Apakah Sudah Saatnya Menghentikan Peresepan Pioglitazone Pada Pasien Diabetes Tipe 2?

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Beberapa isu keamanan akibat pioglitazone menyebabkan timbul pertanyaan apakah sudah saatnya menghentikan peresepan pioglitazone pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). Padahal, beberapa studi telah menunjukkan bahwa pioglitazone mampu mengurangi progresi ateroma maupun kejadian terkait kardiovaskuler. Food and Drug Administration (FDA) melaporkan bahwa terjadi penurunan risiko kejadian kardiovaskuler sebesar 25% dengan penggunaan pioglitazone.[1-9]

Manfaat pioglitazone yang sama juga terlihat pada studi PROactive, dimana sebanyak 5238 pasien DMT2 dengan riwayat infark miokard atau stroke sebelumnya menjalani randomisasi untuk mendapat pioglitazone atau plasebo selama durasi studi rerata 2,9 tahun. Hasil studi ini menunjukkan bahwa grup pioglitazone berkaitan dengan penurunan sebesar 28% untuk rekurensi infark miokard dan 47% bagi rekurensi stroke.[3,4]

Close,Up,Old,Female,Hands,Holds,Glass,Bottle,Pours,Pills

Isu Keamanan Pemberian Pliogitazone

Adapun beberapa isu keamanan yang dikhawatirkan adalah penambahan berat badan, retensi cairan, gagal jantung, fraktur, dan risiko kanker kandung kemih. Beberapa studi telah mempelajari isu-isu keamanan pioglitazone tersebut satu demi per satu.[10]

Berat Badan

Semua obat golongan thiazolidinedione dapat meningkatkan berat badan, sekitar 2-3 kg massa lemak dalam satu tahun. Namun efek samping ini bersifat dose-dependent. Studi melaporkan hal tersebut terjadi pada partisipan yang mendapat dosis 45 mg pioglitazone per hari.

Pertambahan berat badan ini turut dipengaruhi oleh retensi cairan, maupun aktivasi reseptor PPARγ di hipotalamus yang meningkatkan nafsu makan. Pertambahan berat badan dapat diminimalisir dengan tidak melewati dosis harian 30 mg. Upaya lainnya ialah dengan mengkombinasikan dengan metformin atau menambah inhibitor SGLT-2 atau agonis reseptor GLP-1.[10,11]

Retensi Cairan dan Gagal Jantung

Saat digunakan sebagai monoterapi, pioglitazone dapat menimbulkan edema pada 5-10% pasien, dan sebagaimana berat badan, hal ini pula bersifat dose-dependent. Jika digunakan bersama dengan insulin atau sulfonilurea, maka insiden edema akan semakin meningkat.[10]

Edema tersebut disebabkan oleh dua faktor yakni vasodilatasi perifer dan retensi natrium di ginjal (collecting tubules). Meski terjadi peningkatan jumlah natrium tubuh, hasil studi menunjukkan tekanan darah malah konsisten menurun yang mengindikasikan efek penurunan tonus vaskuler. Pioglitazone tidak menunjukkan efek negatif terhadap fungsi ventrikel kiri dan bisa memperbaiki disfungsi diastolik.[12,13]

Namun, pioglitazone hendaknya tidak digunakan pada pasien DMT2 dengan gagal jantung simtomatik karena akumulasi cairan dapat mempresipitasi gagal jantung. Retensi cairan dan natrium tersebut berespon dengan baik terhadap pemberian diuretik yang bekerja di tubulus distal seperti spironolactone, triamterene, dan amilorid.[10]

Patut dicermati pula, pada studi IRIS, jumlah pasien grup pioglitazone yang mengalami gagal jantung tidak berbeda signifikan dengan jumlah pasien di grup plasebo yang mengalami hal yang sama (74 vs 71).[2]

Fraktur Tulang

Beberapa studi melaporkan adanya peningkatan insiden fraktur tulang dan penurunan densitas tulang pada pasien DMT2 yang mendapat pioglitazone khususnya pada wanita pasca menopause, pada bagian distal tulang panjang di kaki dan tangan dan berkaitan dengan trauma. Namun, mekanisme efek negatif tersebut belum dipahami dengan jelas.[10,14]

