Non-invasive prenatal testing (NIPT) atau diagnosis prenatal non-invasif ditemukan pada tahun 1997, untuk mengidentifikasi kelainan kromosom pada janin. Tes ini melakukan pemeriksaan circulating cell free DNA (ccfDNA) dalam plasma ibu hamil, di mana saat ini telah digunakan untuk menemukan kemungkinan sindrom Down, sindrom Edward, sindrom Patau, sindrom Turner, dan sindrom Klinefelter pada janin.[1]
NIPT saat ini telah diterapkan untuk menentukan jenis kelamin dan rhesus D genotype (RhD) janin. Selain itu, dapat untuk mengidentifikasi aneuploidi, gangguan pola yang diturunkan secara monogenik, serta beberapa kondisi terkait kehamilan seperti preeklampsia dan persalinan preterm.[2]
Pemeriksaan untuk Mendiagnosis Aneuploidi Janin
Aneuploidi janin adalah kondisi janin yang memiliki satu atau lebih kromosom ekstra atau hilang. Diagnosis kondisi tersebut umumnya dilakukan dengan skrining maternal serum marker dan ultrasonografi (USG) kehamilan, yang merupakan bagian pemeriksaan antenatal rutin pada trimester pertama dan/atau kedua. Namun, kedua pemeriksaan tersebut memiliki persentase false positif yang tinggi (2−7%).[7,8]
Apabila skrining menunjukkan bahwa janin mempunyai peningkatan risiko aneuploidi, maka direkomendasikan untuk melakukan tindakan invasif, seperti chorionic villus sampling (CVS) atau amniosentesis. CVS biasanya dilakukan sekitar usia kehamilan 10−13 minggu, sedangkan amniosentesis setelah 15 minggu. Di mana dedua prosedur tersebut dapat menyebabkan abortus, dengan insidensi sekitar 0,5–1%.[2,9]
Pada tahun 1997, Lo et al. melaporkan untuk pertama kalinya tentang keberadaan DNA janin dalam darah ibu, yang disebut circulating cell free DNA (ccfDNA). DNA dari plasma, serum, dan sel darah berinti dari 43 wanita hamil menjalani uji Y-PCR (polymerase chain reaction) yang sensitif untuk mendeteksi sirkulasi DNA janin laki-laki dari wanita yang mengandung janin laki-laki. Temuan ini berimplikasi pada diagnosis prenatal noninvasif dan pemahaman tentang hubungan fetomaternal.[1]
Perkembangan Non-Invasive Prenatal Testing (NIPT)
Lo et al. melanjutkan penelitiannya dan menemukan perkembangan bahwa DNA janin dapat dideteksi dalam serum ibu sejak minggu ke-7 kehamilan, dengan konsentrasi yang semakin meningkat seiring usia kehamilan. DNA janin dalam plasma ibu dapat diterapkan untuk diagnosis prenatal pada fetal rhesus D status, sex-linked disorders, dan kelainan genetik paternal lainnya. DNA janin dengan konsentrasi yang abnormal di dalam plasma dan serum ibu terjadi pada kasus persalinan preterm, preeklampsia, serta komplikasi kehamilan akibat fetal trisomy 21.[3,5]
Penelitian lain oleh Bianchi et al. menemukan jenis sel janin yang berbeda di darah ibu, seperti trofoblas, leukosit, sel darah merah berinti, dan eritrosit.[4]
Pada tahun 2014, NIPT dikembangkan untuk mendeteksi aneuploidi dalam kromosom 13,16,18,21,22 X dan Y sehingga memungkinkan untuk mendeteksi kelainan kromosom, seperti Down syndrome, Edward syndrome, Patau syndrome, Turner syndrome, dan Klinefelter syndrome. Selain itu, NIPT dapat digunakan untuk penentuan karakteristik janin lainnya, yaitu rhesus D janin, jenis kelamin, dan gangguan gen tunggal.[10,13]
