Manajemen Nyeri Fraktur Collum Femur – Blok Saraf Perifer vs Blok Neuroaxial

Oleh :
dr. Andrian Yadikusumo, Sp.An

Manajemen nyeri fraktur collum femur dapat dilakukan dengan blok saraf perifer, blok neuroaxial, pemberian obat antiinflamasi nonsteroid atau OAINS, maupun pemberian opioid. Orang lanjut usia merupakan kelompok yang paling berisiko mengalami fraktur collum femur. Namun, karena OAINS memiliki banyak kontraindikasi dan efek samping, sementara opioid berisiko menimbulkan delirium pada kelompok usia ini, blok neuroaxial dan blok saraf perifer menjadi pertimbangan analgesia.

Pendataan kasus fraktur collum femur di Indonesia memang masih terbatas. Namun, laporan dari RSUD Dr. Soetomo, Surabaya menyatakan bahwa kasus fraktur femur merupakan kasus terbanyak pada kunjungan poliklinik ortopedi di tahun 2013–2016. Manajemen nyeri pada orang lanjut usia dengan fraktur collum femur penting dilakukan karena usia ini rentan mengalami delirium bila nyeri tidak diatasi dengan adekuat.[1-3] 

xray pinggul-min

Di Indonesia, blok neuroaxial masih sering menjadi pilihan utama dalam manajemen nyeri praoperasi sampai pascaoperasi fraktur collum femur. Namun, menurut berbagai literatur, blok saraf perifer merupakan terapi substitusi yang menjanjikan.[3-5] 

Blok Neuroaxial untuk Manajemen Nyeri Fraktur Collum Femur

Blok neuroaxial memiliki spektrum yang luas dalam bidang anestesi, mulai dari blok subarachnoid sampai blok epidural dengan kateter. Pada manajemen fraktur collum femur, blok yang sering digunakan adalah blok subarachnoid yang dikombinasi dengan blok epidural dengan kateter.

Hal ini dikarenakan femur merupakan bagian ekstremitas bawah yang paling proksimal, di mana collum femur menghubungkan ekstremitas bawah dengan trunkus. Persarafan yang melayani area ini langsung keluar dari tulang belakang, sehingga blok neuroaxial merupakan pilihan yang lebih efektif daripada blok perifer nervus femoralis dan nervus sciaticus.[5]

Risiko blok neuroaxial pada kasus fraktur collum femur hampir sama dengan komplikasi blok neuroaxial pada umumnya. Menurut Wong et al, komplikasi yang bisa terjadi pada blok neuroaxial adalah: 

  • Trauma medulla spinalis langsung
  • Infeksi 
  • Hematoma spinal atau epidural
  • Lesi saraf akibat pungsi
  • Trauma kimiawi
  • Sindrom neurologis transien
  • Lesi vaskular[6]

Blok Saraf Perifer untuk Manajemen Nyeri Fraktur Collum Femur 

Blok yang paling tepat untuk kasus fraktur collum femur adalah blok paravertebral dan psoas. Namun, blok paravertebral dan psoas memerlukan posisi duduk atau miring dan memerlukan bantuan C-Arm dan USG dalam aplikasinya. Selain itu, angka komplikasi cukup tinggi, sehingga penggunaan teknik blok yang lebih perifer mulai dipilih.

Blok saraf perifer yang saat ini banyak digunakan di berbagai negara untuk manajemen nyeri praoperasi, durante operasi, dan pascaoperasi adalah teknik traditional femoral nerve Block (FNB)the 3-in-1 femoral nerve block (3-in-1 FNB), dan the fascia iliaca compartment block (FICB). Hal ini dikarenakan tekniknya cukup mudah dan tidak perlu posisi pasien tertentu.[3]

