Empagliflozin Mengurangi Progresivitas Penyakit Ginjal Kronis – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Empagliflozin in Patients with Chronic Kidney Disease

The EMPA-KIDNEY Collaborative Group; Herrington WG, Staplin N, Wanner C, et al. Empagliflozin in Patients with Chronic Kidney Disease. New England Journal of Medicine. 2023 Jan 12;388(2):117-127. PMID: 36331190.

layak

Abstrak

Latar belakang: penelitian EMPA-KIDNEY ini didesain untuk memeriksa dampak terapi empagliflozin pada berbagai pasien penyakit ginjal kronis yang berisiko mengalami progresivitas penyakit.

Metode: peneliti merekrut pasien penyakit ginjal kronis dengan estimasi laju filtrasi glomerulus (eGFR) antara >20 dan <45 ml/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh atau pasien dengan eGFR >45 dan <90 ml/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh yang mempunyai rasio albumin-to-creatinine urine ≥200. Albumin diukur dalam satuan mg dan kreatinin diukur dalam satuan g.

Pasien diacak untuk mendapatkan empagliflozin 10 mg sekali sehari atau mendapatkan matching plasebo. Luaran primer yang dinilai adalah komposit progresivitas penyakit ginjal atau kematian akibat penyebab kardiovaskular. Progresivitas penyakit ginjal didefinisikan sebagai terjadinya penyakit ginjal tahap akhir, penurunan berkelanjutan eGFR sampai <10 ml/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh, penurunan eGFR ≥40% dari baseline, atau kematian yang berkaitan dengan masalah ginjal.

Hasil: sebanyak 6.609 pasien menjalani pengacakan dalam studi ini. Selama median observasi sekitar 2 tahun, progresivitas penyakit ginjal atau kematian akibat penyebab kardiovaskular terjadi pada 432 dari 3.304 pasien (13,1%) di grup empagliflozin dan 558 dari 3.305 pasien (16,9%) di grup plasebo (HR 0,72; 95%CI 0,64–0,82; p<0,001). Hasil ini konsisten antara pasien-pasien dengan/tanpa diabetes dan semua subgrup yang didefinisikan berdasarkan rentang eGFR.

Angka rawat inap akibat semua sebab lebih rendah pada grup empagliflozin daripada grup plasebo (HR 0,86; 95%CI 0,78–0,95; p=0,003), tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua grup dalam hal luaran gabungan dari rawat inap akibat gagal jantung atau kematian akibat penyebab kardiovaskular (4% pada grup empagliflozin vs 4,6% pada grup plasebo).

Kematian akibat semua sebab juga tidak berbeda bermakna antara grup empagliflozin dan grup plasebo (4,5% vs 5,1%). Angka kejadian efek samping serius juga dilaporkan serupa pada kedua grup.

Kesimpulan: pada bermacam-macam pasien penyakit ginjal yang berisiko mengalami progresivitas, empagliflozin menurunkan risiko progresivitas penyakit ginjal kronis atau risiko kematian akibat penyebab kardiovaskular secara lebih baik daripada plasebo.

Empagliflozin,Drug,In,Prescription,Medication,Pills,Bottle

Ulasan Alomedika

Penyakit ginjal kronis sering mengalami perburukan yang ditandai dengan penurunan eGFR dan adanya albuminuria. Terapi untuk memperlambat perburukan penyakit ginjal kronis dan menghindari dialisis atau transplantasi ginjal masih perlu terus dipelajari.

Sebelumnya, penelitian berskala besar telah mempelajari pasien penyakit ginjal akibat diabetes yang mengalami peningkatan albuminuria. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa inhibitor sistem renin-angiotensin (RAS), inhibitor sodium-glucose cotransporter 2 (SGLT2), dan nonsteroidal mineralocorticoid receptor antagonist finerenone mampu menurunkan risiko progresivitas penyakit ginjal.

Namun, penelitian yang mempelajari peran obat-obatan tersebut pada pasien penyakit ginjal kronis yang tidak mengalami diabetes masih terbatas. Selain itu, data percobaan klinis yang tersedia juga masih sangat terbatas untuk pasien dengan eGFR <30 ml/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh. Penelitian EMPA-KIDNEY ini dilakukan untuk melibatkan berbagai kelompok pasien tersebut ke dalam analisis.

Ulasan Metode Penelitian

Uji klinis acak dengan kontrol plasebo ini dilakukan di 241 pusat kesehatan yang berlokasi di 8 negara. Kriteria inklusi adalah:

  • Pasien dengan 20≤race-adjusted eGFR≤45 ml/m/1,73 m2 luas permukaan tubuh tanpa memandang kadar albuminuria
  • Pasien dengan 45≤eGFR≤90 ml/m/1,73 m2 luas permukaan tubuh dan rasio albumin-to-creatinine urine minimal 200 saat kunjungan skrining, dengan/tanpa diabetes

Pasien dengan riwayat transplantasi ginjal dan penyakit ginjal polikistik masuk dalam kriteria eksklusi. Semua pasien yang memenuhi syarat akan dialokasikan secara acak ke grup empagliflozin 10 mg/hari atau grup plasebo.