Di masa depan, teknologi canggih seperti digital polymerase chain reaction (dPCR) dan next generation sequencing (NGS) bisa sangat berguna untuk NIPT dalam kasus penyakit resesif autosom yang disebabkan oleh mutasi alel ibu.[7,8]
Manfaat Non-Invasive Prenatal Testing
NIPT dalam beberapa tahun terakhir menjadi semakin penting karena memungkinkan pemeriksaan status kesehatan janin tanpa risiko, jika dibandingkan dengan tes diagnostik invasif seperti chorionic villus sampling (CVS) atau amniosentesis. NIPT merupakan langkah pemeriksaan antara skrining serum dan tes diagnostik invasif. NIPT lebih akurat dan lebih sedikit hasil false positif daripada skrining serum, tetapi tidak bersifat diagnostik. cffDNA dapat terdeteksi dalam plasma ibu pada usia kehamilan 5−7 minggu, tetapi hasil tes lebih akurat setelah 10 minggu.[10,11]
Identifikasi cffDNA, RNA janin, dan infact fetal cell dalam darah ibu dapat digunakan untuk menilai status genetik janin secara noninvasif. Namun, cffDNA yang paling banyak, stabil, dan tetap di dalam sirkulasi ibu hingga beberapa hari setelah kehamilan, sehingga paling cocok untuk tes noninvasif. NIPT juga dapat digunakan untuk penentuan karakteristik janin lainnya, yaitu rhesus D janin, jenis kelamin, dan gangguan gen tunggal.[10,13]
Saat ini, NIPT hanya dilakukan pada ibu hamil dengan risiko tinggi aneuploidi. Menurut American Congress of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), faktor risiko meliputi:
- Usia ibu 35 tahun atau lebih saat melahirkan
- Hasil USG kehamilan yang menunjukkan dugaan aneuploidi
- Riwayat kehamilan sebelumnya dengan kelainan kromosom, seperti trisomi
- Hasil skrining maternal serum marker positif dugaan aneuploidi
- Translokasi Robertsonian seimbang yang diturunkan dari orang tua dengan peningkatan risiko trisomi 13 atau trisomi 21 pada janin[12]
Penelitian pada tahun 2020 mencari kegunaan klinis NIPT untuk ibu hamil dengan indikasi diagnostik yang berbeda. Penelitian pada 13.121 ibu hamil berusia rata-rata 28 tahun (kisaran 17−48 tahun), dan usia kehamilan rata-rata 17+2 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa NIPT ideal untuk mengidentifikasi trisomy 21, trisomy 18, dan sex chromosomal aneuploidies (SCA). Sehingga NIPT baik digunakan sebagai pemeriksaan lini pertama untuk ibu hamil dengan hasil skrining serum risiko tinggi dan sedang.[18]
Keterbatasan Non-Invasive Prenatal Testing
Keterbatasan utama NIPT adalah hanya dapat mendeteksi sebagian dari kelainan kromosom jika dibandingkan dengan prosedur invasif standar. NIPT kurang dapat diandalkan pada usia kehamilan <12 minggu, dan saat ini tidak mungkin dilakukan pada usia kehamilan <10 minggu.[24]
Selain itu, NIPT dapat menyebabkan hasil positif palsu karena masalah teknis, atau akibat faktor biologis yang berbeda, seperti mosaicism janin atau ibu, tumor, dan peristiwa duplikasi maternal. Sehingga NIPT tidak bisa menggantikan akurasi yang diperoleh dengan tes diagnostik invasif, seperti CVS atau amniosentesis.[6,24]
Implementasi dan Permasalahan Tes Prenatal Non-invasif
Diagnosis prenatal berguna untuk menentukan kemungkinan komplikasi saat melahirkan dan kondisi pada bayi baru lahir, sehingga ibu hamil dapat memutuskan apakah akan melanjutkan kehamilan atau dihentikan. Meskipun ACOG telah mengadopsi NIPT, tetapi belum diterapkan secara menyeluruh.
