Skrining Antenatal untuk Down Syndrome

Oleh :
dr.Krisandryka

Skrining antenatal untuk Down syndrome bertujuan untuk mendeteksi risiko terjadinya Down syndrome pada janin dan menentukan perlu tidaknya pemeriksaan definitif lebih lanjut yang invasif. Down syndrome terjadi akibat trisomi kromosom 21. Sindrom ini merupakan kelainan kongenital yang paling sering menyebabkan disabilitas intelektual dan juga dapat menyebabkan disabilitas fisik.[1,2]

Saat ini ada beberapa metode skrining antenatal untuk mendeteksi Down syndrome, seperti ultrasonografi (USG) dan analisis biokimia serum ibu hamil. Kombinasi skrining dengan USG dan analisis biokimia serum ibu dilaporkan mampu mendeteksi kehamilan dengan Down syndrome hingga 95%. Namun, hasil positif palsu atau negatif palsu masih mungkin didapatkan, sehingga program skrining tetap memiliki risiko.[3,4]

AntenatalDownSyndrome

Waktu dan Metode Skrining Antenatal untuk Down Syndrome

Skrining antenatal untuk Down syndrome mencakup kombinasi pemeriksaan serum ibu dan USG, yang dilakukan di trimester pertama dan kedua.

Skrining pada Trimester Pertama

Pada trimester pertama, skrining kombinasi dilakukan pada usia gestasi 11–13 minggu, paling lambat pada usia gestasi 13 minggu 6 hari. Skrining meliputi nuchal translucency scan (NT scan) menggunakan USG dan pemeriksaan pregnancy-associated plasma protein A (PAPP-A) serta human chorionic gonadotropin (hCG) menggunakan serum ibu. Skrining ini dapat mendeteksi Down syndrome dengan akurasi 82–87%.[4,6]

NT scan menilai banyaknya cairan pada dorsum leher fetus. Peningkatan ukuran NT dihubungkan dengan peningkatan risiko sindrom genetik dan dapat mendeteksi hingga 70% kehamilan dengan Down syndrome. NT scan memiliki spesifisitas paling tinggi (97,18%) bila dibandingkan PAPP-A (51,06%) dan hCG (52,46%).[4,5]

Skrining pada Trimester Kedua

Skrining pada trimester kedua adalah skrining triple dan quadruple. Skrining triple meliputi pemeriksaan hCG, AFP (alpha-fetoprotein), dan estriol unconjugated pada serum ibu. Skrining triple dapat mendeteksi hingga 69% kehamilan dengan Down syndrome. Skrining quadruple adalah skrining triple ditambah pemeriksaan inhibin A, yang dapat mendeteksi Down syndrome hingga 81%. Skrining quadruple juga dapat mendeteksi neural tube defect dan trisomi 18.[3,4]

Ada juga skrining terintegrasi, yakni skrining trimester pertama (NT scan, PAPP-A, dan hCG) yang dilanjutkan dengan skrining quadruple pada trimester kedua. Kombinasi skrining ini meningkatkan kemampuan deteksi Down syndrome hingga 95%.[4,6]

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah cell-free fetal DNA, yakni pemeriksaan fragmen DNA janin dari plasenta yang dapat ditemukan di plasma ibu. Pemeriksaan cell-free fetal DNA dapat dilakukan pada usia kehamilan 10 minggu ke atas dan dapat mendeteksi Down syndrome hingga 99%. Umumnya, pemeriksaan ini dilakukan pada ibu hamil yang berusia lebih tua berdasarkan temuan USG dan riwayat pregnancy loss akibat kelainan kromosom.[4,6]

Hasil skrining positif hanya menunjukkan peningkatan risiko terjadinya Down syndrome. Hasil skrining positif masih perlu diikuti dengan pemeriksaan definitif berupa chorionic villus sampling (CVS) atau amniocentesis dan analisis kromosom.[4,6]

Manfaat dan Risiko Skrining Antenatal untuk Down Syndrome

Calon orang tua harus mendapatkan informasi yang menyeluruh mengenai manfaat dan risiko skrining Down syndrome. Skrining kombinasi mampu mendeteksi risiko Down syndrome dengan akurasi hingga 95%, sehingga dapat diandalkan untuk membantu calon orang tua menentukan langkah selanjutnya.[6,7]

Dengan mengetahui sejak kehamilan bahwa janin yang akan dilahirkan memiliki Down syndrome, orang tua dapat melakukan persiapan jika memutuskan untuk meneruskan kehamilan, misalnya merencanakan persalinan di fasilitas kesehatan yang lebih besar untuk mengantisipasi komplikasi pascasalin, mempersiapkan lingkungan rumah yang aman bagi anak berkebutuhan khusus, dan mempersiapkan anggota keluarga lainnya secara emosional.[7,8]

