel stromal mesenkim (SSM) dilaporkan dapat mengontrol respons inflamasi tubuh yang berlebihan, sehingga diduga dapat mengurangi mortalitas pasien COVID-19.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Patofisiologi utama mortalitas COVID-19 derajat berat adalah terjadinya cytokine storm yang bisa menimbulkan acute respiratory distress syndrome (ARDS). Berbagai uji klinis kemudian mencari obat yang dapat mengendalikan cytokine storm akibat COVID-19 ini, baik berupa obat antiviral, obat antiinflamasi, maupun stem sel.[1-3]

Sekilas tentang Potensi Umum Sel Stromal Mesenkim

Sel stromal mesenkim (SSM) adalah stem sel dewasa yang berefek imunomodulator dan regeneratif. Sel ini ditemukan pada sumsum tulang, jaringan adiposa, dental pulp, korda umbilikalis, plasenta, dan Wharton’s jelly. Selain itu, sel ini juga ditemukan pada cairan amnion, kulit, dan glandula saliva.[4,5]

shutterstock_248898337-min

Sel stromal mesenkim telah digunakan secara luas untuk membantu regenerasi saraf atau otot yang rusak, serta untuk mensupresi reaksi imun. Baik SSM yang diturunkan dari sumsum tulang maupun SSM yang diturunkan dari korda umbilikalis sama-sama bisa dimanfaatkan untuk penanganan cytokine storm.[1,6]

Efek imunomodulator SSM berasal dari interaksi langsung dengan sel lain maupun dari sekresi growth factor dan interleukin noninflamasi. Studi pada tikus menemukan bahwa pemberian SSM intratekal dapat mengurangi inflamasi paru. Studi ini menunjukkan bahwa melalui proses parakrin, SSM menginduksi sekresi IL-10 via prostaglandin E2 dan faktor sekresi seperti granulocyte-macrophage colony-stimulating factor. Hal ini bisa membantu perbaikan endotel paru pada hewan percobaan.[1,7]

Pada tikus dengan kerusakan paru akibat virus avian influenza (H5N1), pemberian SSM yang diturunkan dari korda umbilikalis terbukti mampu mengembalikan fungsi sel epitel alveolar melalui peningkatan klirens cairan alveolar dan pengurangan permeabilitas protein. Selain itu, studi lain menduga bahwa SSM bersifat resisten terhadap infeksi virus. Hal ini tampak dari temuan ekspresi intrinsik interferon-induced transmembrane protein 1 yang melindungi SSM terhadap infeksi virus.[8-10]

Uji Klinis yang Menunjukkan Efektivitas Terapi Stem Sel pada COVID-19

Beberapa uji klinis telah dilakukan untuk menilai efektivitas stem sel sebagai terapi COVID-19. Namun, jumlah uji klinis yang telah dipublikasikan memang masih terbatas.

Studi Liang et al

Laporan awal tentang penggunaan stem sel sebagai terapi COVID-19 berasal dari Cina. Liang et al melakukan tiga injeksi SSM yang diturunkan dari korda umbilikalis manusia pada wanita berusia 65 tahun yang menggunakan ventilasi mekanik. Namun, studi ini memiliki kemungkinan bias karena pasien sebenarnya juga menerima banyak terapi lain, seperti kortikosteroid, antivirus, imunoglobulin, dan antibiotik.

Luaran klinis pasien yang sebenarnya penting juga tidak dijabarkan dengan detail. Studi lebih berfokus pada hasil tes laboratorium pasien. Studi menyatakan bahwa setelah injeksi SSM kedua, pasien menunjukkan perbaikan tanda vital dan dapat dilepaskan dari ventilator. Kadar bilirubin serum, enzim hati, dan C-reactive protein dilaporkan berkurang, sementara jumlah sel T CD3+, CD4+, dan CD8+ dilaporkan meningkat ke level normal.[11]

Studi Leng et al

Percobaan lain juga dilakukan oleh Leng et al yang memberikan injeksi SSM pada 7 pasien COVID-19 yang terdiri dari: 1 pasien derajat kritis, 4 pasien derajat berat, dan 2 pasien derajat ringan. Pasien mendapatkan injeksi tunggal 1x106 stem sel/kgBB dan diamati hingga 14 hari kemudian. Pasien juga menerima terapi lain, seperti antivirus, antipiretik, dan terapi suportif.