Luaran primer yang dianalisis adalah komposit progresivitas penyakit ginjal kronis atau kematian akibat penyebab kardiovaskular. Progresivitas didefinisikan sebagai terjadinya penyakit ginjal tahap akhir (termasuk inisiasi dialisis atau transplantasi ginjal), penurunan berkelanjutan eGFR sampai <10 ml/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh, penurunan eGFR ≥40% dari baseline, atau kematian yang berkaitan dengan ginjal.

Analisis subgrup untuk luaran primer distratifikasi menurut status diabetes, rentang eGFR, dan rasio albumin-to-creatinine urine saat baseline.

Analisis dijalankan dengan prinsip intention-to-treat. Cox proportional-hazard regression model dengan penyesuaian variabel baseline (umur, jenis kelamin, riwayat diabetes, rasio albumin-to-creatinine urine, dan area geografis) digunakan untuk mengestimasi hazard ratio (HR) dengan 95% confidence interval.

Ulasan Hasil Penelitian

Sejak februari 2019 hingga April 2021, peneliti merekrut 6.609 pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Rerata umur pasien adalah 63,8 tahun. Sekitar 54,01% pasien tidak mengalami diabetes, sedangkan sisanya mengalami diabetes. Rata-rata eGFR dari semua pasien adalah 37,3±14,5 ml/m/1,73 m2 luas permukaan tubuh, di mana 34,5% pasien memiliki eGFR <30 ml/m/1,73m2 luas permukaan tubuh. Semua pasien ini dianggap sudah mencakup populasi yang sebelumnya jarang dipelajari.

Progresivitas penyakit ginjal atau kematian akibat penyebab kardiovaskular ditemukan lebih rendah pada grup empagliflozin daripada grup plasebo (13,1% vs 16,9%; HR 0,72; p<0,001). Angka rawat inap akibat penyebab apa pun juga lebih rendah pada grup empagliflozin daripada grup plasebo (24,8 vs 29,2 rawat inap per 100 patient-years; HR 0,86; p=0,003).

Namun, tidak ada perbedaan bermakna pada aspek rawat inap akibat gagal jantung atau kematian akibat penyebab kardiovaskular (4% di grup empagliflozin vs 4,6% di grup plasebo; HR 0,84; p=0,15). Kematian akibat semua sebab juga tidak berbeda bermakna antara kedua grup (4,5% di grup empagliflozin vs 5,1% di grup plasebo; HR 0,87; p=0,21).

Efek empagliflozin pada luaran primer tampak konsisten pada semua hasil subanalisis menurut stratifikasi baseline rentang eGFR, termasuk untuk kondisi dengan/tanpa diabetes. Angka kejadian efek samping serius (infeksi saluran kemih, hiperkalemia, gagal ginjal akut, liver injury, dehidrasi berat, fraktur tulang) serupa pada kedua grup.

Kelebihan Penelitian

Kelebihan penelitian ini terletak pada desain penelitian yang berupa uji klinis acak terkontrol, dengan ukuran sampel yang besar serta kriteria eligibilitas yang luas untuk menguji luaran primer. Studi ini berhasil mempelajari populasi pasien penyakit ginjal kronis yang sebelumnya kurang dipelajari, yaitu pasien penyakit ginjal kronis yang tidak mengalami diabetes dan pasien dengan eGFR <30 ml/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh.

Selain itu, tingkat kepatuhan pasien menggunakan obat dalam studi ini terhitung tinggi dan follow-up berhasil dilakukan hampir pada semua pasien.

Limitasi Penelitian

Angka kejadian kardiovaskular yang ditemukan ternyata lebih rendah daripada yang diperkirakan, sehingga kekuatan statistik untuk menilai luaran kardiovaskular sekunder dan tersier mungkin berkurang.

Aplikasi Hasil Penelitian Di Indonesia

Hasil penelitian ini semakin memperkaya data klinis dari studi-studi yang sudah ada sebelumnya tentang manfaat inhibitor SGLT2 untuk mengurangi progresivitas penyakit ginjal kronis tanpa memandang status baseline eGFR.

Empagliflozin sudah tersedia di Indonesia dan dapat digunakan untuk melengkapi tata laksana pasien penyakit ginjal kronis dengan diabetes maupun tanpa diabetes. Namun, seperti obat-obat lain dari golongan inhibitor SGLT2, empagliflozin belum masuk dalam cakupan jaminan kesehatan nasional hingga saat ini. Oleh karena itu, penggunaannya di Indonesia mungkin masih terkendala oleh keterbatasan biaya medis.

Referensi