Efek dari Penggunaan Tes Cepat Malaria dalam Pengelolaan Penyakit Demam pada Anak – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Qorry Amanda, M.Biomed

Malaria Rapid Tests, Febrile Illness Management, and Child Mortality Across Sub-Saharan African Countries

Zhang H, Fink G, Cohen J. JAMA. 2024. 332(15):1270-1281. doi: 10.1001/jama.2024.12589.

studilayak

Abstrak

Latar Belakang: Diagnosis malaria yang cepat sangat penting dalam pengelolaan anak-anak dengan penyakit demam di negara-negara Afrika Sub-Sahara, di mana malaria masih menjadi penyebab utama kematian anak di bawah usia 5 tahun. P

engembangan dan distribusi tes diagnostik cepat (RDT) untuk malaria di tempat perawatan telah mengubah praktik medis, namun bukti sistematis tentang bagaimana RDT malaria memengaruhi pengelolaan penyakit demam dan angka kematian anak di bawah 5 tahun di seluruh negara Afrika Sub-Sahara masih terbatas.

Metode:  Penelitian kuasi-eksperimental ini menggunakan dataset baru yang menghubungkan distribusi RDT malaria dengan 165 survei rumah tangga yang mewakili secara nasional di 35 negara Afrika Sub-Sahara, lengkap dengan data kematian. Sampel terdiri dari sekitar 3,9 juta pengamatan anak-tahun dan sekitar 260.000 episode penyakit demam pada anak di bawah 5 tahun antara tahun 2000 dan 2019.

Model probabilitas linear dengan efek tetap digunakan untuk menganalisis hubungan antara variasi jumlah RDT malaria yang didistribusikan per anak di bawah 5 tahun (per negara per tahun) dengan tes darah, penggunaan obat antimalaria, penggunaan antibiotik, penggunaan pengobatan simtomatik, dan tingkat kematian. Variasi efek tes dan pengobatan juga dinilai di berbagai negara Afrika Sub-Sahara dengan tingkat prevalensi malaria yang berbeda. 

Hasil: Sampel kematian mencakup 1.317.866 anak, sedangkan sampel demam mencakup 256.292 anak. Rerata usia anak dengan penyakit demam adalah 2,4 tahun (standar deviasi 1,3 tahun), dan 49% di antaranya perempuan. Setiap tambahan satu RDT malaria yang didistribusikan per anak di bawah 5 tahun berhubungan dengan peningkatan tes darah sebesar 3,5 poin persentase; peningkatan penggunaan obat antimalaria sebesar 1,5 poin persentase; peningkatan penggunaan antibiotik sebesar 0,4 poin persentase; dan penurunan penggunaan pengobatan simtomatik sebesar 0,4 poin persentase.

Selain itu, setiap tambahan RDT malaria berhubungan dengan penurunan kematian anak sebesar 0,34 kematian per 1000 anak-tahun (95% CI: 0,15-0,52). Efek distribusi RDT malaria terhadap penggunaan obat dan kematian anak bervariasi berdasarkan tingkat prevalensi malaria (rendah vs tinggi), dengan peningkatan kelangsungan hidup hanya terjadi di daerah dengan prevalensi malaria tinggi. 

Kesimpulan: Peningkatan distribusi RDT malaria berkaitan dengan peningkatan tes darah, penggunaan obat antimalaria, dan sedikit peningkatan kelangsungan hidup anak di bawah 5 tahun di negara-negara Afrika Sub-Sahara. Namun, RDT malaria juga berkaitan dengan peningkatan tingkat penggunaan antibiotik yang sudah tinggi, menunjukkan bahwa pendekatan yang lebih komprehensif dalam pengelolaan kasus penyakit demam diperlukan.

