5 Mitos Tentang Antibiotik yang Dokter Perlu Tau

Oleh :
dr.Bedry Qintha

Antibiotik merupakan salah satu golongan obat yang paling sering diresepkan. Namun, sekitar 30% sampai 50% penggunaan antibiotik dalam praktik klinis tidak diperlukan atau kurang optimal. Berikut ini adalah 5 mitos tentang antibiotik yang perlu diketahui dokter.[1,2]

1. Pemberian Antibiotik Dianggap Tidak Membawa Bahaya (No Harm)

Salah satu mitos atau pemikiran yang paling berbahaya terkait penggunaan antibiotik adalah asumsi bahwa pemberian antibiotik tidak membawa risiko signifikan bagi pasien.

mitosantibiotik

Setiap pemberian obat apapun, termasuk antibiotik, memiliki risiko. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah toksisitas. Memahami bahwa pemberian antibiotik meningkatkan risiko toksisitas seharusnya menjadi alasan utama untuk tidak meresepkan golongan obat ini tanpa indikasi.[1,3]

Paparan antibiotik akan meningkatkan risiko reaksi alergi, efek samping, serta infeksi Clostridium difficile. Perlu digaris bawahi bahwa potensi efek samping akibat pemberian antibiotik sangat luas, mulai dari keluhan gastrointestinal ringan seperti mual dan muntah, hingga aritmia fatal seperti yang telah dilaporkan pada penggunaan azithromycin.[3,4]

2. Anggapan Bahwa Antibiotik Harus Diberikan Selama 7, 14, Bahkan 21 Hari

Banyak dokter berpesan pada pasien untuk “menghabiskan antibiotik” dan menyarankan durasi penggunaan antibiotik yang panjang dengan anggapan hal ini akan meningkatkan efikasi serta menurunkan risiko resistensi. Pada kenyataannya, anggapan ini tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat. Sebaliknya, berbagai bukti bermunculan yang mengindikasikan bahwa durasi antibiotik yang semakin panjang justru berefek buruk bagi pasien dan meningkatkan kemungkinan resistensi.[1,5,6]

Banyak uji klinis terbaru menunjukkan bahwa antibiotik dapat digunakan dalam durasi singkat dan menghasilkan efikasi yang setara dengan durasi lebih panjang. Sebagai contoh, antibiotik yang digunakan selama 5 hari menunjukkan efikasi yang setara dengan durasi 7-10 hari dalam penanganan pneumonia komuniti. Durasi antibiotik 7 hari telah dilaporkan sama efektif dengan 10-14 hari pada pyelonephritis. Durasi 5 hari telah terbukti sama efektif dengan penggunaan 10 hari pada selulitis.

Bagaimanapun, ada beberapa pengecualian dimana durasi terapi lebih lama mungkin lebih bermanfaat. Misalnya saja pada kasus faringitis Streptococcus dan otitis media pada anak di bawah 2 tahun, ataupun pada kasus infeksi yang kronik atau melibatkan jaringan yang luas.[5]

3. Asumsi Bahwa Antibiotik Intravena Lebih Unggul Dibandingkan Antibiotik Oral

Banyak dokter, terutama dalam setting rawat inap, menganggap antibiotik intravena lebih unggul dibandingkan antibiotik oral. Padahal, hal terpenting terkait efikasi dari suatu antibiotik adalah obat mencapai tempat infeksi dalam konsentrasi yang memadai, tidak peduli apakah pemberiannya secara oral atau intravena.[1,7]

Banyak studi prospektif dan terkontrol telah menunjukkan bahwa antibiotik oral setidaknya sama efektif, lebih aman, dan menghasilkan durasi rawat inap yang lebih pendek dibandingkan pemberian intravena.[7]

4. Kepercayaan Bahwa Penggunaan Lebih dari Satu Antibiotik Meningkatkan Efikasi dan Luaran Klinis

Penggunaan lebih dari satu antibiotik sering dipercaya akan meningkatkan efikasi terapi dan meningkatkan luaran klinis pasien. Padahal, seringkali antibiotik yang digunakan memiliki cakupan bakteri yang tumpang tindih. Di sisi lain, penggunaan lebih dari satu jenis antibiotik tentu akan meningkatkan risiko efek samping, interaksi obat, dan resistensi obat.

Dokter perlu memahami bahwa efikasi terapi tidak berbanding lurus dengan seberapa banyak obat yang diberikan. Hal yang sangat penting dilakukan adalah menggunakan antibiotik secara rasional, yakni dengan meresepkan antibiotik hanya pada pasien yang diharapkan akan mendapat manfaat dari pengobatan tersebut.[1,8]

5. Pasien dengan Riwayat Alergi Penicillin Dianggap Tidak Boleh Mendapat Antibiotik Beta Laktam Lainnya

Alergi penicillin merupakan alergi antibiotik golongan beta laktam yang paling banyak dilaporkan. Banyak dokter menganggap bahwa pasien dengan alergi penicillin tidak boleh mendapat antibiotik dari golongan beta laktam lainnya, misalnya sefalosporin dan carbapenem.

Pada kenyataannya, telah banyak studi yang menunjukkan bahwa reaktivitas silang yang menyebabkan pasien dengan alergi penicillin mengalami alergi akibat obat beta laktam lain sangatlah jarang terjadi. Pada kebanyakan kasus, sefalosporin dan obat beta laktam non-penicillin lainnya aman dan dapat digunakan pada pasien dengan riwayat alergi penicillin.[1,9-11]

Kesimpulan

Banyak dokter terjebak dalam mitos-mitos penggunaan antibiotik yang tidak benar. Ini sering menyebabkan overuse dan misuse dari antibiotik. Pada kenyataannya, kebanyakan dari mitos-mitos tersebut tidak didasarkan pada bukti ilmiah adekuat. Kepercayaan pada mitos-mitos yang tidak berdasar malah justru dapat merugikan pasien, meningkatkan risiko resistensi, dan membebani pembiayaan medis.

Referensi