Rocuronium Vs Succinylcholine pada Rapid Sequence Intubation

Oleh :
Sunita

Rocuronium dan succinylcholine (suxamethonium) merupakan obat pelemas otot yang dapat dipertimbangkan pada prosedur intubasi urutan cepat atau rapid sequence intubation (RSI). Telah banyak penelitian yang membandingkan keunggulan dan tantangan antara kedua obat tersebut pada RSI dengan beragam hasil dan kesimpulan. Hal tersebut menyebabkan topik ini menjadi sangat menarik untuk dibahas guna memperjelas luaran klinis yang relevan terkait penggunaan rocuronium dan succinylcholine pada RSI.

Telaah kritis ini akan membandingkan jenis dan farmakologi obat paralisis yang digunakan dalam RSI, efektivitas rocuronium dan succinylcholine terhadap tingkat keberhasilan RSI, efek samping, serta tantangan yang perlu diwaspadai oleh klinisi dalam menggunakan obat paralisis pada RSI.

shutterstock_270462191-min

Jenis Obat Paralisis untuk Rapid Sequence Intubation (RSI)

Secara umum, obat paralisis untuk RSI terdiri dari obat depolarisasi dan nondepolarisasi. Klasifikasi ini didasarkan pada mekanisme kerja, respons terhadap stimulasi saraf perifer, dan respons terhadap pembalikan blokade neuromuskuler.

Obat paralisis depolarisasi, seperti succinylcholine (suxamethonium) mampu berikatan dengan reseptor asetilkolin berkat kemiripan struktur kimianya dengan asetilkolin, sehingga menimbulkan suatu potensial aksi pada otot. Obat paralisis depolarisasi akan memicu pemanjangan fase depolarisasi pada ujung cakram motorik sehingga otot mengalami relaksasi akibat blokade fase I.

Sementara itu, obat paralisis nondepolarisasi, seperti rocuronium, vecuronium, dan pancuronium, mengikat reseptor asetilkolin sehingga bertindak sebagai antagonis kompetitif bagi asetilkolin. Mekanisme ini akan mencegah pembentukan potensial pada ujung cakram motorik.[1,2]

Perbedaan mekanisme kerja antara obat depolarisasi dan nondepolarisasi menyebabkan perbedaan efek obat pada kondisi penyakit tertentu. Pada pasien dengan denervasi otot yang disertai penurunan pelepasan asetilkolin, dapat terjadi suatu kompensasi berupa peningkatan reseptor asetilkolin pada membran otot. Hal ini akan mengakibatkan respons berlebihan terhadap obat paralisis depolarisasi yang disertai dengan pola resistensi terhadap obat paralisis nondepolarisasi.

Sebaliknya, pada kondisi penurunan reseptor asetilkolin, misalnya myasthenia gravis, pasien mengalami resistensi terhadap obat paralisis depolarisasi, tetapi sangat sensitif terhadap obat paralisis nondepolarisasi.[1,3]

Perbedaan lain terletak pada respons terhadap pembalikan blokade neuromuskuler. Di satu sisi, succinylcholine tidak mengalami metabolisme oleh asetilkolinesterase sehingga dapat lepas dari reseptor dan berdifusi meninggalkan taut neuromuskuler. Selanjutnya, succinylcholine akan mengalami hidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase. Dengan demikian, succinylcholine memiliki onset kerja yang cepat (30 sampai 30 detik bila diberikan IV) dan durasi kerja yang pendek (kurang dari 10 menit).

Di sisi lain, obat paralisis nondepolarisasi, seperti vecuronium dan rocuronium, tidak mengalami metabolisme oleh asetilkolinesterase dan pseudokolinesterase. Hal ini menyebabkan pembalikan efek obat di taut neuromuskuler sangat tergantung pada proses pelepasan zat aktif dari reseptor, redistribusi, metabolisme, ekskresi obat dari tubuh, dan pemberian obat pembalik tertentu yang dapat menghambat  enzim asetilkolinesterase.

Oleh karena itu, onset kerja rocuronium adalah 1–3 menit, meskipun dapat bervariasi tergantung pada dosisnya, dengan durasi kerja yang panjang, yaitu hingga 100 menit.