Studi populasi besar pada database United Kingdom-based General Practice Research melaporkan adanya risiko relatif fraktur pada pioglitazone (odds ratio (OR) 2,59; 95% confidence interval (CI) 0,96-7,01).[15,16]

Laporan lain mengestimasi risiko fraktur sebanyak 0,8 fraktur per 100 patient-treatment years (pioglitazone vs grup komparator = 1,9 vs 1,1). Kejadian fraktur tersebut jarang ditemui pada wanita premenopause dan pria. Berdasarkan temuan-temuan tersebut pioglitazone hendaknya tidak digunakan pada pasien dengan risiko tinggi fraktur termasuk pasca menopause, osteoporosis atau pasien dengan riwayat fraktur sebelumnya.[10,14]

Risiko Kanker Kandung Kemih

Meskipun ada data yang menghubungkan kejadian kanker kandung kemih dengan pioglitazone, asosiasi yang dilaporkan masih kontroversial demikian pula dengan hasil studi yang saling kontradiktif.[10,17]

Pada studi preklinis, pioglitazone dihubungkan dengan tumor kandung kemih pada tikus jantan. Pada studi PROactive, tidak ditemukan peningkatan signifikan secara statistik (16 vs 6; p = 0,069). Setelah ajudikasi para ahli di luar tim peneliti, tersisa hanya enam kasus di grup pioglitazone vs tiga kasus di grup plasebo, dengan asosiasi yang tidak signifikan pula (p = 0,309).[1,16]

Meta-analisis terhadap 26 studi terpisah juga menyimpulkan bahwa tidak ditemukan peningkatan risiko kanker kandung kemih terhadap pioglitazone (hazard ratio (HR) 1,07; 95%CI 0,96-1,18).[16,18]

Setelah temuan studi PROactive, pihak FDA meminta pabrik pembuat pioglitazone untuk melakukan studi prospektif yang melibatkan 193.099 pasien selama 10 tahun. Hasil analisis midpoint studi tersebut tidak menemukan asosiasi signifikan antara pioglitazone dengan kanker kandung kemih (HR 1,2; 95%CI 0,9-1,5), tetapi mereka yang terpapar setidaknya dua tahun menunjukkan adanya sedikit peningkatan risiko (HR 1,4; 95%CI 1-2).

Setelah lengkap sepuluh tahun, hasil studi ini tetap tidak menemukan asosiasi signifikan antara keduanya. Analisis sensitivitas pada studi ini menunjukkan efek netral pioglitazone terhadap risiko kanker kandung kemih terlepas dari dosis dan durasi penggunaannya (HR = 1,06; 95%CI 0,89-1,26).[19]

Meski demikian, pihak FDA masih tetap memperingatkan mengenai risiko tersebut dan merekomendasikan bahwa pioglitazone hendaknya tidak diberikan pada pasien DMT2 dengan kanker kandung kemih aktif atau dengan riwayat kanker kandung kemih.[10,16, 17]

Hepatotoksisitas

Laporan observasi tidak menemukan kaitan antara hepatotoksisitas pada penggunaan pioglitazone. Malah, pada pasien non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD), kadar transaminase menunjukkan perbaikan pada penggunaan pioglitazone. Namun, pihak FDA tetap merekomendasikan pemeriksaan baseline tes fungsi liver sebelum memulai terapi pioglitazone.[10,16]

Edema Makula

Studi kohort prospektif terhadap 172.006 pasien dengan diabetic macular edema (DME) melaporkan bahwa mungkin ada kaitan antara penggunaan pioglitazone dengan DME. Namun pada studi percobaan acak terkontrol Action to Control Cardiovascular Risk in Diabetes (ACCORD) eye substudy, malah tidak menemukan klaim tersebut.[16,20]

Risiko Hipoglikemia

Mekanisme kerja pioglitazone dalam mengontrol kadar gula darah bersandar pada peningkatan sensitivitas insulin sehingga monoterapi pioglitazone tidak menimbulkan hipoglikemia. Namun hipoglikemia dapat terjadi jika pioglitazone dikombinasikan dengan sulfonilurea atau insulin.[16]

Risiko Insufisiensi Renal

Pioglitazone masih dapat digunakan pada pasien DMT2 dengan gangguan ginjal kronis (PGK). Data terkini bersumber pada Taiwan’s National Health Insurance Research Database, melibatkan 90.193 pasien DMT2 dengan gagal ginjal tahap lanjut di antara periode 2006-2016, membandingkan antara grup pengguna pioglitazone dengan inhibitor dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4).

