Tes HPV DNA Lebih Direkomendasikan untuk Skrining Kanker Serviks

Oleh :
Josephine Darmawan

Tes HPV DNA mulai menjadi metode skrining yang lebih disarankan untuk skrining kanker serviks. Sudah banyak pedoman baru yang merekomendasikan skrining kanker serviks menggunakan tes HPV (Human Papilloma Virus) DNA setiap 5 tahun atau kombinasi dengan tes Pap smear setiap 5 tahun.

Pedoman baru ini sudah diberlakukan di berbagai negara, seperti Amerika Serikat dan Australia, karena tes HPV DNA dinilai dapat mengurangi jumlah paparan risiko akibat frekuensi tindakan, meningkatkan kepatuhan pasien terhadap jadwal skrining, dan lebih efisien secara waktu ataupun finansial.[1-5]  Pedoman skrining baru ini juga dinilai dapat menekan insidensi kanker serviks hingga 30%.[1,2,6] Namun, masih belum diterapkan secara luas di Indonesia. [7]

pap smear

Pentingnya Skrining Kanker Serviks

Kanker serviks merupakan penyebab kanker tertinggi kedua pada wanita. Sebanyak 16 dari 100.000 wanita di Indonesia mengalami kanker serviks. [8] Skrining dipercaya dapat mencegah 80% kematian akibat kanker serviks. [9]

Sebuah studi di Kanada menemukan penurunan insidensi dan mortalitas kanker serviks sebesar 58%. Adanya program skrining diduga sebagai faktor utama dari penurunan ini. [10]

Skrining Kanker Serviks di Indonesia

Setiap negara dan asosiasi memiliki rekomendasi yang berbeda-beda mengenai skrining kanker serviks. Pedoman baru dari RANZCOG (Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists) dan USPSTF (The United States Preventive Services Task Force) merekomendasikan skrining kanker serviks dilakukan dengan tes HPV DNA dan atau tes Pap smear setiap 3 tahun sekali. Namun demikian, hal ini belum diterapkan di Indonesia. [1,2]

Pada umumnya, program skrining kanker serviks yang berlaku di Indonesia masih menggunakan tes IVA (inspeksi visual asam asetat) dan Pap smear sebagai metode diagnostik awal, khususnya di fasilitas layanan kesehatan primer.[7,8,11] Berdasarkan rekomendasi Komite Penanggulangan Kanker Nasional Kemenkes RI, tes IVA sebaiknya dilakukan pada wanita usia subur, khususnya usia 30-50 tahun, dan sudah menikah dengan pendekatan single visit ataupun screen and treat setiap 3-5 tahun sekali. Berikut adalah alur deteksi dini kanker serviks dengan tes IVA dan Pap smear di Indonesia berdasarkan Komite Penanggulangan Kanker Nasional Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2015. [7]

Gambar 1. Alur Skrining Kanker Serviks di Indonesia dengan Tes IVA Gambar 1. Alur Skrining Kanker Serviks di Indonesia dengan Tes IVA

Gambar 2. Alur Skrining Kanker Serviks di Indonesia dengan Pap smear Gambar 2. Alur Skrining Kanker Serviks di Indonesia dengan Pap smear

Rekomendasi Skrining Kanker Serviks di Luar Negeri

Pedoman terbaru dari Amerika Serikat (US Preventive Services Task Force/USPSTF) dan Australia (Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists/RANZOG) merekomendasikan penggunaan tes HPV DNA atau Pap Smear sebagai upaya deteksi dini kanker serviks setiap 3 atau 5 tahun sekali dengan prinsip screen and treat. [1,2,6]

Beberapa hal yang direkomendasikan pada kedua pedoman ini berdasarkan kelompok usia adalah sebagai berikut:

  • Usia < 21 tahun: Wanita usia < 21 tahun tidak perlu dilakukan skrining
  • Usia 21-29 Tahun: Skrining dengan tes HPV DNA dilakukan setiap 5 tahun sekali, atau skrining dengan Pap smear disertai tes HPV DNA dilakukan setiap 5 tahun sekali, atau skrining Pap smear sitologi konvensional ataupun Liquid Based Cytology (LBC) setiap 3 tahun terlepas dari status koitarke

  • Usia 30 – 65 tahun: Skrining dengan tes HPV DNA setiap 5 tahun, atau skrining dengan tes HPV DNA dan pemeriksaan sitologi setiap 5 tahun, atau skrining dengan pemeriksaan sitologi setiap 3 tahun
  • Usia > 65 tahun: Tidak perlu dilakukan skrining kanker serviks bila telah mendapatkan skrining secara adekuat sebelumnya. Skrining dapat dilakukan apabila terdapat risiko tinggi kanker serviks.  Selain itu, tidak perlu dilakukan skrining kanker serviks bila telah dilakukan histerektomi total dan tidak memiliki riwayat lesi pra-kanker atau kanker serviks.
  • Skrining lebih cepat dari 3 tahun dinilai tidak memiliki kelebihan secara signifikan dan dapat meningkatkan risiko bahaya akibat tindakan yang dilakukan.

