Apakah Pandemi COVID-19 akan Menjadi Endemis?

Oleh :
dr. Monik Alamanda

Diprediksi dalam waktu dekat, penyakit pandemi COVID-19 akan bergeser ke  penyakit endemik. Penyakit endemik adalah prevalensi penyakit atau agen infeksi yang konstan dalam suatu populasi di wilayah geografis.[5] Belajar dari endemik beberapa dekade terakhir di Indonesia, seperti influenza, rhinovirus dan coronavirus lainnya (OC43, 229E, NL63, HKU1) yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas, mereka berhasil dimitigasi dengan menekan penyebaran lokal.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Secara global, mengingat penyebaran SARS-CoV-2 sebagai penyebab COVID-19, kecil kemungkinannya akan dapat diberantas dalam waktu dekat.[1] Pada Januari 2021 survey global, 90% imunologis, yang meneliti penyakit infeksius, dan virologis berpendapat SARS-CoV-2 akan menjadi endemik. Virus tersebut akan terus bersirkulasi secara global dalam tahun-tahun mendatang.[2]

Transisi Model dari Pandemi Menjadi Endemis

Pada awal pandemi, jumlah kasus terinfeksi dan fatalitas akan melonjak drastis dikarenakan tidak ada kekebalan pada populasi umum. Setelah mencapai puncak, jumlah kasus akan menurun hingga garis plateau atau datar. Transisi tersebut dapat terjadi dalam beberapa tahun hingga beberapa dekade, tergantung dari seberapa cepat penyebaran patogen.[1,2]

Apakah Pandemi COVID19 akan Menjadi Endemis-min

Kekebalan dalam pandemi dapat dicapai dengan 2 cara. Infeksi SARS-CoV-2 yang akan menghasilkan kekebalan alami, tetapi terutama pada awal pandemi akan memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Kekebalan juga dapat dicapai dengan vaksinasi. Transisi ke status plateau atau endemik dapat terjadi ketika sebagian besar populasi memiliki imunitas.[1]

Pada awal penyebaran virus COVID-19, demografi usia infeksi berbanding lurus dengan proporsi usia dalam populasi. Seiring dengan berjalannya waktu dengan jumlah kasus yang semakin stabil, SARS-CoV-2 diprediksi akan lebih banyak menginfeksi bayi dan anak sebagai populasi rentan. Pada varian coronavirus lainnya, diketahui infeksi terjadi paling sering pada populasi anak, sehingga sebagian besar populasi dunia membentuk imunitas terhadap virus tersebut sejak kecil. Untuk itu, infeksi pada anak menjadi penting dalam evaluasi epidemiologi.[1]

Pada attack rate sama dengan 1, yaitu satu pasien menginfeksi satu orang lainnya, kurva jumlah terinfeksi dapat ditekan hingga mencapai garis plateau atau datar di awal pandemi tanpa harus mengalami puncak kasus yang tinggi. Semakin rendah attack rate, jumlah kasus dan kematian di awal pandemi dapat ditekan meratakan kurva untuk memberi waktu bagi perkembangan vaksin yang efektif. Apabila imunitas yang diinduksi vaksin serupa dengan infeksi alaminya, akan terjadi percepatan transisi ke endemis.[1]

Model Imunologi Endemis

Coronavirus yang bukan SARS-CoV-2 diketahui menyerang anak-anak dengan mayoritas usia <6 tahun. Level imunitas yang diinduksi lalu berkurang seiring waktu sehingga memungkinkan terjadinya reinfeksi di kemudian hari. Meskipun demikian, infeksi sejak kecil tersebut terbukti cukup kuat untuk melawan virus, sehingga saat dewasa jika terinfeksi kembali dengan virus yang sama, yang terinfeksi ulang sebagian besar tidak menunjukkan gejala atau memiliki gejala ringan.[2]

Imunitas yang menelurkan prediksi COVID-19 akan menjadi endemis. Imunitas yang ditimbulkan infeksi alami atau vaksinasi dapat mengurangi infeksi berat dan kematian, dengan kebanyakan orang yang terinfeksi ulang memiliki penyakit asimtomatik atau ringan.[2]

Setelah transisi endemis terjadi, SARS-CoV-2 diperkirakan akan menjadi penyakit infeksi pada anak-anak. Hal ini dikarenakan, populasi usia lainnya telah membentuk imunitas terhadap virus tersebut sebelumnya, jadi infeksi ulang akan tidak signifikan hanya penyakit asimtomatik atau ringan kecuali dalam kelompok berisiko seperti lansia yang lemah atau kekebalan yang tertekan.[2]

Dampak Vaksin terhadap Status Endemik

Perkembangan vaksin COVID-19 telah terbukti dapat menurunkan tingkat keparahan gejala dari pasien yang terinfeksi. Namun, butuh waktu yang lebih lama untuk menilai efektivitas vaksin COVID-19 dalam mengurangi transmisi infeksi. Sejumlah bukti dari uji klinis saat ini menunjang teori bahwa vaksin yang mencegah infeksi simptomatik juga berpotensi menghentikan transmisi infeksi.[2]