Tes Cepat Malaria Demam Anak

Ulasan Alomedika

Penelitian ini dilakukan karena meskipun penggunaan tes diagnostik cepat (RDT) untuk malaria telah meningkat drastis di Afrika Sub-Sahara, dampaknya terhadap penggunaan obat dan angka kematian anak di bawah 5 tahun belum dievaluasi. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami hubungan antara distribusi RDT malaria dengan pengelolaan penyakit demam dan angka kematian anak, menggunakan data komprehensif dari 35 negara di Afrika Sub-Sahara.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain kuasi-eksperimental yang menganalisis data sekunder dari dunia nyata tanpa pengendalian penuh seperti pada eksperimen laboratorium. Peneliti menyusun dataset baru yang mengintegrasikan distribusi tes diagnostik cepat (RDT) malaria dengan 165 survei rumah tangga representatif nasional dari 35 negara Afrika Sub-Sahara, dilengkapi data kematian, mencakup sekitar 3,9 juta pengamatan anak-tahun dan 260.000 episode demam pada anak di bawah 5 tahun dari tahun 2000 hingga 2019.

Data distribusi RDT diperoleh dari laporan President’s Malaria Initiative and Global Fund lalu dihitung sebagai jumlah RDT per anak per tahun per negara dengan memanfaatkan data populasi dari PBB. Sementara itu, data demam dan kematian dikumpulkan dari survei seperti Demographic Health Surveys dan Malaria Indicator Surveys.

Analisis dilakukan menggunakan model fixed-effects linear probability models untuk mengevaluasi hubungan antara variasi distribusi RDT malaria dengan pelaksanaan tes darah, penggunaan obat antimalaria, antibiotik, pengobatan simtomatik, dan tingkat kematian, dengan mengendalikan faktor seperti tahun survei, wilayah, dan sumber data, serta memasukkan kovariat individu seperti usia anak, pendidikan ibu, dan akses ke layanan kesehatan.

Variasi efek juga diperiksa berdasarkan tingkat prevalensi malaria (rendah vs tinggi) menggunakan estimasi geospasial, dan keandalan hasil diuji melalui berbagai analisis sensitivitas, seperti perbandingan anak yang mendapat perawatan formal, analisis leave-one-out, dan penggunaan model alternatif seperti logistic dan probit, dengan seluruh perhitungan dilakukan menggunakan perangkat lunak Stata versi 18.0.

Ulasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan tes cepat malaria (RDT) berdampak pada cara menangani demam dan kelangsungan hidup anak di bawah 5 tahun di 35 negara Afrika Sub-Sahara. Setiap penambahan 1 RDT malaria per anak berkorelasi dengan peningkatan tes darah sebesar 3,5 poin persentase; penggunaan obat antimalaria sebesar 1,5 poin persentase; penggunaan antibiotik sebesar 0,4 poin persentase; serta penurunan penggunaan pengobatan simtomatik sebesar 0,4 poin persentase.

Sementara itu, angka kematian anak ditemukan menurun sebesar 0,34 kematian per 1000 anak-tahun, yang setara dengan penurunan dari 28,4 menjadi 27,9 kematian per 1000 anak-tahun atau reduksi 1,8%. Variasi efek terlihat jelas berdasarkan prevalensi malaria. Di daerah dengan prevalensi tinggi, penggunaan antimalaria meningkat 1,3 poin persentase, antibiotik hanya naik 0,2 poin persentase, pengobatan simtomatik turun 0,5 poin persentase, dan kematian berkurang 0,25 per 1000 anak-tahun.

Di daerah prevalensi rendah, penggunaan antimalaria turun 3,3 poin persentase, antibiotik naik signifikan sebesar 2,8 poin persentase, pengobatan simtomatik meningkat 3,6 poin persentase, namun tidak ada penurunan kematian. Secara keseluruhan, 25% anak dengan demam menerima antibiotik dan 32% mendapat obat antimalaria, dengan tes darah meningkat dari 16% (2000-2012) menjadi 29% (2013-2019).

Analisis sensitivitas dan estimasi biaya-efektivitas menunjukkan konsistensi hasil, dengan distribusi 2985 RDT diperlukan untuk mencegah 1 kematian dan 100 RDT untuk menyelamatkan 1 disability-adjusted life-year (DALY).