Skrining dengan USG dan pemeriksaan serum ibu bersifat noninvasif, sehingga tidak membahayakan ibu maupun janin secara fisik. Namun, masih ada kemungkinan hasil positif palsu, yang bisa menimbulkan distress psikologis yang berat untuk orang tua. Hasil skrining trimester pertama memiliki kemungkinan positif palsu sebesar 5%.[6,8]

Hasil positif palsu juga dapat menyebabkan dilakukannya pemeriksaan invasif yang tidak perlu, seperti amniocentesis dan pemeriksaan jaringan plasenta (chorionic villus sampling). Pada kasus positif palsu, pemeriksaan invasif ini dapat meningkatkan risiko abortus pada janin yang sebenarnya tidak mengalami Down syndrome.[1,3,4]

Hasil positif dapat memengaruhi orang tua untuk melakukan terminasi kehamilan. Di Australia, Inggris, dan Denmark, sekitar 56–84% ibu hamil menjalani skrining dan lebih dari 75% ibu dengan hasil skrining positif melanjutkan ke tes diagnostik. Di Kanada, Amerika Serikat, Belanda, Skotlandia, dan Taiwan, angka terminasi kehamilan setelah hasil pemeriksaan positif bervariasi sebesar 70–100%.[7]

Studi oleh Korenromp, et al. menyatakan bahwa keputusan terminasi kehamilan adalah keputusan yang sangat sulit dan membangkitkan berbagai emosi, seperti kesedihan karena kehilangan anak yang “disengaja,” rasa lega sekaligus ragu akibat keputusan untuk mengakhiri kehidupan, konflik dengan pasangan, dan ketidakyakinan bagaimana manifestasi Down syndrome pada anak yang seharusnya dilahirkan.[7]

Rekomendasi Skrining Antenatal untuk Down Syndrome

Risiko terjadinya Down syndrome lebih tinggi pada ibu hamil yang berusia lebih tua, ibu hamil yang mempunyai riwayat Down syndrome atau aneuploidi lain pada kehamilan sebelumnya, dan ibu hamil dengan riwayat aneuploidi pada keluarga. Skrining pada kelompok-kelompok tersebut terutama dianjurkan. Namun, skrining juga dapat dijalani oleh ibu hamil yang lain.[3,4]

American College of Obstetricians and Gynecologists menyatakan bahwa semua ibu hamil harus ditawarkan pemeriksaan skrining untuk aneuploidi sebelum usia kehamilan 20 minggu dan semua ibu hamil usia berapa pun boleh memilih untuk menjalani pemeriksaan diagnostik. Namun, hal ini tentunya perlu disertai dengan edukasi yang adekuat dari tenaga kesehatan.[4]

Kesimpulan

Skrining antenatal untuk Down syndrome dilakukan untuk mendeteksi risiko terjadinya Down syndrome pada janin dan menentukan apakah ibu perlu menjalani pemeriksaan diagnostik invasif lebih lanjut, seperti amniocentesis dan chorionic villus sampling.

Skrining antenatal untuk Down syndrome mencakup USG dan pemeriksaan biokimia serum maternal. Skrining trimester pertama berupa NT scan, PAPP-A, dan hCG yang dilanjutkan dengan skrining quadruple pada trimester kedua berupa NT scan, PAPP-A, hCG, dan inhibin A dapat mendeteksi kehamilan dengan Down syndrome hingga 95%.

Namun, orang tua yang hendak menjalani skrining perlu mendapatkan edukasi terlebih dahulu mengenai manfaat dan risiko skrining. Skrining antenatal Down syndrome masih memiliki risiko positif palsu dan negatif palsu. Hasil positif palsu dapat menimbulkan distress psikologis yang serius bagi orang tua dan menyebabkan dilakukannya tindakan invasif yang sebenarnya tidak perlu.

American College of Obstetricians merekomendasikan skrining ditawarkan pada semua ibu hamil. Namun, di daerah dengan sumber daya terbatas, skrining menggunakan berbagai tes di atas mungkin sulit diterapkan dan memakan biaya besar. Umumnya, skrining diutamakan pada kelompok berisiko, misalnya ibu hamil yang berusia lebih tua, ibu hamil yang memiliki riwayat Down syndrome atau aneuploidi lain pada kehamilan sebelumnya, dan ibu hamil dengan riwayat aneuploidi pada keluarga.

Referensi