Apabila vaksin terbukti mencegah transmisi dan tetap efektif terhadap varian baru yang mungkin terbentuk dari SARS-CoV-2, eradikasi virus ini sangat mungkin dicapai di beberapa area. Meskipun demikian, bahkan untuk vaksin dengan efektivitas 90% mencegah transmisi, dibutuhkan 67% cakupan populasi yang tervaksinasi untuk mencapai imunitas kelompok atau herd immunity.[2]

Di sisi lain, mengingat imunitas yang ditimbulkan infeksi alami berkurang seiring dengan berjalannya waktu, model imunitas dari vaksinasi juga dapat diperkirakan bekerja dengan karakteristik yang serupa. Virus memiliki potensi bermutasi yang menyebabkan efektivitas imunitas yang terbentuk berkurang. Oleh karena itu, COVID-19 diperkirakan akan menjadi endemik, bukan tereradikasi secara sempurna.[2]

Beberapa ahli mengemukakan, sama seperti influenza, imunitas terhadap COVID-19 diperkirakan penting diperbarui setiap beberapa tahun melalui infeksi alami atau vaksinasi ulang (vaksin COVID-19 Booster). Namun, dengan adanya mutasi virus dan imunitas yang berkurang, bahkan tanpa booster, imunitas yang didapat sebelumnya dapat mencegah gejala yang berat.[2]

Saat COVID-19 Bersifat Endemis

Kekebalan di sebagian besar populasi baik dari infeksi, vaksinasi atau kombinasi keduanya diperlukan untuk mengakhiri pandemi. Status endemis dapat dicapai ketika jumlah kasus menjadi stabil atau plateau. Pada waktu tertentu, dapat terjadi kenaikan kasus musiman, tetapi akan kembali stabil, seperti pada virus influenza.[2]

Coronavirus lainnya merupakan infeksi virus musiman pada musim dingin (pada iklim sedang) atau musim hujan (negara tropis seperti Indonesia). COVID-19 juga diperkirakan memiliki karakteristik musiman. Namun, pola musiman tersebut tidak dapat dinilai pada awal epidemi, saat virus baru dengan tingkat transmisi yang tinggi mulai menginfeksi populasi yang rentan. Untuk itu, evolusi SARS-CoV-2 di kemudian hari masih perlu dievaluasi.[3]

Pada akhirnya, protokol kesehatan dan pembatasan perjalanan global dapat diangkat. Dengan syarat bahwa jumlah infeksi berat ditekan hingga dapat ditangani oleh fasilitas kesehatan yang ada dan populasi rentan terhadap infeksi berat telah divaksinasi. Vaksinasi berulang seperti pada influenza dapat dipertimbangkan setelah perjalanan imunitas SARS-CoV-2 diketahui terutama pada kelompok berisiko.[2]

Mengenai pencatatan dari kasus COVID-19, saat ini saat masih berstatus pandemi, kasus ringan dan asimptomatik seringkali tidak tercatat. Data dari studi seroprevalence di Alberta, Kanada menunjukkan bahwa dari semua yang memiliki antibodi SARS-CoV-2, hanya 26% yang juga memiliki tes PCR positif, menunjukkan bahwa 3/4 dari populasi ini memiliki penyakit ringan atau tanpa gejala. Untuk itu, tes PCR secara massal pada kasus ringan bahkan asimptomatik akan ditinggalkan.[4]

Vaksin adalah faktor utama yang bisa membantu mencapai endemis untuk saat ini. Keuntungan memiliki akses luas ke vaksin yang sangat efektif memberikan perlindungan yang signifikan terhadap infeksi dan kondisi yang berat. Data Alberta, bahwa dua dosis vaksin  mempunyai efektivitas 85% untuk melawan infeksi COVID-19 varian Delta yang sangat menular dan akan lebih efektif terhadap varian lain.

Kesimpulan

Imunitas akan memungkinkan transisi COVID-19 dari pandemi ke endemik. Imunitas ini dapat berupa imunitas alami, tetapi ini menimbulkan mortalitas dan morbiditas yang tinggi dengan infeksi COVID-19, atau dengan vaksinasi atau keduanya. Setelah tingkat imunitas tercapai ke tingkat herd immunity, COVID-19 akan sebagai endemik.

Diprediksi endemik COVID-19 akan berperilaku seperti influenza atau virus ISPA lainnya dimana bagi sebagian besar orang yang terinfeksi hanya akan mengalami penyakit ringan atau tanpa gejala.

Dengan menjadi endemis, kasus COVID-19 akan lebih berkonsentrasi untuk populasi rentan saja seperti orang tua atau mereka yang memiliki gangguan kekebalan. Oleh karena itu, tes PCR untuk mengkonfirmasi COVID-19 akan dibatasi untuk pasien yang membutuhkan perawatan kritis di rumah sakit, dan tes tidak diperlukan oleh masyarakat umum. Mirip dengan cara kami saat ini mengelola infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).

Pemberian vaksin untuk masyarakat dilakukan dengan vaksin booster untuk menjaga kestabilan imun. Untuk melakukan transisi ini kita perlu melakukan studi seroprevalensi komunitas secara teratur untuk memahami kekebalan alami serta melanjutkan program vaksinasi massal. Kemudian pendidikan yang menjelaskan perubahan dari pandemi ke endemik juga akan memainkan peran penting.

Referensi