Tanggapan dan Sikap Dokter Spesialis Kandungan
Penelitian tentang implementasi NIPT dilakukan terhadap dokter spesialis kandungan, dengan 94/306 (30,7%) dokter yang menjawab survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktik klinis terdapat keragaman mengenai memasukkan NIPT ke dalam algoritma skrining prenatal. Dokter yang menyarankan NIPT sebagai alat skrining lini pertama menjadi semakin umum, baik untuk populasi kebidanan umum maupun untuk skrining SCA dan copy number variants (CNVs).[19]
Oleh karena itu, bimbingan yang jelas dan dukungan pendidikan berkelanjutan sangat penting bagi penyedia di bidang ini. Bahkan penelitian lain pada tahun 2018 mendapatkan skor pengetahuan secara keseluruhan tidak berbeda secara signifikan antara dokter spesialis kandungan subspesialis fetomaternal (SFM) dengan non SFM, atau antara dokter spesialis kandungan dan residen.[21]
Masalah Klinis
Dengan diterapkannya NIPT maka terjadi penurunan metode diagnosis prenatal invasive hingga 50%. Beberapa laporan juga menunjukkan ibu hamil usia tua lebih memilih NIPT untuk skrining prenatal daripada pemeriksaan invasive. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan memberi dampak penurunan kualitas keterampilan dokter dalam melakukan prosedur. Selain itu, NIPT dapat berdampak peningkatan jumlah aborsi, padahal NIPT berisiko memberikan hasil positif palsu.[10,25]
Masalah Etika
Penting untuk ditekankan bahwa tujuan utama skrining prenatal adalah untuk memberikan informasi yang akurat dan optimal mengenai kondisi janin. Dokter atau tenaga kesehatan terlatih harus mampu menjelaskan tentang prevalensi dan manifestasi klinis dari hasil skrining, termasuk tingkat deteksi, tingkat positif palsu, nilai prediksi positif dalam populasi umum, dan tingkat kegagalan.[22]
Edukasi yang lengkap termasuk konseling tentang genetika saat sebelum dan sesudah tes. Meskipun NIPT semakin mendekati akurasi diagnostik, masih perlu dipertimbangkan dengan cermat tentang bagaimana dan kapan tes ini digabungkan dengan modalitas skrining prenatal rutin lainnya.[10,28]
Informasi yang tepat akan memungkinkan ibu hamil, keluarga, dan dokter dalam menentukan keputusan yang tepat. Pilihan ibu hamil dan keluarga untuk menjalani tes harus merupakan keinginan mereka dan harus dihormati. Untuk menghindari masalah etika, maka dokter harus mendapatkan informed consent.[10,22,27]
Kesimpulan
Non-invasive prenatal testing (NIPT) merupakan pemeriksaan ibu hamil untuk skrining kelainan kromosom maupun genetik pada janin. Perkembangan NIPT semakin meningkat sehingga akurasi diagnostik semakin tinggi untuk mendeteksi aneuploidi. Namun, harus dipahami implementasi dan masalah NIPT pada praktik sehari-hari.
NIPT harus tetap menjunjung tinggi etika kedokteran dalam pelaksanaannya. Pemeriksaan ini tidak untuk digunakan secara rutin pada pemeriksaan antenatal populasi umum. Pedoman pemeriksaan skrining prenatal saat ini yang dilakukan di banyak negara adalah USG trimester pertama dan skrining serum biomarker pada trimester pertama dan/atau kedua.
NIPT dapat diterapkan sebagai pengganti skrining serum (biochemical markers), atau sebagai langkah perantara antara skrining serum dan prosedur invasif. NIPT tidak dilakukan sebagai pengganti tes invasif karena memiliki risiko positif palsu.
Selain harus memiliki indikasi pemeriksaan, NIPT juga harus memiliki persetujuan tertulis setelah ibu hamil dan keluarga mendapat informasi dan edukasi yang lengkap. Diharapkan penerapan NIPT yang semakin umum saat ini tidak memberikan dampak Tindakan abortus yang meningkat.