Luaran efikasi primer yang dinilai adalah level variasi sitokin, level C-reactive protein, dan saturasi oksigen. Sementara itu, luaran efikasi sekunder yang dinilai adalah hitung limfosit, computed tomography (CT) toraks, laju pernapasan, dan gejala klinis seperti demam dan sesak napas. Hasil studi menunjukkan luaran efikasi primer dan sekunder yang lebih baik pada grup stem sel daripada grup plasebo.

Namun, sama seperti studi Liang et al, studi ini juga tidak menjabarkan luaran klinis yang penting secara detail (misalnya pengurangan durasi rawat inap atau durasi ventilasi mekanik). Studi lebih berfokus pada luaran laboratorium dan radiologis.[12]

Studi Athersys, Inc

Suatu perusahaan bioteknologi Amerika Serikat juga menyelesaikan uji klinis fase 1–2 dengan injeksi stem sel intravena. Total 36 pasien COVID-19 diikutkan dalam studi. Grup stem sel menunjukkan mortalitas dan durasi rawat inap intensif yang lebih rendah daripada grup plasebo. Tidak ditemukan efek samping yang merugikan.[1]

Kendala Penggunaan Terapi Stem Sel pada COVID-19

Terlepas dari manfaat yang mungkin didapatkan, stem sel belum direkomendasikan sebagai tata laksana COVID-19. Hal ini dikarenakan belum ada standarisasi mengenai sumber stem sel yang terbaik, metode aplikasi yang terbaik, derajat penyakit yang membutuhkan terapi, kelompok usia target, dan jangka waktu pemberian. Selain itu, terapi ini membutuhkan biaya yang tinggi dan proses harvesting yang cukup sulit.

Bukti yang ada saat ini juga masih berasal dari studi-studi dengan ukuran sampel kecil. Mayoritas studi tersebut juga memberikan terapi lain sebelum, sesaat, atau sesudah terapi stem sel, sehingga hasil yang didapat mungkin bersifat bias. Studi-studi tersebut juga bersifat open-label, menyertakan derajat keparahan penyakit yang bervariasi, dan tidak memiliki kontrol yang adekuat.

Uji klinis acak dengan sampel lebih besar dan pengendalian heterogenitas lebih baik masih diperlukan. Selain itu, studi-studi yang ada saat ini belum mempertimbangkan efek jangka panjang dari SSM. Studi dengan masa follow-up lebih panjang masih perlu dilakukan untuk memastikan keamanan terapi stem sel.

Menurut data dari ClinicalTrials.gov, saat ini ada lebih dari 40 uji klinis COVID-19 yang menggunakan SSM atau produknya. Akan tetapi, mayoritas studi ini masih berlangsung dan belum mempublikasikan hasil yang final.[1]

Kesimpulan

Penggunaan terapi stem sel pada pasien COVID-19 dilaporkan dapat memperbaiki manifestasi klinis seperti demam dan sesak napas maupun luaran laboratorium seperti level C-reactive protein dan saturasi oksigen. Hal ini diperkirakan terjadi karena stem sel bisa mengurangi respons inflamasi tubuh yang berlebihan (cytokine storm).

Akan tetapi, mayoritas bukti yang mendukung manfaat stem sel masih berasal dari studi dengan ukuran sampel kecil dan tingkat heterogenitas tinggi. Uji klinis acak terkontrol dengan skala lebih besar, tingkat bias lebih rendah, dan masa follow-up lebih panjang masih dibutuhkan sebelum terapi ini bisa dijadikan tata laksana standar COVID-19.

Referensi