Proses pembalikan efek blokade neuromuskuler dapat dicapai dengan pemberian senyawa siklodekstrin tertentu, yaitu sugammadex, yang dapat mengikat obat pelemas otot dengan membentuk kompleks senyawa. Rasio yang dibutuhkan antara obat paralisis nondepolarisasi dan senyawa siklodekstrin adalah 1:1.[1,4]

Efektivitas Obat Paralisis terhadap Tingkat Keberhasilan RSI

Efektivitas obat paralisis terhadap tingkat keberhasilan RSI dapat diukur dengan menggunakan beberapa parameter. Skala Goldberg yang menggunakan variabel seperti kemudahan teknik intubasi, pergerakan pita suara, dan respons pasien terhadap intubasi dapat menjadi luaran primer untuk menilai kondisi intubasi yang baik.

Skala ini dapat digunakan untuk membandingkan beberapa luaran intubasi yang difasilitasi oleh beberapa obat paralisis yang berbeda, misalnya rocuronium vs succinylcholine; serta teknik intubasi yang berbeda, misalnya intubasi standar vs RSI. Selain itu, parameter lain yang lebih sederhana, seperti keberhasilan intubasi dalam satu kali percobaan, juga dapat digunakan untuk mengukur efektivitas obat paralisis terhadap tingkat keberhasilan RSI.[5,6]

Efektivitas Rocuronium vs Succinylcholine pada Rapid Sequence Intubation

Dalam sebuah tinjauan sistematik, Tran et al mempelajari apakah rocuronium dapat memberikan kondisi intubasi yang sebanding dengan succinylcholine pada metode RSI. Penelitian tersebut mencakup berbagai uji acak terkontrol dengan kriteria inklusi, yaitu pengukuran luaran dengan skor intubasi, dosis rocuronium minimal 0,6 mg/kg, dan dosis succinylcholine minimal 1 mg/kg.

Hasil penelitian Tran et al mengungkapkan bahwa succinylcholine tampaknya lebih baik daripada rocuronium untuk mencapai kondisi intubasi yang memuaskan. Penggunaan succinylcholine pada RSI dapat menghasilkan kondisi intubasi 14% lebih memuaskan daripada rocuronium. Namun, perbedaan ini hanya bermakna ketika succinylcholine dosis standar dibandingkan dengan rocuronium dosis rendah.[5]

Sebagian studi yang diteliti dalam tinjauan sistematik oleh Tran et al membandingkan succinylcholine dengan rocuronium dosis tinggi. Secara umum, kondisi intubasi yang lebih ideal dapat tercapai pada dosis rocuronium yang agak tinggi (>0,9 mg/kg).

Hal ini menjelaskan mengapa pada rocuronium dosis rendah, onset kerjanya agak lama sehingga terdapat perbedaan luaran primer bermakna jika dibandingkan dengan succinylcholine. Dengan kata lain, succinylcholine dan rocuronium dosis tinggi sama-sama dapat menghasilkan kondisi intubasi yang memuaskan dan mendukung keberhasilan RSI.[5]

Sebuah studi observasional yang dilakukan oleh April et al menganalisis data register 4.275 tindakan intubasi dari National Emergency Airway Registry (NEAR). Para peneliti membandingkan tingkat keberhasilan intubasi dalam satu kali percobaan serta efek samping dari succinylcholine dan rocuronium.

Analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat keberhasilan intubasi dalam satu kali percobaan (87,0% vs 87,5%) dan efek samping (14,7% vs 14,8%) antara kelompok pasien yang mendapatkan succinylcholine dan rocuronium.

Namun, dosis rerata succinylcholine yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1,8 mg/kg, sedangkan dosis rocuronium adalah 1,2 mg/kg. Sejalan dengan penelitian Tran et al, hasil ini menegaskan bahwa succinylcholine dosis standar dan rocuronium dosis tinggi dapat memberikan luaran sebanding pada pasien yang memerlukan RSI, dalam hal keberhasilan intubasi percobaan pertama.[5,6]

Penelitian yang dilakukan April et al memiliki beberapa keterbatasan, yaitu kurangnya data mengenai alasan pemilihan obat paralisis, pengukuran kedalaman paralisis (tingkat relaksasi otot), dan parameter yang digunakan untuk mengukur visualisasi glotis.

Ketersediaan data-data tersebut dapat mengurangi risiko bias sistematik akibat alokasi pasien di awal penelitian serta menyeragamkan penilaian luaran primer, efek samping obat paralisis, dan prosedur RSI. Hal ini juga menyebabkan keterbatasan untuk menentukan hubungan sebab akibat antara jenis obat paralisis dan luaran terkait tingkat keberhasilan RSI.[6]

Efek Samping dan Tantangan Penggunaan Obat Paralisis pada RSI

Sejumlah efek samping dan tantangan dalam penggunaan obat paralisis perlu diwaspadai sebelum memilih jenis obat yang akan digunakan.

