Pendahuluan Sekelumit Tentang Pendeteksian Dini Kanker Serviks
Skrining berperan dalam menurunkan insidensi kanker serviks secara global. Insidensi kanker serviks ini menurun lebih dari 50% dalam 30 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri, deteksi dini terutama dilakukan pada 2 kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia, kanker payudara, dan kanker serviks.
Ada 3 metode tes pemeriksaan untuk skrining kanker serviks, yaitu inspeksi asam asetat atau inspeksi visual asetat (IVA), Pap Smear, dan tes HPV (human papillomavirus) atau HPV DNA genotyping.
Inspeksi Asam Asetat, atau IVA
Pemeriksaan ini ditemukan oleh Hans Hinselman dari Jerman pada tahun 1925, seiring dengan dikenalkannya kolposkopi. Namun, pemeriksaan ini baru mulai diterapkan mulai tahun 2005. Sensitivitas sekitar 84%, spesifisitas sekitar 82% untuk mendeteksi dini lesi pre-kanker
Pap Smear
Pap smear ditemukan oleh seorang dokter Yunani, Georgious Papanikolaou, pada tahun 1923. Tes ini dikenal sebagai tes Papanicolaou, Pap Test. Selama 60 tahun terakhir, tes Papanicolaou adalah tes yang paling penting untuk skrining kanker serviks. Tes ini melihat secara mikroskopik sel-sel eksfoliasi dari zona transformasi serviks, untuk pendeteksian lesi pre-kanker, atau kanker sehingga memerlukan laboratorium dan tenaga ahli yang memadai. Sensitivitas berkisar 60-90%, spesifisitas sekitar 95-99% untuk mendeteksi dini lesi pre-kanker.
Pap smear terdiri dari dua metode teknik pemeriksaan, yaitu: pap smear konvensional, dan pap smear berbasis cairan atau liquid-based cytology. Pap smear konvensional menggunakan metode pemeriksaan tradisional mrnggunakan gelas slides sehingga darah dan debris dapat bercampur dengan sampel. Pap smear berbasis cairan dapat mengatasi kekurangan pap smear konvensional tersebut. Walau demikian, metode ini memerlukan pengambilan sampel yang adekuat dan memiliki biaya yang mahal sehingga tidak cocok untuk digunakan di negara berkembang.

Tes HPV atau HPV DNA genotyping
Tes ini bermanfaat untuk melihat ada tidaknya HPV pada leher rahim. Adanya HPV pada leher rahim berhubungan dengan kejadian kanker serviks, dengan proporsi sekitar 90-99%. Tes ini memerlukan laboratorium dan tenaga ahli yang memadai dengan biaya yang mahal. Sensitivitas tes ini sekitar 80%, spesifisitas sekitar 94%.
Program Nasional Pelaksanaan Skrining Kanker Serviks
Sejak tahun 2008, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencanangkan pelaksanaan skrining kanker serviks sebagai program nasional, dengan menggunakan metode IVA. Metode ini dipilih karena lebih praktis dan mudah dilakukan di lapangan, dengan hasilnya langsung diketahui saat itu juga. Selain itu, proses pemeriksaan tidak menyakitkan pasien dengan biaya yang terjangkau.
Metode IVA tidak harus dilakukan oleh seorang dokter, tetapi dapat dilakukan tenaga kesehatan terlatih, seperti bidan. Dengan demikian, penggunaan metode ini untuk skrining kanker serviks dapat menjangkau masyarakat luas, dengan cakupan yang lebih besar di daerah-daerah jauh/terpencil, di mana terdapat keterbatasan fasilitas kesehatan/sumber daya manusia.