Menurut tinjauan sistematik Ritcey et al, blok saraf perifer mampu menurunkan skor nyeri dengan lebih baik bila dibandingkan manajemen nyeri standar berupa opioid, paracetamol, atau OAINS. Selain itu, blok saraf perifer menurunkan pemakaian opioid pada pasien fraktur collum femur. Namun, dari berbagai uji klinis yang dianalisis dalam tinjauan sistematik tersebut, tidak satu pun dari ketiga jenis blok saraf perifer dapat mencapai kondisi zero pain.[3] 

Hasil studi Foss et al juga melaporkan bahwa FICB dapat menurunkan penggunaan opioid di UGD pada kasus fraktur collum femur. Meta analisis Abou-Setta et al juga menyatakan bahwa blok saraf perifer mampu menggantikan teknik epidural dalam manajemen nyeri praoperasi di UGD tanpa komplikasi yang berarti.[7,8] 

Tinjauan sistematik Ritcey et al juga melaporkan bahwa blok saraf perifer tidak memberi komplikasi yang membahayakan nyawa. Namun, pelaporan komplikasi minor memang masih tidak dilakukan dengan adekuat.[3]

Perbandingan Blok Neuroaxial dan Blok Saraf Perifer untuk Manajemen Nyeri Fraktur Collum Femur

Jin et al melakukan studi retrospektif pada tahun 2015 yang mempelajari 258 pasien dengan fraktur collum femur. Rata-rata usia pasien adalah 79,7 tahun. Hasil studi ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara blok epidural dan blok saraf perifer dalam hal mortalitas pasien dan komplikasi kardiovaskular.[9]

⁠Grup pasien yang menerima blok saraf perifer lebih banyak mengalami delirium setelah operasi (P=0,027). Pada grup ini, komplikasi respirasi akut setelah operasi lebih banyak terjadi (P=0,048) tetapi stroke setelah operasi lebih jarang terjadi (P=0,018). Pada grup blok epidural, admisi ke ruang perawatan intensif (ICU) lebih sedikit (P=0,024).[9]

Menurut meta analisis Choi et al pada tahun 2021 yang mempelajari 221 pasien, blok epidural menunjukkan mortalitas perioperatif yang lebih rendah daripada penggunaan blok saraf perifer ataupun penggunaan opioid intravena.[10]

Sebaliknya, hasil studi retrospektif Fu et al terhadap 316 pasien pada tahun 2021 menyatakan bahwa blok saraf perifer menunjukkan risiko kematian dalam 30 hari yang lebih rendah (2,2% vs 10,1%; P=0,029) dan risiko kematian dalam 90 hari yang lebih rendah (3,4% vs 12,4%; P=0,026) setelah hip arthroplasty bila dibandingkan anestesi spinal. Namun, biaya hospitalisasi yang dibutuhkan grup pasien blok saraf perifer lebih tinggi daripada anestesi spinal (P=0,024).[11]  

Kesimpulan 

Manajemen nyeri fraktur collum femur pada orang lanjut usia dengan OAINS memiliki banyak efek samping dan manajemen dengan opioid berisiko menimbulkan delirium, sehingga blok saraf perifer dan blok neuroaxial lebih banyak dipertimbangkan.

Di Indonesia, sampai saat ini analgesia neuroaxial masih merupakan pilihan utama pada manajemen perioperatif fraktur collum femur. Pilihan utama yang digunakan adalah epidural analgesia. Akan tetapi, menurut berbagai literatur, blok saraf perifer dapat menjadi opsi substitusi.[4,11]

Hasil studi yang membandingkan luaran mortalitas kedua blok ini masih tidak konklusif. Ada studi yang menyatakan bahwa mortalitas tidak berbeda bermakna tetapi ada juga studi yang menyatakan mortalitas berbeda. Namun, blok saraf perifer dinilai cukup efektif untuk menggantikan manajemen nyeri dengan teknik epidural di UGD karena blok saraf perifer tidak membutuhkan posisi pasien yang sulit seperti posisi duduk atau miring, serta memiliki teknik yang mudah dilakukan oleh dokter.[3,9-11]

Referensi