Setelah penyesuaian propensity score stabilized weight, pasien di grup pioglitazone menunjukkan adanya insiden yang lebih rendah dalam hal mortalitas semua-sebab, mortalitas terkait major adverse cardiovascular events (MACE), maupun onset baru gagal jantung jika dibandingkan dengan grup pengguna inhibitor DPP-4.

Risiko terhadap onset baru end-stage renal disease yang membutuhkan dialisis permanen tidak berbeda signifikan di antara kedua grup yang dibandingkan.[21]

Data penelitian acak terkontrol lainnya menyebutkan bahwa tidak ditemukan efek samping mayor pada  pasien DMT2-CKD yang mendapatkan pioglitazone (7,5 mg/hari vs 15 mg/hari) selama enam bulan.[22]

Studi kontrol acak lainnya menemukan bahwa penggunaan pioglitazone 15 mg/hari pada pasien  DMT2-PGK mampu menurunkan kadar fibroblast growth factor-23 (FGF23) dengan median change -49,01 vs 1,07 setelah 16 minggu terapi; FGF23 telah menjadi penanda risiko penyakit kardiovaskuler pada pasien PGK. Tidak ditemukan efek samping serius selama studi tersebut.[23]

Pada sebuah meta-analisis di tahun 2020 terhadap 26 studi yang melibatkan 19.645 pasien, menemukan bahwa pioglitazone dapat menurunkan risiko MACE (RR 0,8; 95%CI 0,7-0,9), terutama pada partisipan dengan riwayat penyakit kardiovaskuler sebelumnya.

Selain itu, pioglitazone dapat mengurangi albuminuria sebesar 18,5% dengan weighted mean difference (WMD) 18,5%; 95%CI 21,1-16. Pioglitazone tidak membutuhkan penyesuaian dosis pada pasien DMT2 dengan mild to severe impairment termasuk pada pasien gagal ginjal tahap akhir yang sudah menjalani dialisis.[18,24,25]

Pedoman Diabetes Mellitus Tipe 2 Terkini Mengenai Pioglitazone

Pedoman terkini dari American Diabetes Association (ADA) maupun American Heart Association (AHA) merekomendasikan bahwa pioglitazone masih dapat diberikan pada pasien DMT2 tetapi bukan sebagai first line therapy. Di sisi lain, direkomendasikan pula bahwa pioglitazone harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan risiko acute decompensated heart failure.[26]

Pioglitazone hendaknya dipertimbangkan sebagai add-on non-insulin option setelah metformin, inhibitor SGLT-2, agonis reseptor GLP-1 pada pasien DMT2 dengan penyakit jantung aterosklerotik yang tidak memiliki kontraindikasi terhadap pioglitazone, seperti gagal jantung simptomatik. Pioglitazone sendiri masih menjadi satu-satunya true insulin-sensitizing glucose lowering agent.[27]

Kesimpulan

Evidence based data menyimpulkan bahwa pioglitazone masih memperoleh tempat dalam penatalaksanaan DMT2. Namun, penggunaannya tetap harus memperhitungkan benefit to risk ratio terhadap terhadap profil pasien DMT2 yang diterapi.

Pioglitazone tidak direkomendasikan untuk digunakan pada pasien DMT2 dengan komorbid gagal jantung (NYHA diatas kelas II), pasien dengan risiko fraktur/osteoporosis, atau risiko kanker kandung kemih.

Dengan ketersediaan generik dan harga yang amat terjangkau dibandingkan dengan inhibitor SGLT-2 ataupun agonis reseptor GLP-1, pioglitazone masih bisa menjadi solusi pada pasien DMT2 yang membutuhkan proteksi kardiovaskuler dan/atau manfaat metabolik seperti pada kasus NAFLD atau non-alcoholic steatohepatitis (NASH).

Referensi