Alat pemantauan keton kontinu (continuous ketone monitoring/CKM) digunakan untuk mencegah ketoasidosis pada pasien diabetes yang dependen insulin. Penelitian menunjukkan bahwa pemantauan keton melalui cairan interstisial dapat dilakukan secara efektif menggunakan sensor subkutan yang memanfaatkan reaksi enzimatik. Hasil pengukuran keton ini diperbarui tiap lima menit, yang tentu lebih menguntungkan dibandingkan metode konvensional menggunakan urin dan darah.[1-3]
Ketoasidosis diabetik merupakan komplikasi akut yang mengancam jiwa pada penderita diabetes. Kondisi ini ditandai dengan hiperglikemia atau telah terdiagnosis diabetes sebelumnya, yang disertai dengan konsentrasi β-hidroksibutirat plasma ≥ 3,0 mmol/L, ketonemia, serta asidosis.[1,3]
Keterbatasan Pemeriksaan Konvensional Untuk Pemantauan Kadar Keton
Ketoasidosis diabetik terjadi akibat defisiensi insulin relatif atau absolut dalam sirkulasi darah yang disertai dengan peningkatan kadar glukagon. Peningkatan glukagon mempercepat terjadinya ketonemia dan hiperglikemia melalui pelepasan asam lemak bebas ke dalam sirkulasi darah melalui proses lipolisis, kemudian mengalami oksidasi menjadi badan keton. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini dapat menyebabkan penurunan kesadaran, gangguan kardiovaskular koma, hingga kematian.[2,3]
Pencegahan dan tata laksana ketoasidosis diabetik bertumpu pada identifikasi dini dari ketosis, tetapi pemeriksaan keton konvensional, baik melalui urin maupun darah kapiler, memiliki sejumlah keterbatasan yang signifikan. Metode pemeriksaan konvensional sangat bergantung pada inisiatif pasien dalam mengenali risiko dan memulai pemeriksaan, padahal gejala seperti mual dan haus biasanya muncul terlambat dan bersifat non-spesifik.[3]
Selain itu, tanda ketosis pada pengujian urin juga dapat muncul tertunda akibat representasi keton sejak buang air kecil terakhir, dan pengujian ini juga berisiko memberikan hasil positif palsu karena interferensi zat lain. Pengujian urin juga tidak bisa dilakukan pada pasien dengan oliguria, dehidrasi, atau gagal ginjal.
Di sisi lain, pemeriksaan darah meskipun lebih akurat, dapat menimbulkan nyeri terkait pemeriksaan, memerlukan biaya lebih tinggi, memerlukan alat khusus, dan strip pemeriksaannya memiliki masa simpan yang terbatas. Hingga kini juga masih belum ada ketetapan mengenai ambang kadar keton darah. Secara umum, kadar keton di bawah 1,0–1,5 mmol/L dinilai tidak mendukung diagnosis ketoasidosis diabetik.[3,4]
Alternatif Pemantauan Kadar Keton pada Penderita Diabetes
Selain pengukuran keton melalui darah dan urin, keton juga bisa diukur melalui pemeriksaan napas. Senyawa keton yang diukur dari napas adalah aseton. Keunggulan metode ini adalah penilaian kadar keton yang sangat mudah, dan tidak menimbulkan rasa nyeri. Meski demikian, alat pengukur keton napas memiliki harga yang tinggi, belum tersedia secara luas, dan belum secara resmi diizinkan penggunaannya untuk diabetes.[3,4]
Pada prinsipnya, metode pemantauan keton yang ideal harus mampu mengukur kadar keton secara akurat tanpa memerlukan inisiasi dari pengguna, serta memberikan alarm otomatis dan informasi tren yang terintegrasi dengan sistem manajemen glukosa pengguna. Teknologi ini juga harus minim rasa tidak nyaman, hemat biaya, dan tidak mengganggu aktivitas pasien. Alternatif lain yang baru-baru ini diteliti adalah alat pemantau keton kontinu.[3]
Alat Pemantau Keton Kontinu atau Continuous Ketone Monitoring (CKM)
Metode terbaru untuk mengukur kadar keton adalah pemantauan kadar keton kontinu atau continuous ketone monitoring (CKM). Perangkat CKM mengukur level β-hidroksibutirat pada cairan interstisial di jaringan subkutan secara terus menerus. Alat ini menyediakan grafik dengan jejak visual yang serupa dengan CGM (Continuous Glucose Monitoring).[3,5]
CKM mengukur β-hidroksibutirat di cairan interstisial menggunakan reaksi enzimatik yang melibatkan enzim β-hidroksibutirat dehidrogenase dan ko-faktor NAD+. Keton yang masuk ke cairan interstisial diubah menjadi sinyal listrik melalui proses oksidasi NADH di permukaan elektroda, menghasilkan arus yang proporsional dengan konsentrasi β-hidroksibutirat. Sensor ini ditanamkan di bawah kulit dan dirancang untuk bekerja secara kontinu,
Beberapa kondisi pasien yang diharapkan akan mendapat keuntungan dengan penggunaan CKM adalah wanita hamil, pasien dengan riwayat ketoasidosis diabetik berulang, pasien dengan penggunaan obat yang meningkatkan risiko ketoasidosis, pasien yang menjalankan diet rendah karbohidrat, pasien yang harus berpuasa untuk syarat tindakan medis, dan pasien yang memerlukan rawat inap.[3]
Walau demikian, perlu disadari bahwa CKM merupakan teknologi yang masih baru dengan basis data pendukung yang masih terbatas. Akurasi sensor CKM masih belum ditetapkan berdasarkan uji keton plasma independen sehingga penggunaannya secara klinis masih memerlukan studi lebih lanjut.[3,6-8]
Kesimpulan
Pemantauan kadar keton kontinu (continuous ketone monitoring/CKM) adalah teknologi baru yang mengukur β-hidroksibutirat secara real-time di cairan interstisial menggunakan sensor subkutan berbasis reaksi enzimatik elektrokimia. CKM mengatasi berbagai keterbatasan metode konvensional, seperti pemeriksaan keton urin dan darah, yang cenderung tidak akurat, menyakitkan, atau bergantung pada inisiatif pasien sehingga sulit mendeteksi ketosis secara dini. Meski penggunaannya menjanjikan untuk pasien dengan risiko tinggi ketoasidosis diabetik, CKM masih memerlukan validasi lebih lanjut sebelum dapat digunakan secara luas dalam praktik klinis.