Efek Samping Penggunaan Succinylcholine

Efek samping fatal dari succinylcholine yang perlu diawasi adalah hipertermia malignan dan hiperkalemia. Hipertermia malignan imbas succinylcholine terjadi akibat peningkatan pelepasan kalsium. Risiko hipertermia meningkat khususnya pada pasien yang memiliki mutasi gen ryanodine di kromosom 19, yang berfungsi dalam mengatur pelepasan ion kalsium di kompartemen intraseluler.

Hipertermia malignan patut dicurigai pada pasien yang mengalami demam, peningkatan cepat tekanan parsial CO2 di akhir tidal, takikardia, dan rigiditas otot. Apabila hipertermia malignan terjadi, hentikan pemberian succinylcholine dan berikan dantrolene untuk mengatasi hipertermia. Obat ini bekerja dengan mengikat reseptor ryanodine sehingga pelepasan kalsium terhambat dan kadar kalsium intraseluler menurun.[5,7,8]

Di sisi lain, hiperkalemia imbas succinylcholine dapat menyebabkan peningkatan kadar kalium plasma sebesar 0,5–1 mEq/L. Efek ini dapat membahayakan pada pasien dengan faktor risiko seperti riwayat imobilisasi lama, crush injuryluka bakar, miopati, penyakit saraf perifer (seperti multiple sclerosis), sklerosis lateral amiotropik, dan cedera tulang belakang.

Hal ini sebagian diperantarai oleh pembentukan isoform reseptor asetilkolin imatur yang memicu depolarisasi luas dan pelepasan kalsium berlebihan. Risiko hiperkalemia memuncak pada hari ke-7 sampai -10 pascacedera, walaupun onset dan durasi dapat bervariasi pada tiap individu.

Umumnya, risiko hiperkalemia imbas succinylcholine muncul 24 jam setelah cedera saraf sehingga periode ini dianggap cukup aman untuk menggunakan succinylcholine. Namun, sensitivitas reseptor asetilkolin dapat menetap 2–6 bulan pascacedera sehingga sebagian besar klinisi tetap menganggap bahwa terdapat risiko hiperkalemia imbas succinylcholine pada individu dengan denervasi persisten.[1,8]

Efek Samping Penggunaan Rocuronium

Efek samping yang perlu diwaspadai dari penggunaan rocuronium untuk RSI adalah reaksi alergi. Adanya riwayat alergi terhadap rocuronium merupakan kontraindikasi dari penggunaan obat ini untuk RSI. Selain itu, penggunaan rocuronium perlu dilakukan secara hati-hati pada pasien dengan kondisi yang berpotensi mengalami pemanjangan masa kerja rocuronium, seperti myasthenia gravis, gangguan fungsi hati, penyakit neuromuskuler, karsinomatosis, dan kakheksia berat.[5,8]

Kesimpulan

Obat paralisis yang umum digunakan dalam intubasi urutan cepat (RSI) terdiri dari obat depolarisasi (succinylcholine) dan nondepolarisasi (rocuronium). Karakteristik kedua golongan obat ini terletak pada perbedaan mekanisme kerja, respons terhadap stimulasi saraf perifer, dan respons terhadap pembalikan blokade neuromuskuler.

Efektivitas obat paralisis terhadap tingkat keberhasilan RSI dapat diukur dengan menggunakan skala Goldberg atau parameter yang lebih sederhana seperti keberhasilan intubasi dalam satu kali percobaan (first-pass intubation).

Bukti yang ada mengisyaratkan bahwa succinylcholine masih lebih baik daripada rocuronium dosis rendah untuk menghasilkan kondisi intubasi yang memuaskan. Namun, perbedaan luaran tersebut tidak berbeda bermakna ketika succinylcholine dibandingkan dengan rocuronium dosis yang lebih tinggi.

Terlepas dari jenis obat paralisis yang akan digunakan, kewaspadaan perlu dilakukan terhadap efek samping masing-masing obat. Succinylcholine berpotensi menimbulkan efek samping berupa hipertermia malignan dan hiperkalemia, khususnya pada individu yang memiliki kerentanan genetik atau kondisi medis tertentu, seperti crush injury, denervasi, miopati, dan cedera tulang belakang.

Sementara itu, penggunaan rocuronium dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi terhadap obat ini. Penggunaan rocuronium juga perlu pemantauan ketat terkait pemanjangan efek obat yang yang dapat dialami oleh pasien dengan myasthenia gravis, gangguan fungsi hati, gangguan neuromuskuler, dan kakheksia berat.

Referensi