Efektif Tidaknya Oksitosin untuk Terapi Autisme

Oleh :
dr. Joko Kurniawan, M.Sc., Sp.A

Oksitosin atau oxytocin diduga bermanfaat untuk terapi autisme atau autism spectrum disorder. Autisme merupakan gangguan perkembangan dengan dua gejala utama, yaitu defisit persisten dalam hal komunikasi dan interaksi sosial, serta adanya keterbatasan atau pola repetitif pada tingkah laku, minat, dan aktivitas tertentu.

Prevalensi autisme dilaporkan bisa mencapai 1/100 orang di populasi umum. Gejala biasanya dapat diamati sebelum pasien berusia 3 tahun. Terapi utama saat ini adalah terapi nonfarmakologis, seperti Applied Behavior Analysis (ABA) dan Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children (TEACCH).

Namun, terapi-terapi tersebut membutuhkan banyak sumber daya dan mungkin tidak menghasilkan remisi simtom secara total. Terapi farmakologis untuk pasien autisme yang efektif, aman, dan berbiaya terjangkau masih sangat dibutuhkan.[1-3]

Efektif Tidaknya Oksitosin untuk Terapi Autisme-min

Pengaruh Oksitosin terhadap Gejala Autisme

Terapi farmakologis yang ada untuk autisme selama ini tidak berfokus pada gejala yang utama (core symptoms) tetapi hanya menarget gejala yang berhubungan, contohnya iritabilitas, gangguan atensi, hiperaktivitas, kecemasan, dan gangguan tidur. Namun, oksitosin dilaporkan memiliki efek neuropsikologis yang mungkin dapat memperbaiki gejala utama autisme.[3]

Studi menunjukkan bahwa oksitosin memiliki peranan penting dalam tingkah laku dan interaksi sosial. Oksitosin berpeluang meningkatkan komunikasi sosial. Pemberian oksitosin dapat meningkatkan aktivitas sistem mesolimbik, yang terbukti memberikan efek positif pada pasien autisme yang juga mendapat terapi perilaku.[4]

Studi pada tikus yang melibatkan mutasi gen POGZWT/Q1038R (pogo transposable element derived with zinc finger domain) yang berkaitan dengan autisme menunjukkan respons yang baik terhadap pemberian oksitosin. Pemberian oksitosin secara intranasal efektif memperbaiki gangguan tingkah laku sosial pada POGZWT/Q1038R tikus. Studi ini juga menemukan bahwa level reseptor oksitosin memang lebih rendah secara signifikan pada gen yang terlibat dengan autisme.[5]

Studi tentang Efektivitas Oksitosin sebagai Terapi Pasien Autisme

Suatu meta analisis yang melibatkan 28 studi (total 745 pasien autisme) menunjukkan bahwa oksitosin bermanfaat untuk meningkatkan fungsi sosial, tetapi tidak menemukan bukti yang kuat tentang perbaikan gejala lain selain fungsi sosial. Dosis oksitosin yang diberikan bervariasi antara 8–24 IU intranasal dengan durasi yang berbeda-beda (antara dosis tunggal sampai 12 minggu).[2]

Suatu studi acak melibatkan 17 pasien autisme dewasa dan meneliti efek perubahan emosi setelah pemberian oksitosin intranasal 8 IU atau 24 IU bila dibandingkan dengan plasebo. Pemberian oksitosin intranasal 8 IU secara signifikan menunjukan perubahan emosi yang baik dibandingkan dengan plasebo. Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan setelah dosis dinaikkan menjadi 24 IU.[6]

Meta analisis yang melibatkan 12 studi acak juga meneliti hubungan oksitosin dengan perubahan tingkah laku dan aktivitas repetitif pada pasien autisme. Hasil meta analisis tersebut menunjukan tidak ada efek signifikan antara oksitosin dengan luaran yang ada, karena temuan dari 12 studi tersebut pun memberikan luaran yang amat heterogen.[7]

Efek Samping Pemberian Oksitosin untuk Terapi Autisme

Analisis yang melibatkan 261 anak dengan autisme yang diberikan oksitosin intranasal tidak menemukan bukti yang kuat tentang efek samping yang berhubungan langsung dengan pemberian terapi.[8]

Anak dilaporkan menjadi hiperaktif dan rewel setelah pemberian terapi baik pada grup yang diberikan oksitosin maupun grup plasebo. Pada analisis ini, efikasi terhadap fungsi sosial pasien autisme tidak sama antar studi karena adanya perbedaan metode penelitian, dosis oksitosin yang digunakan, dan luaran yang dinilai.[8]

Kesimpulan

Oksitosin mungkin merupakan terapi yang bermanfaat untuk mengatasi gejala utama autism spectrum disorder berupa defisit persisten komunikasi dan interaksi sosial. Beberapa studi awal pada hewan dan uji klinis pada manusia menunjukkan hasil yang menjanjikan dan efek samping yang minimal. Namun, bukti tersebut masih bersifat tidak konklusif karena beberapa studi juga melaporkan efektivitas yang tidak signifikan.

Kekuatan bukti yang ada juga masih lemah karena mayoritas bukti berasal dari studi yang memiliki jumlah sampel kecil dan metodologi amat bervariasi. Selain itu, dosis oksitosin yang digunakan dalam tiap studi dan luaran yang dinilai juga heterogen. Uji klinis acak terkontrol dengan skala lebih besar masih diperlukan untuk konfirmasi.

Referensi