Rekomendasi skrining ini ditujukan bagi individu yang masih memiliki serviks (belum melakukan histerektomi total), terlepas dari riwayat hubungan seksual, ataupun status vaksinasi HPV. Rekomendasi baru ini dinilai akan menekan insidensi kanker serviks hingga 30%. [1,2,7]

Apabila terdapat risiko tinggi, seperti: (1) promiskuitas, (2) hubungan seksual berisiko, (3) infeksi HIV, (4) riwayat pengobatan ataupun diagnosis kanker serviks atau lesi prakanker high grade, (5) imunokompromais, dan (6) paparan dietilstilbestrol intrauterine, maka sebaiknya dilakukan modifikasi rekomendasi jadwal skrining tergantung dari kondisi masing-masing pasien. Dokter bertanggung jawab untuk memastikan setiap wanita mendapatkan skrining kanker serviks yang adekuat. Selain skrining, upaya preventif melalui vaksinasi HPV juga tetap harus dilakukan. [1,2,6]

Perbandingan Metode Skrining Kanker Serviks

Pap smear merupakan pemeriksaan sitologi yang dapat dilakukan secara konvensional atau menggunakan liquid-base cytology (LBC). Bukti ilmiah yang ada saat ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kedua metode pemeriksaan sitologi tersebut. Pap smear LBC lebih superior hanya dalam mengurangi hasil tes yang kurang jelas, tetapi memiliki sensitivitas (55% vs 51%), spesifisitas (77% vs 66%), nilai prediksi positif (97% vs 96%), serta nilai prediksi negatif (10% vs 8%) yang tidak jauh berbeda dengan Pap smear konvensional. [12-14]

Tes IVA merupakan salah satu pemeriksaan kanker serviks yang sering dilakukan di Indonesia. Tes IVA memiliki nilai prediksi negatif (95,9%) dan spesifisitas (91%) yang tinggi untuk deteksi lesi prakanker dan kanker serviks awal subklinis. Angka ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan Pap smear. Namun, sensitivitas dan nilai prediksi positif tes IVA cukup rendah. [14-17]

Tes HPV DNA dan Keunggulannya

Pemeriksaan tes HPV DNA dapat mendeteksi jenis virus HPV risiko tinggi (tipe 16 dan 18) yang pada umumnya ditemukan pada kanker serviks. Tes HPV DNA dinilai sebagai pemeriksaan baku emas untuk deteksi infeksi HPV. [1,2,18] Bila ditemukan hasil positif, maka terdapat sekitar 70% risiko terjadi kanker serviks. Sedangkan, bila ditemukan hasil negatif, tidak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. [1,2]

Tes HPV DNA juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan metode tes lainnya. Sebuah studi di India menyatakan bahwa tes HPV DNA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan IVA dan Pap smear. Studi ini juga menyatakan bahwa penggunaan tes HPV DNA sebagai metode skrining dapat meningkatkan ketaatan pasien dalam mengikuti skrining lebih rutin karena cara pengambilan sampel yang lebih mudah (bisa dilakukan self collected swab vagina). [19] Dua studi lain juga menunjukkan hasil serupa dimana partisipasi skrining dilaporkan meningkat dengan penggunaan tes HPV DNA yang sampelnya dikumpulkan sendiri oleh pasien. [5,20]

Tes HPV DNA juga lebih mudah dilakukan dan lebih tidak invasif dibandingkan tes pap ataupun tes IVA, sehingga dapat mengurangi risiko akibat prosedur yang dilakukan. Skrining ulangan dengan tes HPV DNA umumnya juga dilakukan dalam jeda yang lebih panjang dibandingkan tes lainnya, sehingga lebih efisien dan dapat mengurangi biaya medis. Sebuah studi di Belanda menyatakan bahwa adanya interval antar skrining yang lebih panjang pada tes HPV DNA dibandingkan tes sitologi mampu menurunkan beban biaya hingga 20-50 ribu euro per quality-adjusted life years, serta meningkatkan efektivitas dari segi waktu. [21] Namun, perlu dicatat bahwa studi yang ada menyatakan bahwa pada wanita usia lebih muda (32 tahun ke bawah), HPV diduga menyebabkan overdiagnosis cervical intraepithelial neoplasia (CIN) 2 regresif dan pemeriksaan sitologi mungkin lebih efektif dari segi biaya. [21,22]

Kesimpulan

Skrining kanker serviks dapat menurunkan insidensi dan mortalitas secara signifikan. Rekomendasi terbaru menyarankan bahwa seluruh wanita di atas 21 tahun sebaiknya melakukan skrining HPV, terlepas dari status vaksinasi HPV dan riwayat seksual.

Di Indonesia, metode skrining yang lebih umum digunakan adalah Pap smear atau inspeksi visual asam asetat (IVA) karena tes HPV DNA belum tersedia secara luas. Meskipun demikian, di luar negeri, paradigma skrining kanker serviks sudah bergeser, dan tes HPV DNA cendering dijadikan metode skrining pilihan.

Tes HPV DNA memiliki berbagai kelebihan yaitu cara pengambilan sampel yang lebih tidak invasif, studi menunjukkan peningkatan partisipasi pasien terhadap skrining, dan juga efektivitas biaya medis jangka panjang yang lebih baik.

Referensi