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini memanfaatkan sumber data sekunder yang sudah ada, sangat luas, dan terperinci dengan mengambil sampel dari 165 survei yang dilakukan di 35 negara di Afrika Sub-Sahara selama hampir dua dekade, dari tahun 2000 hingga 2019. Koleksi data ini mencakup 3,9 juta anak-tahun dan 260.000 episode demam. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya kuat dari segi statistik tetapi juga memiliki kapasitas untuk memberi rekomendasi yang dapat diandalkan dan berlaku luas, sangat berguna untuk membentuk kebijakan kesehatan.

Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan model fixed-effects, sebuah pendekatan statistik yang efektif dalam mengendalikan variabel yang tidak berubah-ubah seiring waktu dan wilayah, membantu meminimalkan kesalahan dalam menafsirkan pengaruh distribusi tes diagnostik cepat malaria (RDT). Lebih lanjut, serangkaian uji sensitivitas yang dilakukan akan menegaskan bahwa temuan mereka dapat dipercaya.

Aspek menarik lain dari studi ini adalah analisis yang memperhitungkan berbagai tingkat prevalensi malaria. Dengan membedakan antara area dengan prevalensi rendah dan tinggi, penelitian ini menghasilkan wawasan yang relevan untuk pengambilan keputusan berbasis lokal dan menunjukkan pentingnya menyesuaikan pendekatan berdasarkan karakteristik daerah.

Limitasi Penelitian

Terdapat beberapa kelemahan penggunaan data agregat tingkat negara untuk mengukur distribusi RDT pada studi ini. Pertama, pendekatan ini berisiko menciptakan apa yang disebut sebagai ecological fallacy, di mana asumsi yang dibuat berdasarkan data pada tingkat kelompok mungkin tidak akurat ketika diterapkan ke individu. Pendekatan ini juga bisa mengaburkan variasi penting di dalam negara, seperti perbedaan dalam pengelolaan demam yang bisa dipengaruhi oleh infrastruktur kesehatan atau kebiasaan sosial.

Kedua, asumsi dalam model fixed-effects yang digunakan mungkin terlalu simplisitif. Model ini mengasumsikan bahwa distribusi RDT tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi hasil kesehatan, seperti perbaikan dalam sistem kesehatan secara umum. Asumsi ini bisa menyebabkan apa yang disebut dengan masalah endogeneity, di mana variabel independen dan dependen saling mempengaruhi, sehingga melemahkan validitas temuan.

Penelitian ini juga menemukan bahwa efek dari intervensi cukup kecil, yang mana penurunan kematian hanya sebesar 0,34 per 1000 anak-tahun, dan kenaikan penggunaan antibiotik rata-rata hanya 0,4 poin, dengan kenaikan 2,8 poin di daerah dengan prevalensi malaria rendah. Efek sekecil ini mungkin sulit diterapkan atau kurang berarti dalam praktik lapangan.

Selain itu, penelitian ini mengandalkan data yang dilaporkan oleh caregiver mengenai demam dan penggunaan obat. Pendekatan ini rentan terhadap measurement error, yang bisa menyebabkan underestimation dampak atau dikenal juga sebagai attenuation bias.

Beberapa faktor perancu dalam penelitian ini juga mungkin tidak terkontrol sepenuhnya, seperti variasi dalam tingkat pelatihan tenaga medis. Lebih lanjut, penelitian ini belum membahas ketidakmampuan tes RDT, khususnya jenis PfHRP2, untuk mendeteksi mutasi parasit tertentu.

Aplikasi Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan distribusi RDT malaria berkorelasi dengan peningkatan penggunaan tes darah, penggunaan obat antimalaria, dan penurunan angka kematian anak, terutama di daerah dengan prevalensi malaria tinggi. Temuan ini relevan diterapkan di Indonesia, terutama di wilayah endemis malaria seperti Papua, untuk memperkuat kebijakan diagnostik berbasis parasitologi guna mengurangi pengobatan presumtif.

Meski demikian, dalam penerapannya perlu diwaspadai adanya peningkatan penggunaan antibiotik yang tidak proporsional. Oleh sebab itu, sebelum hasil studi ini bisa diterapkan di Indonesia, pemangku kebijakan perlu memikirkan cara untuk mengintegrasikan tes RDT malaria dengan pelatihan diagnosis banding dan tata laksana demam berbasis bukti agar terapi bisa lebih tepat sasaran.

Referensi